Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan


8 September 2014
Setelah menjalani pemeriksaan di RSGM UGM pada Sabtu, 6 September 2014, saya memutuskan untuk menjalani odontektomi (pencabutan gigi geraham bungsu) untuk gigi kanan bawah. Berani tidak berani, pokoknya harus berani. Sepulang dari tempat kerja, saya meminta rujukan ke GMC terlebih dahulu. Ketika meminta rujukan saya ditanya dokter umum di sana, “Ada keluhan apa?” tanya dokter. “Gigi saya sakit, Dok. Kemarin sudah periksa di RSGM. Masalahnya ada dua, gigi berlubang sama gigi geraham bungsu.” “Lubangnya sudah ditambal?” “Sudah,” kata saya. Lalu dokter membuatkan rujukan, di diagnosisnya ditulis “impacted”.
Saya pun segera meluncur ke RSGM UGM yang tidak terlalu jauh dari sana. Tiba di sana, saya mengisi formulir. Tiba-tiba petugas administrasi berkata, “Mbak, kalau sore poli bedah mulut tutup. Kembali lagi besok pagi saja.” “Kalau periksa dulu gitu nggak bisa ya, Mbak?” tanya saya. “Nggak bisa, Mbak. Soalnya kan udah pasti diagnosisnya.” Baiklah, saya pun pulang. Udah deg-degan nggak karuan, ternyata ditunda. Hihihihihi.

Selasa, 9 September 2015
Keesokan harinya, tidak lama setelah sampai di kantor, saya meminta izin untuk meninggalkan kantor. Jam 8 segera meluncur dari kantor UGM Press ke RSGM UGM bersama si Minu (Mini Ungu, sepeda ungu kesayangan saya). Seperti biasa, mengambil nomor antrean dan mengisi formulir. Heran sih, rumah sakit ini rame banget biarpun baru buka. Berangkat pukul 8 tetap lama antreannya. Tidak lama kemudian nama saya dipanggil dan diminta untuk naik ke lantai 3, ke bagian bedah mulut. Mendaftar lagi dan menunggu dipanggil.
Bedah mulut di lantai 3

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya nama saya dipanggil. Berhubung saya menggunakan fasilitas GMC, yang menangani saya adalah residen (sebutan untuk dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis). Yang akan menangani saya adalah drg. Henri Mudjono. Seperti biasa, dokter bertanya tentang keluhan sembari seorang mahasiswa yang kuliah profesi perawat gigi memeriksa tekanan darah dan suhu tubuh saya. “Mau tumbuh gigi bungsu, Dok. Yang kanan bawah,” kata saya sambil menunjukkan hasil rontgen. “Mbak mahasiswa sini?” tanya drg. Henri. “Bukan. Dulu sih iya. Hehehehe. Udah lulus. Sekarang karyawan.” “Di mana?” “Di UGM Press.” Dokter Henri bertanya lagi, “Emang kalau operasi gigi bungsu boleh pakai GMC?” “Nah itu buktinya dikasih,” kata saya.
drg. Henri pun membaca rekam medis saya. “Kemarin habis tambal ya? Harus kembali lagi ke Dokter Hendri nggak?” “Ehm...gimana ya, Dok, jelasinnya? Jadi gini ceritanya. Kemarin tuh ke sini keluhannya dua, gigi berlubang sama gigi bungsu. Nah, Dokter Hendri tuh nyuruh kembali lagi ke sini hari Senin. Pas ketemu di luar, ditanya, ‘Coba lihat hasil rontgennya.’ Terus saya tanya, ‘Nggak harus cabut kan, Dok?’ Katanya, ‘Cabut yang paling belakang.’ Kan saya bingung, Dok. Disuruh ke sini tuh tambal lagi atau cabut,” kata saya panjang lebar. Kan supaya jelas. Hehehehe. “Tambalnya baru tambal sementara sih. Tapi nggak apa-apa, cabut dulu. Nanti kalau sudah sembuh baru ditambal. Kalau mau cabut gigi bungsu harus dirontgen semua giginya atas bawah. Ini dibawa ke bagian radiologi dulu ya.”
Baiklah, saya pun kembali ke lantai satu, ke bagian radiologi dengan membawa catatan dari drg. Henri untuk rontgen OPG (panoramic). “Tunggu sebentar ya, Dek, ya,” kata petugas bagian radiologi bernada manis. Saya pun mengangguk. “Eh, Mbak ding,” kata petugasnya meralat. Eaaaaa,  dikira anak kecil nyasar di rumah sakit. Tidak terlalu lama setelah itu, saya dipanggil untuk rontgen. Saya diminta melepas anting, memperlihatkan semua gigi, menaruh dagu di tumpuan, lalu ada alat yang berputar dari sebelah kanan kepala saya ke kiri. Setelah itu saya menunggu hasil rontgennya jadi. Nama saya dipanggil lagi, petugas radiologi menyerahkan foto dan hasilnyaaaaaaa....
Serem ya? :'(

“Naaaaah, giginya miring semuaaa!” seru drg. Henri ketika melihat hasil rontgennya. Saya pun hanya senyam-senyum tanpa rasa berdosa. Hehehehehe. “Badannya fit? Sudah sarapan? Semalam tidurnya cukup?” Saya mengangguk untuk setiap pertanyaan drg. Henri. “Oke. Ayo, Mbak,” kata drg. Henri mempersilakan saya masuk ke ruang operasi. Jeng...jeng.... Suasana langsung berubah aneh. Sebelum masuk ruang operasi, alas kaki harus dilepas dan diganti dengan alas kaki yang sudah disediakan. Fiuuuuuh, sandalnya besar semua lagi. Nggak ada ya yang ukurannya 34-35? Saya pun memilih yang paling kecil meskipun sebenarnya itu muat untuk dua kaki sekaligus. Kemudian saya mengikuti drg. Henri menuju salah satu ruangan operasi.
Saya mendapatkan ruangan yang ada jendelanya. Lumayan. Kalau bosan atau tegang bisa melihat langit, daun-daun, atau burung lewat. Saya pun duduk di dental chair. “Cabut gigi bungsu di sini tuh murah lho. Coba di luar. Dua juta tahu,” kata drg. Henri sambil memasang rontgen saya. Saya hanya membatin, mau bayar murah bahkan gratis, kalau disuruh milih, ya mending nggak sakit biar nggak usah operasi, Dok. “Ini harusnya cabut empat-empatnya,” kata drg. Henri. “Nggak mau,” rengek saya. “Hehehe. Kalau pakai GMC nggak bisa langsung. Satu-satu.”
Sesaat kemudian drg. Henri meninggalkan ruang operasi lalu kembali dengan sudah berganti baju operasi berwarna hijau. Operasi kali ini drg. Henri dibantu seorang koas (laki-laki, entah siapa namanya) dan mahasiswa kuliah profesi perawat gigi (sebut saja mbak perawat). drg. Henri dan koas itu sempat bercakap-cakap sebentar soal gigi saya. “Itu enaknya diapain ya?” tanya drg. Henri. “Dibelah jadi dua.” “Atau dipisah mahkota sama akarnya? Itu akarnya yang satu bengkok.” Mau dibelah apa dipisah-pisah terserah, Dok. Yang penting sakit saya sembuh. Udah pasrah. “Dok, nanti kalau saya nangis jangan ketawa ya,” pinta saya. “Oh, nggak. Udah biasa kok kalau nangis di sini.” Baguslah. Hehehe.
drg. Henri menyiapkan suntikan anestesi. Oh...ini bagian yang paling saya benci. Saya jadi ingat betapa menyiksanya hari imunisasi kala SD dulu. Jadi ingat juga ketika dua bulan sebelumnya sampel darah saya diambil untuk diperiksa di laboratorium karena ada indikasi tifus. “Kumur yuk,” kata drg. Henri. “Buka mulutnya.” Saya pun membuka mulut lebar-lebar sambil tutup mata dan berpegangan sekuat mungkin di dental chair. Nyoooooosss, jarum kecil itu menusuk gusi dan pipi. “Nanti kalau operasi buka mulutnya segini ya.” Saya hanya diam. Masih syok. Sesaat kemudian saya merasa semacam kesemutan di gusi, bibir, dan lidah. “Udah ngerasa bibirnya tebel?” Saya mengangguk. “Tambahin lagi ya.” Apaaa? Disuntik lagi? Kali ini sudah tidak terlalu sakit seperti yang pertama. “Dok, ini nanti lama nggak?” tanya saya cemas. “Nggak. Paling setengah jam.”
“Kita mulai ya,” kata drg. Henri sambil bersiap memasukkan kaca mulut ke mulut saya. “Bentaaar,” tolak saya, “mau baca bismillah dulu.” “Oh, iya. Berdoa dulu.” “Kita mulai ya. Eh, ini belum diikat,” kata drg. Henri sambil menunjuk napkin di dada saya. Si mbak perawat kemudian mengikatnya. “Kayak bayi mau makan ya,” kata saya. “Iya. Biar bajunya nggak kotor. Nanti biar bisa balik ke UGM Press. Ngepres-ngepres.” Saya pun nyengir. “Saya bukan di bagian itu, Dok.” “Terus di bagian apa?” “Editing.” “Dulu kuliahnya jurusan apa?” tanya drg. Henri. “Sastra Indonesia.” “Wow, Sastra Indonesia!” “Kenapa, Dok? Mau underestimate ya?” “Oh, nggak. Jarang aja ada yang ambil jurusan itu.” Sudahlah, Dok, tidak masalah. Saya sudah cukup “kokoh” untuk menanggapi pertanyaan dan pernyataan orang seputar kuliah dan pekerjaan saya. Bahkan, saya pun hanya bisa pasrah ketika simbah putri saya mengira saya bekerja di fotokopian sebagai tukang jilid. Hahahahaha.
Operasi pun dimulai. Satu per satu alat-alat bedah mulut itu masuk ke mulut saya. Ada yang semacam pisau kecil, pinset, bor, gunting. Mbak perawat yang menyiapkannya, sementara koas memegang selang suction untuk mengisap air liur dan darah. Agak merinding ketika melihat cairan merah melewati selang itu. Wooow, itu darahku? “Kenapa, kenapa, kenapa?” tanya drg. Henri ketika melihat saya menyeringai kesakitan. “Kena atas,” kata saya ketika alat-alat itu mengenai bagian atas mulut yang tidak dianestesi. “Maaf, ya.” Operasi pun berlanjut lagi. Agak miris ketika mendengar suara bor yang masuk mulut. Setelah itu, pinset masuk dan klaaak! Setengah mahkota gigi saya berhasil diambil. Yeyeye. Bagian-bagian gigi lainnya pun menyusul keluar. Namun, bukan berarti saya lega. Masih panik ini. “Udah selesai kok, Mbak. Dihalusin tulangnya dulu ya. Tinggal dijahit,” kata drg. Henri. Alhamdulillah. Settt, settt, settt. Benang dan jarum jahit itu masuk ke mulut untuk menutup luka di gusi dan pipi. Terakhir, saya disuruh kumur, lalu si mas koas itu memasang gulungan kasa ke luka operasinya. Pukul 10.30 selesailah proses operasinya. J
Saya segera bangun dan menuju ke cermin untuk merapikan rambut yang sudah acak-acakan mirip singa jantan baru bangun tidur. Cukup diikat, tidak perlu disisir dan dirol poninya seperti kalau mau berangkat kerja atau main karena itu butuh waktu lamaaaaa sekali. Kemudian saya mengelap percikan darah di mulut. Kayak habis makan bayi ya. “Mau lihat, Dok,” kata saya. Berhubung giginya sudah dibawa keluar, saya hanya melihat fotonya. “Ini akarnya yang bengkok tadi,” kata drg. Henri.
Kami pun beranjak ke ruang sebelah. drg. Henri menulis resep untuk saya. Obatnya apa saja ya? Lupa. Yang jelas ada empat macam. Paling antibiotik, antinyeri, dan antiradang. Sok tahu ya. Hehehehe. “Sekarang jam berapa? Setengah sebelas ya? Hehehehe. Lebih dari setengah jam ya?” kata drg. Henri. Saya pun hanya nyengir.
“Minggu depan kontrol ya. Lepas jahitannya.” “Nggak harus pagi kan, Dok? Saya bisanya pulang kerja, jam 4,” kata saya. “Sore nggak apa-apa. Nanti kalau aku nggak ada, aku tinggalin pesan buat temenku. Tadi terakhir makan jam berapa?” “Setengah 7.” “Oh, iya. Masih bisa minum obat. Nanti kalau makan nunggu biusnya hilang ya.” “Kira-kira hilangnya berapa lama lagi, Dok?” “Paling 1–2 jam lagi hilang. Nanti kan bengkak, tidurnya jangan miring ke kanan ya. Jangan makan yang terlalu berbumbu, nanti perih kena luka.” “Nggak harus makan bubur kan, Dok?” “Oh, nggak perlu. Kalau mau, giginya yang tiga ini juga dicabut.” “Nggak ah. Kalau nggak sakit nggak mau dicabut.” “Iya sih sekarang. Tapi suatu saat pasti .... Hehehehehe.” Belum juga hilang syoknya, udah disuruh cabut lagi. Dokter ini nakut-nakutin. Sebelum pergi, saya diberi tiga butir gulungan kasa untuk digigit dan diganti setiap 30 menit.
Sesudah itu saya beranjak pergi. Aha! Ada timbangan. Numpang nimbang dulu ah. Jarum penunjuk pun bergerak. “Berapa, berapa?” tanya drg. Henri saat keluar dari ruang ganti. “Empat puluh,” kata saya. “Kirain nggak sampai empat puluh. Kecil banget sih.” “Pas skripsi pernah empat dua, Dok. Habis itu udah nggak pernah lagi.” Sekali lagi, saya sudah cukup “kokoh” menghadapi pertanyaan dan pernyataan semacam ini. Sudah lebih dari dua puluh tahun saya mendengar kalimat, “Makan yang banyak biar cepet gede!” Mau segede apa lagi? Ini sudah maksimal. T_T
Selesai dengan ruang operasi, kini tinggal administrasi. Awalnya saya sudah harap-harap cemas, takut kalau uang yang saya bawa kurang. Setelah dipanggil, ternyata .... Wow, cuma Rp76.025,00, sudah termasuk biaya obat, administrasi, dan rontgen OPG. Saya hanya membayar 25% dari total biaya karena ditanggung GMC. Setelah mengambil obat di bagian farmasi, saya segera kembali ke kantor.
Murah kaaaan? \(^_^)/

Tiba di kantor, teman-teman langsung bertanya, “Gimana operasinya?” Saya hanya tersenyum. Nanti kalau cerita malah pada takut. Hihihi. Lagi pula, mulut saya mulai terasa kaku dan tertarik, kurang nyaman untuk berbicara dan tertawa. Dua hal yang sulit untuk saya tahan pada keadaan normal. Obatnya segera saya minum. Sesuai anjuran dokter, sebelum biusnya hilang, tidak boleh makan sehingga saya memutuskan untuk tiduran saja di kursi panjang (biasanya untuk menerima tamu) saat jam istirahat. Dokter memang menyarankan untuk tidak tidur miring ke kanan, tapi yang namanya orang tidur itu kan tidak sadar, out of control. Ketika terbangun, posisi kepala saya miring ke kanan. Kebetulan saya memakai masker dan ketika saya cek, maskernya sudah berlumuran darah. Aaaaaa...cepat-cepat saya ke kamar mandi untuk mengganti tampon. Setelah berganti tampon dua kali, pendarahan pun berhenti. Syukurlah.
Sejam dua jam, saya tunggu-tunggu, kebas di dagu dan bibir belum juga hilang. Sampai azan Magrib, belum juga hilang. Ini kapan hilangnya? Udah nggak kuat. T_T Akhirnya saya memutuskan untuk makan nasi. Sesuap dua suap, lama-lama saya merasa mulut saya kaku, tertarik. Aneh rasanya. Aaaaaaaa. Sebel. Tidak sampai setengah nasi itu saya makan. Berhubung mulut saya kaku, saya memutuskan untuk meminta tolong kepada teman untuk membelikan bubur bayi instan saja supaya praktis. Pagi dan siang saya makan bubur instan, sorenya membeli bubur ayam di dekat kos. Tanpa saya duga, ternyata bubur bayi instan itu rasanya...nyeh....aneh! Mungkin makanan ini memang hanya cocok untuk bayi, bukan mantan bayi.
Perhatian! Tidak cocok untuk mantan bayi! Hihihihi.

Hari ketiga, saya mendapati sesuatu yang aneh ketika bangun tidur. Aaaaaaa. Saya menjerit ketika becermin dan mendapati pipi kanan saya sudah sebesar apel. Ini pipi apel munculnya dari mana? :’( Di kantor, teman-teman mulai meledek saya. “Itu habis dijotosin siapa, Mbak?” kata Mas Dimas. “Aku korban KDRT, Mas,” kata saya. “Adek bayinya maem dulu. Sini disuapin!” kata Mbak Siti. Beda halnya dengan Bu Titik yang paham betul derita sakit gigi. “Mbak, pipinya nggak dikompres es ya? Kok bengkak?” kata Bu Titik. “Lho, emangnya mesti dikompres, Bu? Nggak disuruh tuh sama dokternya.” “Iya, Mbak. Mesti dikompres.” Duh, mungkin dokternya lupa. Sedihnya lagi, meja saya paling besar di antara meja kerja yang lain sehingga dijadikan “pos makanan”. Teman-teman pun meledek saya, “Eh, ini dimakan lho. Jangan dilihatin aja. Enak lho.” Lihat banyak makanan, tapi nggak bisa makan itu rasanya kayak lihat gebetan nikah duluan. Sediiiiiih.
Berhubung stok bubur bayi habis, sepulang kerja saya mampir ke warung sembako dan sayuran di dekat kos. Warung milik Bu Endro. “Bu, wonten bubur bayi? S*n nopo Pr*m*n*.” (Bu, ada bubur bayi? S*n atau Pr*m*n*) “Mboten, Mbak. Diengge sinten?” (Tidak, Mbak. Buat siapa?) “Kula, Bu.” (Saya, Bu.) Bu Endro langsung menatap saya dengan tatapan aneh dan terdiam lama. Mungkin syok. Hahahaha. Sesaat kemudian baru bertanya, “Kenging nopo, Mbak?” (Kenapa, Mbak?) “Sakit gigi, Bu.” “Mimik susu mawon, Mbak. Mangkih rak wareg.” (Minum susu saja, Mbak. Nanti juga kenyang.) Mana kenyang minum susu doang, Bu? Hiksss.
Karena khawatir dengan pipi bengkak yang tak kunjung kempes, saya pun bertanya pada teman yang juga pernah menjalani odontektomi.
Tanya pada Mbak Arum:
“Mbak, pas kamu operasi impaksi bengkak nggak? Biusnya langsung ilang apa beberapa hari baru ilang?”
“Iya, bengkak banget aku. Biusnya langsung ilang. Loro tenan. Nyut nyut. Rasane pengen misuuuuuh. Hyahahahaaasyuuuuuh. Wkwkwk.”
“Oalah. Ini aku udah hari keempat masih bengkak. Biusnya masih kesisa dikit di bibir. Nggak sakit sih Mbak. Tapi malunya itu lho. Buat ketawa jelek. Dikirain mrengutin orang. Buat makan rasanya ketarik, tapi nggak sakit sih. Dokternya siapa?”
“Henri siapa gitu.”
“Samaaaaa.”
Kesimpulannya, bengkak ini memang wajar. Karena belum yakin juga, tanya pada Nita, teman yang koas di RSGM UGM dan jawabannya sama, “Wajar kok. Besok pas lepas jahitan dicek aja.” Baguslah mendapat jawaban dari sumber yang tepercaya. Hihihihihi.

16 September 2014
Tepat seminggu setelah operasi, saya datang ke RSGM UGM. Kebetulan hari itu drg. Henri tidak berjaga di sana. Yang menangani saya drg. Agus Widodo. Seperti biasa, ditanya tentang keluhan. “Efek biusnya masih kerasa, Dok. Di bibir sama dagu.” Tiba-tiba drg. Agus mencubit dagu saya. Haduh, kalau dicubit ya sakit. Setelah itu, kami masuk ke ruang operasi untuk melepas jahitan. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk melepas jahitannya. Setelah itu, saya disuruh menggigit gulungan kasa. “Mbaknya mulutnya kecil sih. Makanya giginya miring semua,” kata drg. Agus. “Lha kan saya orangnya kecil, Dok. Masa iya mulutnya besar.” Terus kalau mulutku kecil, apa itu salahku, Dok? Hiksssss. “Kemarin operasinya susah ya? Kelas 3 ya?” “Nggak tahu, Dok. Di notanya sih ditulis kelas 2.” “Sakit nggak?” “Nggak. Cuma ada rasa ketarik.”
Kami pun beranjak ke ruang sebelah. drg. Agus melihat rontgen saya, “Tiga gigi ini risikonya sama. Kalau punya BPJS cabut aja semua, bius total, opname,” kata drg. Agus. “BPJS punya saya belum bisa dipakai, Dok. Nggak tahu itu kantor yang ngurusin.” “Ini obatnya nggak di-cover GMC, Mbak. Minumnya harus sebulan. Satunya 2.500.” “Haaaah? Yakin, Dok? Gaji saya kayaknya nggak cukup. Bisa cariin yang murah, Dok?” kata saya sedih. Pasien yang terlalu jujur. Maklum lah, buruh yang gajinya mepet UMR. Hehehehe. “Iya. Saya carikan yang generik. Sama nanti pakai salep buat pipinya biar biru-birunya cepet hilang. Dikompres air hangat nanti juga kempes. Kemarin dikasih nomor teleponnya Dokter Henri?” Saya menggeleng. drg. Agus kemudian menuliskan nomor telepon di secarik kertas. “Minggu depan ketemu Dokter Henri ya.” Untuk kontrol dan lepas jahitan, saya tidak perlu membayar lagi karena sudah satu paket dengan operasi. Saya hanya menebus obat yang tidak ter-cover GMC.
Keesokan harinya, sebelum berangkat kerja, saya memakai salep yang diresepkan drg. Agus. Ketika dipakai, ada rasa cekit-cekit agak gatal. Lama-lama kulit saya memerah. Warna merah itu pun melebar. Saya jadi bingung, bagaimana cara mengatasinya. Malu kalau dilihat orang. Tiba-tiba terlintas satu ide. Pakai blush on biar kiri-kanan sama! Yeyeye. Saya pun memakai blush on di pipi kiri. Ya, anggap saja warnanya sudah sama dengan pipi kanan, minimal mirip lah. Sampai di kantor, teman saya, Mbak Ratna, menegur saya, “Wi, tumben dandan. Pakai blush on segala.” “Iya nih, Mbak. Lagi pengen,” kata saya. Pengen berkamuflase maksudnya. Hahaha. Make-up sukses! Yeaaah!
Salep untuk menghilangkan biru-biru di pipi, tapi malah bikin merah. :D


24 September 2014
Beberapa hari sebelum waktunya kontrol, saya membuat janji dengan drg. Henri. Diputuskan hari Rabu pukul 10.00. Sejak pukul 09.30 saya sudah sampai di RSGM dan mengantre sebentar untuk dipanggil. Kebetulan saya duduk bersebelahan dengan pasangan suami istri yang sudah sepuh. Kami sempat mengobrol sebentar.
“Ibu giginya kenapa?” tanya saya. “Tambalannya sudah bocor, Mbak. Harus dicabut.” “Oh, saya juga habis cabut, Bu.” “Sakit nggak, Mbak?” “Nggak, Bu. Kan nanti dibius.” Sombong dikit lah, padahal sebelum cabut juga sama takutnya. Hahahahaha. Tidak lama kemudian nama saya dipanggil, lalu saya naik ke lantai 3, ke poli bedah mulut.
Semenit, dua menit, setengah jam. Nama saya tak kunjung dipanggil, bahkan sampai disusul pasangan suami istri yang bertemu dengan saya di lantai 1 tadi. Lha kan aku duluaaaan! Saya pun bertanya kepada seorang mahasiswa perawat gigi, “Mbak, Dokter Henri ada kan?” “Ada, Mbak. Tunggu sebentar ya. Mbaknya nggak kuliah ya? Hayo, bolos ya?” “Iya, bolos,” kata saya sambil tersenyum. Bolosnya udah sejak dua tahun yang lalu, sejak salaman sama Pak Menteri Sekretaris Negara, Pak Pratikno yang waktu itu masih menjabat sebagai rektor, sambil menerima selembar kertas sakti bernama IJAZAH. Hahahaha. Semenit, dua menit, setengah jam lagi menunggu. Sudah tiga kali si mbak perawat ini bolak-balik ke bagian administrasi karena saya tanya kenapa saya tak kunjung dipanggil. Jawabannya menyedihkan: rekam medis saya belum ketemu, entah nyempil di mana!
Pukul 11.00. Di tengah rasa putus asa, tiba-tiba drg. Henri membuka pintu dan melihat saya. “Lho, mbaknya udah datang?” “Udah dari tadi, Dok.” “Ya udah, masuk aja. Tadi datangnya jam berapa? Jam 9 ya? Hehehehe.” Saya pun nyengir. “Rekam medisnya nggak tahu ke mana, Dok.” “Hilang gitu?” “Entah.”
Kami pun masuk ke ruang operasi. “Baalnya masih?” tanya drg. Henri. Saya mengangguk. Kemudian drg. Henri menempelkan dua jarinya di dagu sebelah kiri dan kanan. “Beda nggak kiri kanan?” “Beda, Dok.” “Sakit nggak?” “Sakit, Dok. Soalnya tambalannya copot.” “Hiyaaa. Itu mah beda lagi sakitnya.” “Lha kan dokter tanyanya sakit apa nggak. Nggak spesifik. Ya jawabannya sakit. Hehehehe.” “Coba buka mulutnya.” drg. Henri pun memasukkan kaca mulut ke mulut saya. “Udah bagus kok bekas lukanya. Kalau buat makan ada yang nyelip nggak?” “Nggak,” kata saya. “Sarafnya kalau putus nggak mungkin soalnya masih bisa ngerasa sakit. Kalau putus malah nggak bisa ngerasa apa-apa. Kemarin dikasih obat apa?” “Mecobalamin. Buat satu bulan.” “Itu vitamin saraf. Ya udah, sabar ya. Nggak perlu operasi lagi kok. Hehehe.” “Haduh, udah cukup, Dok.” Kesimpulannya: HARUS SABAR. J

Tips Penting
Sebelum cabut gigi:
1. Tidur cukup, minimal 6 jam.
2. Pastikan badan dalam kondisi fit.
3. Usahakan perut tidak dalam keadaan kosong. Pernah tanya ke dokter sih, boleh atau tidak cabut gigi saat puasa. Katanya boleh, tapi konsekuensinya harus tahan sakit sampai waktu berbuka karena tidak bisa minum obat penghilang nyeri. Yakin kuat?
4. Kalau takut, mungkin bisa ajak orang untuk menemani. Berhubung saya di perantauan, jauh dari orangtua dan saudara, teman-teman juga punya kesibukan sendiri, tidak masalah pergi sendiri asalkan badan kuat untuk perjalanan sepulang operasi.
5. Jangan panik, berusahalah rileks supaya dokter yang menangani juga bekerja dengan nyaman. Nah, ini yang sulit saya lakukan. Yang namanya takut sama rumah sakit, bagaimana cara mengatasinya belum saya temukan hingga saat ini.

Setelah Operasi:
1. Gigit kapas/kasa untuk menghentikan pendarahan, ganti tiap 30 menit.
2. Jangan sering kumur, jangan sering meludah, jangan menyentuh bekas luka dengan lidah.
3. Hindari makanan keras, jangan makan dan minum panas. 
4. Kompres dengan air es/es batu dibungkus handuk untuk 24 jam pertama, kemudian dengan air hangat untuk hari berikutnya.
5. Istirahat yang cukup, jangan bekerja yang berat, jangan memikirkan hal-hal yang berat. Sesaat lupakan segala macam utang dan makhluk bernama mantan, gebetan yang tak kunjung paham, PHP-an, dan yang semacamnya. Upsss, hahaha.
6. Makan yang bergizi untuk mempercepat proses penyembuhan. Ini yang agak susah saya lakukan karena mulut saya kaku. Mungkin bisa diatasi dengan memotong-motong sayuran dan lauk kecil-kecil supaya mudah ditelan. 
7. Ikutin aturan minum obat dan patuhi saran dokter. Kalau memungkinkan, mintalah nomor telepon yang bisa dihubungi dalam keadaan darurat kalau ada hal-hal tertentu yang terjadi setelah operasi, misalnya pendarahan yang tak kunjung berhenti. Untungnya, di RSGM UGM ada layanan IGD Dental 24 jam sehingga bila terjadi apa-apa bisa datang ke sana.
8. Sikat gigi pelan-pelan, kalau perlu pakai sikat gigi khusus setelah operasi. 
9. Pakailah masker kalau pergi-pergi ke luar. Ini akan sangat membantu untuk menyembunyikan pipi apel. Hahaha. Paling-paling dikira sakit flu.

Pakai masker lucu: muka tetap terlihat senyum meski hati hancur. :D


Itulah pengalaman cabut gigi bungsu saya yang pertama. Agak heboh awalnya, tapi ternyata tidak seseram yang saya bayangkan. Yang jelas, cabut gigi itu sakitnya nggak seberapa. Malunya itu yang nggak ketulungan karena ke mana-mana membawa pipi apel. Yang terpenting, tanamkan keyakinan bahwa ini adalah “sakit sesaat untuk sehat yang lama”. Cerita cabut gigi yang kedua disambung di bagian selanjutnya ya. Salam. J

Komentar

  1. Mbak, kebasnya gimana setelah itu? apakah bisa hilang? saya takut nih, saya baca di beberapa artikel ada yg mengatakan kebasnya bisa permanen.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebasnya hilang, tapi lama. Dua bulan baru hilang. Yang cabut kedua jg hilangnya lama. Sampai setahun belum benar-benar hilang. Tapi nggak terlalu mengganggu.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. operasi yg kedua berapa lama setelah operasi yg pertama mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lima bulan, Mbak. Februari 2015. Bisa dibaca di artikel yang Cerita Gigi Bungsu bagian 3.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  3. Mbak, pendaftaran di rsgm nya buka sampai jam berapa y?

    BalasHapus
  4. Halo mbak,mau tanya hehhe
    Kalo mau operasi gigi bungsu sm residen caranya gimana ya? Soalnya saya mau operasi geraham bungsu tapi nyari yg harganya miring.
    Makasih

    BalasHapus
  5. Maksudnya operasi sm residen RSGM UGM

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba periksa dulu, konsultasi ke drg umum mbak. Mungkin nanti diarahkan drg umum buat milih antara spesialis atau residen.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  6. mbak kalo mahasiswa ugm pakai gmc untuk operasi gigi bungsu bisa ga mbak? aku punya bpjs tapi di jakarta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setahu saya bisa Mbak. Coba periksa dulu ke drg yang di GMC. Mungkin kalau harus ada tindakan bedah mulut dirujuk ke RSGM FKG. Saya dulu periksa pas belum ada drg jadi langsung dirujuk ke RSGM FKG.

      Hapus
  7. Mbak kalo operasi gigi bungsu di RSGM UGM bisa pake BPJS kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setahu saya kalau pakai BPJS dirujuk ke RSUD atau RS swasta mbak.

      Hapus
    2. Setahu saya kalau pakai BPJS dirujuk ke RSUD atau RS swasta mbak.

      Hapus
  8. Mbak pas lepas jahitan sakit gak???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbaknya pas lepas jahitan buka mulute masih agak sakit gak atau udh smbuh

      Hapus
    2. Masih agak sakit. Lukanya belum benar-benar tertutup.

      Hapus
  9. mba, saya juga mahasiswa ugm tapi blm pernah ke gmc. Cara minta rujukan dari gmc untuk ke rsgm gimana ya mba? bentuknya kaya surat rujukan biasa atau kartu anggota gmc? bilangnya lgsg minta rujukan ke rsgm atau periksa dulu trs dokter yg di gmc yg nawarin rujukan?
    maaf banyak tanya mba hehe mohon tanggapannya. terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang di GMC udah ada dokter gigi. Langsung periksa aja ke GMC, tapi jam praktik dokter giginya saya kurang tahu. Mungkin kalau kasus tertentu mesti dirujuk ke RSGM. Nanti dikasih surat rujukan terus dibawa ke RSGM. Daftar dulu jadi pasien RSGM, baru nanti ke poli rujukannya.

      Hapus
  10. mbak, kalo minta surat rujukan itu harus di periksa sama dokter di gmc dulu atau boleh gitu langsung bilang "minta surat rujukan" sama dokterya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Sekarang di GMC udah ada dokter gigi. Langsung periksa aja ke GMC, tapi jam praktik dokter giginya saya kurang tahu. Mungkin kalau kasus tertentu mesti dirujuk ke RSGM. Nanti dikasih surat rujukan terus dibawa ke RSGM. Daftar dulu jadi pasien RSGM, baru nanti ke poli rujukannya.

      Hapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Kak saya mau tanya, ini kakak habis operasi langsung kerja di hari yang sama? Atau gimana? Soalnya saya cuma di kasih izin 2 hari (1hari ketika operasi. 1hari setelah operasi)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah operasi balik ke kantor, besoknya kembali kerja seperti biasa. Cuma izin keluar kantor 4 jam.

      Hapus
    2. Wah kakak hebat bgt! Semoga saya juga bisa kaya gt🙏🏻🙏🏻🙏🏻

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair