Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 3): Sabar Ya, Bayinya Kembar!
Selepas menjalani odontektomi yang pertama, saya
masih harus bolak-balik ke RSGM untuk tambal gigi dan membersihkan karang gigi.
Saat membersihkan karang gigi sekitar akhir Desember 2014, saya sempatkan untuk
berkonsultasi dengan dokter. Saya mengeluhkan sering migrain dan meriang sambil
menunjukkan hasil rontgen. Saat melihatnya, drg. Heny Retno M. langsung
tertawa. Aih, pasti berita buruk ini, pikir saya. “Aduh, Mbak. Giginya bobok
manis semua.” Saya pun hanya senyam-senyum. Ah, sudah kuduga semua dokter gigi
akan berkata sama. drg. Heny bercerita panjang lebar tentang risiko bila gigi
saya tidak dicabut, salah satunya sinus. “Saya mau mengumpulkan keberanian
dulu, Dok. Hehehehe,” kata saya.
Masalah utama yang saya alami saat itu adalah
dihapuskannya asuransi kesehatan dari GMC untuk karyawan UGM dengan status
kontrak. Itu saya ketahui pada bulan Januari ketika periksa ke GMC gara-gara tangan
saya bentol-bentol digigit tomcat.
GMC hanya diperuntukkan bagi mahasiswa dan PNS. Yang lain harus mendaftar BPJS
Kesehatan. Nah, GMC sudah dihapus, tapi BPJS belum punya. Aku kudu piye jal? (Aku harus bagaimana coba?) Kabar baiknya, tidak lama setelah itu ada kebijakan bahwa kartu GMC
bisa digunakan sesuai batas waktu yang tertera pada kartu peserta, sesuai
pembayaran premi. Di kartu peserta saya, tertulis masa berlakunya sampai 31
Maret 2015.
Saya pun segera menghubungi drg. Henri Mudjono untuk
merencanakan odontektomi yang kedua pada geraham bungsu kiri bawah. Akhirnya,
diputuskan Senin, 16 Februari 2015 pukul 10.00 saya akan menjalani pembedahan.
Agak sedih ketika hari Sabtu, dua hari sebelum odontektomi ada SMS dari teman
saya, “Mbak, Selasa bisa ikut pentas di Sendratari Ramayana Prambanan nggak?”
Aaaaa.... Pengen nari sih. Tapi kan, tapi kan.... Kalau Seninnya cabut gigi,
Selasa pasti masih agak meriang-meriang lemas nggak jelas. Belum lagi masalah
si pipi apel. Pakai blush on dan shading sebanyak
apa pun, si pipi apel pasti tetap kelihatan. Ya sudah lah, demi gigi, sementara
tidak ikut menari.
16 Februari 2015
Setelah mengurus rujukan dari GMC beberapa hari
sebelumnya, saya datang ke RSGM UGM. Pukul 09.00 saya sudah sampai. Antre
sebentar, lalu disuruh naik ke lantai 3, ke poli bedah mulut. Seperti biasa,
menunggu dipanggil agak lama. Di tas ada buku Panggil Aku Kartini Saja yang sudah lama saya beli, tapi belum
“tersentuh”. Maklum, sibuk. Hihihihi. Alibi paling ampuh. Semenit, dua menit, satu
jam menunggu, drg. Henri belum juga datang. “Ibu Kartini” sudah saya taruh di
kursi. Mata saya mulai lelah dan mengantuk. Sudah dua kali saya tanya kepada
“mbak perawat”, katanya drg. Henri sedang kuliah. Baiklah, masih kuat menunggu
sambil baca-baca lagi.
Nunggu sambil ditemani Ibu Kartini :D |
Pukul 11.00 drg. Henri datang dan menyapa, “Mbak
Sri, Mbak Sriyani.” Ealaaaaah, salah sebut nama lagi. Surani, Dok, Surani! “Rontgennya
dibawa?” Saya menyerahkannya, kemudian drg. Henri melihatnya. “Tunggu sebentar
ya.” Tidak lama kemudian saya dipanggil ke dalam. Di situ ada drg. Agus yang
dulu pernah melepas jahitan saya. “Lho, mbaknya yang dulu itu?” “Iya. Mau cabut
lagi dia yang kiri bawah,” kata drg. Henri. Saya hanya senyam-senyum. “Kenapa
Mbak?” tanya drg. Agus. “Migrain, Dok,” kata saya. “Sering?” “Iya. Dalam dua
minggu terakhir ini sudah tiga kali.” “Wah, ini nih yang bikin migrain,” kata
drg. Agus sambil menunjuk rontgen yang dibawa drg. Henri. “Nah, dulu kan sudah
tanda tangan persetujuan operasi, berarti sudah bersedia cabut semua.” Ah,
entahlah, pokoknya sakit, pengen cepet sembuh, pikir saya. Saat itu ada dosen
mereka, entah namanya siapa. “Ini Bu, pasien yang parestesi dua bulan,” kata
drg. Henri kepada dosennya. Si ibu itu memandang saya. “Oh, udah cepet itu dua
bulan.” Saya pun hanya senyam-senyum, mau bilang apa juga bingung. Hehehehe.
Seperti biasanya, sebelum operasi diperiksa tekanan darah, suhu tubuh, dan
denyut nadi.
Pukul 11.30 saya masuk ruang operasi. Sebelum operasi
dimulai, saya sempat mengobrol sebentar dengan drg. Henri, bercerita tentang
pengalaman konyol saya sewaktu cabut gigi yang pertama. “Dulu itu pakai
Thrombophob kok di kulit jadi merah ya, Dok? Pas itu kan mau berangkat kerja.
Terus saya pakaiin blush on biar
kiri-kanan sama. Terus kata teman saya, ‘Kok tumben dandan’ ‘Iya nih, lagi
pengen’. Hehehe.” “Hiyaaa,” kata drg. Henri sambil tertawa. “Suka naik sepeda
ya?” “Mampunya baru beli itu, Dok. Nanti kalau punya uang beli yang lain,” kata
saya. Jawaban yang sangat jujur. Hihihihi. “Dok, biar nggak bengkak itu caranya
gimana ya?” tanya saya. “Disuntik obat sekarang. Mau?” “Hah, nggak ada cara
alami gitu? Ya udah deh, nggak usah.” Mau disuntik berapa kali coba? Hedew.
“Nanti pas operasi nolehnya ke kanan ya.” Baiklah!
drg. Henri bersiap menyuntikkan bius ke mulut saya.
“Eh, bentar, Dok. Ini nggak dioles apa gitu dulu?” kata saya. “Oh, mau pakai
gel?” Saya mengangguk. “Iya. Nanti kalau saya njerit gimana?” drg. Henri pun
mengoleskan gel ke bagian yang akan disuntik. Wow, aromanya stroberi, hihihi,
pikir saya. Ternyata...lama-lama pahit. Saya pun melet-melet merem gara-gara
rasanya yang aneh. “Kenapa? Nggak enak ya? Muntahin aja,” kata drg. Henri.
Kemudian saya kumur-kumur. Setelah itu, drg. Henri menyuntik mulut saya. Wow, amazing! Rasa sakitnya tidak ada, hanya terasa
ada sesuatu yang menusuk, tapi tidak nyeri. “Nggak njerit kan?” tanya drg.
Henri. Saya pun hanya senyam-senyum malu. “Dok, ini biusnya cuma sekali ya?”
tanya saya. “Bentar lagi ditambah.” Berhubung sudah tidak terasa sakit,
disuntik berkali-kali oke-oke aja. Hehehehe. Setelah itu, saya komat-kamit
merapal doa. “Kok tegang? Kan udah pernah.” Ya elah, dokter ini. Mau berapa
kali, tetep aja kan mulut saya DIBEDAH, BERDARAH-DARAH? Masa iya lurus lempeng
aja? -_-
Operasi pun akan segera dimulai. Seorang perawat
bersiap menutup wajah saya dengan kain hijau. “Eh, Dok, nggak dipakaiin yang
kayak celemek (sebenarnya namanya napkin)
itu ya?” kata saya. “Oh, mau pakai yang itu? Ya udah, pakai yang itu. Yang ini
dipakai di kaki aja biar nggak dingin. Kita mulai ya.” Mungkin muka ditutup itu
supaya tidak takut melihat alat-alat bedahnya, tapi kalau saya lebih memilih
melihat daripada bengong berjam-jam. Sesungguhnya, daripada disuruh duduk diam,
saya lebih memilih naik sepeda bolak-balik kos-kantor lima kali, cuci baju dua
ember, atau maraton nari tiga tarian.
Satu per satu
alat-alat bedah masuk mulut saya. Awalnya semua baik-baik saja, bahkan drg.
Henri mengerjakannya sambil menyanyi nananana (entah lagu apa itu). Sesekali
bertanya kepada saya, “Sakit?” Saya menggeleng. Sesekali pula berkata, “Suction!” agar perawat segera memasukkan
selang suction ke mulut saya sampai
akhirnya berteriak, “Suctioooooon!”
sambil merebut selang dari tangan perawat. “Mulutnya jangan ditarik. Ditekan
aja. Kasihan mbaknya sakit.” Saya pun mulai takut. Pasti ada yang tidak beres.
Beberapa saat kemudian pinset masuk dan belahan mahkota gigi saya berhasil
keluar.
Salah satu teman drg. Henri (entah siapa namanya,
sebut saja drg. Gendut) masuk ke ruangan dan melihat keadaan saya. Mereka
berbicara sebentar, entah apa detailnya saya lupa, yang jelas pendarahan saya
cukup banyak. Beberapa kali drg. Henri mencoba mengungkit gigi saya, tetapi
gagal. Beberapa kali juga membetulkan posisi kepala saya supaya tetap menoleh
ke kanan. “Mbaknya kurang ikhlas sih,” kata drg. Gendut. Errrrr! “Udah ikhlas
banget ya, Mbak, ya,” kata drg. Henri. Yeyeye, ada yang belain. Hihihihi.
Setelah itu, menyusul pula teman drg. Henri yang lain, namanya drg. Gunawan.
Dari pembicaraan mereka, saya tahu bahwa masalah utamanya saat ini adalah akar
gigi saya patah, drg. Henri sedang berusaha mencari serpihan akar itu.
Berhubung pendarahan saya cukup banyak, darah saya sampai menggumpal dan bisa
diambil dengan pinset. Astagfirullah,
lemas rasanya melihat darah begitu banyak. Saya semakin takut ketika masuk lagi
dua dokter perempuan, yang satu namanya drg. Melissa, yang satu lupa namanya.
Hipotesisnya: semakin banyak orang yang mengerumuni saya, semakin gawat
masalahnya. “Ini bukan ya? Eh, bukan, ini tulang. Apa ini ya? Eh, bukan, ini
jaringan,” kata drg. Henri sambil terus berusaha mencari serpihan akar gigi
saya.
Sesaat kemudian, drg. Henri keluar meninggalkan
ruangan. Saya semakin takut. Ini kok aku ditinggal? Dokternya mau ke mana?
Huaaaaa. Sesungguhnya saya ingin menangis, tapi malu ah, banyak orang.
Hehehehe. Lama-lama saya merasa ada sesuatu yang masuk ke kerongkongan saya.
Seperti air kental, saya pun tersedak, terasa mual. Langsung refleks tangan
saya menutup mulut. “Kenapa, Mbak? Muntahin aja,” kata dokter-dokter di sana.
Seluruh darah di mulut pun saya muntahkan. Rasanya semakin lemas. Salah seorang
dokter mengambil selang suction dan
berkata, “Napasnya lewat hidung, Mbak.” “Amis ya, Mbak? Kayak ikan ya?” kata
drg. Gendut sambil tertawa. Saya hanya diam (karena untuk berbicara sulit)
sambil menatap sebal. Lagi nggak mood
bercanda, Dok!
Namun, selain masalah “ikan” itu, ada masalah yang
lebih mendesak, tidak bisa ditunda, harus segera saya katakan. Saya pun
memberanikan diri berkata, “Dok, ini masih lama nggak?” “Emangnya kenapa?” tanya
drg. Gunawan. “Mau pipis,” rengek saya. drg. Gunawan langsung tertawa sambil
berkata, “Apa mau dipasangin itu?” “Nggaaaaak,” teriak saya. Yang bener aja
dipasang pispot atau kateter di depan dokter laki-laki. Iya sih mereka udah
biasa, sayanya yang luar biasa (gelinya). “Ya sudah. Pipis dulu. Diantar ya. Dipasangi kasa sik ndhak kaya drakula,”
kata drg. Gendut. Andai bisa bicara lancar, ingin rasanya saya berkata, “Saya
bukan drakula, Dok. Saya vampir, titisannya Bella Cullen.” Hihihihi. Seorang
perawat pun mengantar saya ke toilet. Haduh, agak geli juga diantar. Takut saya
pingsan atau kabur mungkin ya. Akhirnya lega. Ketika kembali, saya bertemu drg.
Henri di pintu. drg. Henri sudah berganti baju dan membawa rontgen saya.
Mungkin mau konsultasi dengan dosennya. “Tunggu sebentar ya.”
Begitu kembali ke ruang operasi, ternyata sudah
tambah lagi satu orang yang membantu proses “kelahiran” gigi bungsu saya.
Seorang perawat senior, namanya Pak Mulyoto. “Sudah lega, Mbak? Sekarang
gantian Dokter Henri yang ke belakang.” Saya hanya diam, mencoba senyum, tapi
sulit. Saya kembali duduk di dental chair.
“Sabar ya Mbak, bayinya kembar,” kata drg. Gendut. “Kembar siam,” kata saya,
tetapi berhubung saya masih mengigit kasa, yang terdengar adalah.... “Apa,
Mbak? Wawawawa?” kata drg. Gendut sambil tertawa. Errrrr, sebel. “Kembar siam,”
kata drg. Gunawan dengan kalem. Yeyeye, ada lagi yang belain. Hihihihi.
Beberapa saat kemudian, drg. Henri kembali ke
ruangan operasi. “Piye, Pak? Kata Bu
Suci disuruh ninggal aja nggak apa-apa.” “Bisa kok,” kata Pak Mulyoto. drg.
Henri pun pindah posisi ke kiri saya. Dokter-dokter yang lain ikut
menyemangati, “Itu, Hen, itu. Dikit lagi, dikit lagi. Ituuuuu.” Akhirnya perjuangan
30 menit mencari serpihan akar itu berhasil.
Saya bisa agak lega. Tinggal menunggu dijahit. Setelah itu disuruh kumur,
menggigit kasa, merapikan rambut yang sudah mirip buta [butÉ”] (tokoh raksasa
dalam pewayangan), mengelap percikan darah di mulut, lalu beralih ke ruangan
sebelah untuk menunggu resep. Total waktu operasi 2 jam! Lebih lama daripada
yang pertama.
Berhubung mulut saya terasa tidak enak, saya
menutupnya dengan tissu. “Kenapa? Bau ya?” tanya drg. Henri. Saya menggeleng.
“Ngiler terus, Dok. Kok saya jadi meriang ya?” kata saya. “Iya soalnya tadi
keluar darah banyak.” “Nggak perlu transfusi kan?” tanya saya panik. “Nggak
lah. Pusing nggak?” Saya menggeleng lagi. “Belum boleh makan ya, Dok?” tanya
saya sambil terus menahan bunyi krucuk-krucuk di perut. “Iya. Nunggu biusnya
hilang.” “Sudah boleh minum kok, Mbak. Kalau biusnya belum hilang dipakai buat
makan, takutnya kegigit nggak kerasa,” kata Pak Mulyoto. “Nggih, Pak,” kata saya. Sebelum meninggalkan ruang operasi, saya
diberi tiga gulungan kasa dan secarik kertas bertuliskan anjuran pascaoperasi.
Setelah itu, saya ke bagian administrasi untuk membayar. Total semuanya
Rp128.125,00, tetapi ada salah satu obat yang tidak ter-cover sehingga obat itu harus saya bayar penuh. Usai mengambil obat
di bagian farmasi, saya kembali ke kantor.
Yang boleh dan tidak boleh dilakukan :D |
Murah kaaan? :D |
Sebentar-sebentar saya ke kamar mandi mengganti
tampon untuk digigit, tetapi pendarahannya tak kunjung berhenti. Sampai tampon
yang kedua, rasanya justru darahnya semakin banyak. Saya pun tak tahan, lalu
memuntahkannya. Lemas rasanya melihat banyak darah di wastafel. Tamponnya
tinggal satu lagi. Saya semakin panik. Tepat pukul 16.00, jam pulang kantor
saya bergegas pulang, berpikir bahwa di kos masih ada sisa tampon. Sambil
berjalan ke parkiran, saya mengirim SMS ke drg. Henri tentang pendarahan yang
tidak kunjung berhenti. “Dok, ini kok pendarahannya belum berhenti ya? Sudah
saya ganti tiga kali tamponnya. Obatnya belum saya minum soalnya saya belum
makan.” Haduh, kenapa tidak segera dibalas? Saya pun bergegas mengayuh sepeda
lalu mampir membeli es krim dan bubur ayam di daerah Kopma UGM. Ketika saya
melihat ponsel, ada balasan dari drg. Henri. “Rembes aja atau banyak?” “Sampai
penuh di mulut terus saya muntahin.” “Datang lagi aja, Mbak. Saya lihat lagi.”
Syukurlah, drg. Henri belum pulang.
Sampai di RSGM, saya segera masuk ke ruang operasi.
Ada tiga orang yang membantu drg. Henri. drg. Budi yang memegang selang suction, drg. Denta menyiapkan
alat-alatnya, drg. Ramzi memakaikan napkin.
“Masih pakai tampon ya,” kata drg. Henri. “Wah, jahitannya kurang rapat, kebuka
sedikit. Berarti harus benar-benar rapat ini. Tambah satu lagi jahitannya.”
Apaaa? Dijahit lagi? “Dibius kan, Dok?” tanya saya dengan nada lemah dan
pasrah. “Iya. Dikit kok.” “Jahit mulut dalam artian sebenarnya,” kata saya.
“Jangan ngomong dulu,” kata drg. Denta. Hehehehe. Sesungguhnya menyuruh saya
diam itu pekerjaan sulit. Ternyata biusnya beda, bukan suntikan seperti
sebelumnya, tetapi mirip pensil mekanik. Agak cekit-cekit rasanya. Jarum dan
benang pun masuk ke mulut saya. Di tengah-tengah proses menjahit, tiba-tiba....
“Aduh, putus!” seru drg. Henri. Aaaaa...ingin rasanya menangis dan berteriak saat
itu. Dalam sehari ini sudah banyak “momen mengejutkan” yang saya alami. Proses
menjahit pun diulang. “Hadap sini, Dek,” kata drg. Budi sambil membersihkan bagian
dalam mulut saya. Sementara itu, drg. Denta menuliskan resep untuk beberapa
obat tambahan.
Setelah proses menjahit selesai dan mulut saya sudah
bersih dari darah, drg. Henri menyuruh saya kumur. “Lagi, yang banyak. Nanti di
rumah udah nggak boleh kumur-kumur lho.” Setelah itu, drg. Henri memakaikan
tampon untuk digigit. “Dagunya baal juga kayak dulu?” tanya drg. Henri. “Iya,”
kata saya sambil mengangguk. “Ya ampun. Mecobalaminnya sudah diminum?” “Belum,
Dok. Kan saya belum makan. Belum saya tebus juga sih.” “Lho kok belum ditebus?”
“Mau ditebus di tempat lain, Dok.” “Kenapa nggak ditebus di sini?” “Di sini
lebih mahal, Dok. Nggak ter-cover.”
Jawaban terlalu jujur ini. Hihihihi. “Saya kira ter-cover.” “Dok, boleh makan es krim nggak?” tanya saya. “Pengen
banget ya?” “Ya kan nanti bisa buat ngompres, kalau udah cair dimakan.” Jawaban
yang lagi-lagi terlalu jujur, terlihat betapa hematnya saya. Hihihihihi. “Oh,
boleh kok. Bisa bantu pembekuan darah juga.” Kalaupun tidak diperbolehkan, toh
di tas memang sudah ada es krim dan bubur. Hehehehe.
Setelah semua proses itu selesai, saya keluar dari
ruangan dengan perasaan agak lega. Ketika berpapasan dengan drg. Budi, saya
berkata, “Dok, jangan panggil saya adek ya.
Saya sudah tua. Malu sama umur. Hehehehe.” “Oh, ya udah, mbak kalau gitu. Masih
pantes jadi adek-adek kok.” Berarti tampangku menipu. Hihihihi. “Nanti kalau
ada apa-apa kabari aja ya. Di sini ada Dokter Denta,” kata drg. Henri sebelum
saya meninggalkan RSGM. “Kalau jaga IGD itu biasanya kasusnya apa, Dok?” “Ya
kalau ada yang kecelakaan, misalnya ada yang jatuh naik motor atau habis cabut
terus berdarah-darah. Kebayang nggak kalau operasi empat-empatnya giginya kayak
gitu lamanya kayak apa? Hehehehe.” Aih, dokter ini! “Nggak mau bayangin,” kata
saya ketus. Saya segera berpamitan dan melaju bersama Minu ke Apotek UGM untuk
menebus obat tambahan dan menuju sebuah benda yang sudah saya bayangkan sejak
tadi: KASUR!
Begitu sampai di kos, saya langsung berteriak
membuat pengumuman, “Jangan main ke kamarku dulu ya! Kalau mau hubungin aku
SMS, BBM, WA, atau tulis surat aja! Sedang tidak menerima kunjungan.” “Ini
bocah kenapa lagi sih? Ngurusin gigi terus,” kata salah satu teman saya. Tidak
lama setelah itu, pendarahan pun berhenti. Syukurlah.
Malam harinya, saya menelepon ibu saya untuk sekadar
bercerita tentang proses operasi. “Tadi tuh operasinya lama lho. Dua jam,” kata
saya. “Kamu sama siapa?” tanya Ibu. “Sendiri.” “Kok sendiri?” Ya sendiri lah.
Mau sama siapa? Sesungguhnya berdua, tapi Minu nunggu di parkiran sepeda.
Hahahaha. Saat jam kerja, pasti sulit mencari teman yang punya waktu luang
untuk menunggui operasi. Di beberapa blog yang saya baca, biasanya orang yang
menjalani odontektomi diantar orangtua atau pacar. Kalau saya, mana bisa?
Orangtua jauh di perantauan, pacaaaaar...ehm, sudahlah tidak perlu dibahas
lagi. Hihihihihi. Yang penting saya kuat mengayuh sepeda dan sampai di kos
dengan selamat.
Saya pun masih berusaha “cari perhatian” dari Ibu.
“Tadi itu pas operasi dokternya lima, perawatnya tiga. Terus pas disuruh balik
lagi, dijahit lagi gara-gara pendarahannya belum berhenti, dokternya empat.”
Tadinya saya berharap ibu saya berkata, “Oh, anakku. Malang sekali nasibmu.
Sini puk-puk dulu.” Apa daya, yang saya dengar justru, “Ngeluarin gigi satu aja
kayak ngeluarin bayi.” Ealaaaah, modus manja pada ibu sendiri pun gagal.
Menyedihkan! Lalu harus manja pada siapa lagi? Sudahlah, tidak perlu dibahas.
Hahahaha.
Berkaca pada pengalaman operasi yang pertama, kali
ini saya tidak mau makan bubur instan yang tidak cocok untuk mantan bayi itu.
Eh, tapi berhubung masih ada satu kotak, sayang juga kalau harus dibuang. Ketok men pelite! (Terlihat sekali
pelitnya :-P) Terpaksa untuk sarapan dan makan siang saya makan bubur yang
rasanya nyeh itu. Sepulang kerja, saya mampir ke warung untuk membeli wortel,
tomat, dan seledri. Ceritanya mau buat bubur sendiri. Hehehehe. Perlu rasanya
saya mengucapkan terima kasih kepada penemu benda ajaib bernama magic com karena sangat membantu orang
dengan skill memasak ecek-ecek
seperti saya untuk menyediakan makanan layak konsumsi.
Saya cukup memarut wortel, memotong tomat
kecil-kecil, dan mengiris halus seledri, lalu memasukkannya ke baskom bersama
beras dan air. Tekan tombol cook-nya,
ditinggal guling-guling sebentar, diaduk dan ditambah air kalau mulai kering,
lalu ditambahkan santan (berhubung mau yang praktis beli santan instan) dan
garam dan ditunggu sampai masak. “Mudah bukan membuatnya?” (Sambil menirukan
gaya Bu Sisca Soewitomo, presenter acara memasak yang sangat terkenal sewaktu
saya kecil, jauh sebelum Chef Juna terkenal. Hihihihi.). Andai sejak dulu punya
magic com, mungkin saya tidak pernah
menggosongkan panci ibu saya dan anehnya, ibu saya tidak marah. Sebagai
“hadiah” karena tidak marah, saya pernah bernazar ingin membelikannya magic com kalau sudah bekerja dan
alhamdulillah sudah terlaksana J.
Ternyata, makanan yang mirip MPASI ini memang terasa nyeh, tapi setingkat di
atas bubur bayi instan. Hehehehe.
Buburnya aneh, tapi tetep dimakan :D |
Beres dengan urusan makanan, lain halnya dengan
“pipi apel”, bengkak di pipi yang cukup besar. Solusi mengompres dengan es batu
atau air es, lalu dengan air hangat setelah 24 jam memang oke, tapi yang
namanya bahaya sentuhan itu sulit dihindari. Saat itu, bertepatan dengan hari
ulang tahun rekan kerja saya, Mbak Nanik. Saya dan Mbak Ratna mengucapkan
selamat ulang tahun sambil berpelukan dan cipika-cipika. Ketika giliran saya
mengucapkannya, saya langsung berkata, “Mbak, cipika aja. Tanpa cipiki.”
“Alaaah. Nggak apa-apa, sini-sini,” kata Mbak Nanik sambil berusaha menempelkan
pipi kirinya ke pipi kiri saya. Syukurlah, hanya bercanda karena tidak
benar-benar menyentuh pipi saya.
Lain halnya dengan hari lain ketika saya menengok
paman Arum, sahabat saya, di RS Sardjito. Saat itu sepupu Arum yang bernama
Fatan (umurnya 3 tahun) ikut menengok bersama orangtuanya. Si adik kecil ini
entah mengapa “nempel” dengan saya kalau bertemu. “Kamu kan dikira temannya,”
kata Arum. Kesimpulannya: aku dikira anak kecil. Menyedihkan! Fatan
senyum-senyum sambil memegang tangan saya. “Kenapa? Mau dipangku?” tanya saya.
Saya pun mengangkat Fatan ke pangkuan saya dan tanpa sengaja, tangan Fatan
mengenai “pipi apel”. Wooow! Rasanyaaa! Mau marah, tapi susah. T_T
Beres dengan dua urusan itu, ada hal lain yang cukup
mengganggu, yaitu rasa mual dan demam yang tidak kunjung hilang. Sampai tiga
hari, sebentar-sebentar saya ingin muntah. Kata drg. Henri itu efek kehilangan
darah cukup banyak. Akhirnya, drg. Henri menyuruh saya minum pil tambah darah.
Mual hilang, ganti dengan rasa nyeri di bekas luka operasi. Semalam sebelum
waktunya kontrol, tiba-tiba terasa sakit tak tertahan. Aaaaa...guling-guling di
kasur sambil memeluk guling. drg. Henri menyarankan minum asam mefenamat.
Untung di kantong obat ada persediaan.
23 Februari 2015
Tepat seminggu setelah operasi, waktunya melepas
jahitan. Pagi-pagi saya sudah meluncur ke RSGM. Berhubung hari itu drg. Henri
sedang tidak berjaga di RSGM, saya ditangani temannya, namanya drg. Bramasto. Sebelumnya,
drg. Bramasto menghubungi drg. Henri dulu, bertanya tentang tindakan yang akan
dilakukan. Seperti biasanya, diperiksa tekanan darah, suhu tubuh, dan denyut
nadi. “Hah? Seratus tiga puluh? Tinggi banget!” seru drg. Bramasto saat saya
diperiksa. “Saya tuh takut rumah sakit, Dok. Habis nggak apa-apa, tahu-tahu tuh
jadi nggak jelas rasanya kalau masuk rumah sakit.” “Mbak, Mbak. Takut tuh
hantu. Takut kok takut rumah sakit?” Aih, dokter ini nggak percaya lho. Serius
ini. “Masih bleeding?” tanya drg.
Bramasto. “Bleeding apaan, Dok?”
“Pendarahan.” “Oh, nggak.” “Demam?” “Iya.” “Terasa nyeri?” “Sekarang nggak sih.
Semalam sakit banget.” “Rasa kebasnya masih?” “Masih.”
Sesaat kemudian, saya masuk ruang operasi bersama
drg. Bramasto dan seorang mahasiswa perawat gigi. Sebelum jahitan saya dilepas,
terlebih dahulu diperiksa bagian mulut yang mengalami parestesi. “Bagian sini?
Bagian sini? Ini?” tanya drg. Bramasto sambil menyentuh dagu dan bibir saya
dengan alat (entah apa namanya itu). “Jadi gini ya, Dok. Rasanya tebal. Dicubit
sakit. Kalau disentuh tuh kerasa, tapi kayak ada batasnya gitu.” “Lebar juga
ya. Dulu juga ya?” “Iya.” “Wah, Mbak ini mbakat ya.” “Dokter, bakat itu nari,
nyanyi. Bakat sakit sih nggak mau,” kata saya agak kesal. Errr. Sedang PMS lalu
jadi sensitif. Hihihihi. drg. Bramasto pun menaruh penggaris di dagu saya dan
bersiap memfoto saya. “Dok, ini yang difoto bibirnya aja?” tanya saya. “Iya.”
Ealaaah, tiwas arep pose (padahal mau
pose). Hahahahaha. drg. Bramasto kemudian membaca rekam medis saya, “Jahitan
enam simpul.” “Tujuh, Dok. Pas itu pendarahan nggak berhenti terus disuruh ke
sini lagi, jahitannya ditambah satu.”
“Wah, angel
ki. Kiwa meneh (Wah, susah ini. Kiri lagi.),” keluh drg. Bramasto. “Sik, sik, ganti. Guntinge medeni (Bentar,
bentar, ganti. Guntingnya menakutkan.).” Wah, dokter ini ngeluh-ngeluh.
Dikiranya saya tidak tahu bahasa Jawa mungkin ya? Hehehehe. Hambok basa Jawa krama wae aku ngerti (Bahkan
bahasa Jawa krama/halus aja aku ngerti).
“Kenapa dulu nggak pilih GA aja?” tanya drg.
Bramasto. Saya balik bertanya, “GA apaan, Dok?” “General anaesthesia,” kata drg. Bram. “Berarti opname ya, Dok?
Diinfus ya?” “Iya.” “Nggak ah. Ngerepotin orang banyak.” “Nggak ah. Kan
nginapnya cuma dari sehari sebelum sampai sehari sesudah operasi.” Aih, dokter
ini. Mau nginap sehari apa seminggu kan tetap saja harus ada yang menunggui.
Masa iya sih pasien daftar sendiri, dioperasi sendiri, tahu-tahu bangun
sendiri, ngurus administrasi sendiri? Masalahnya yang mau menunggui siapa? Sudahlah,
tidak perlu dibahas lagi. Hahahaha.
Bahkan, ketika saya menyampaikan wacana general anaesthesia ini kepada ibu saya,
tanggapan yang saya dapatkan adalah, “Udah, satu-satu aja. Ribet kalau mesti
opname. Kalau satu-satu kan bisa ngurus diri sendiri.” Intinya: MANDIRI! Belum
lagi rasa geli-geli aneh kalau ditanya orang, “Sakit apa kok opname?” dan
jawabannya “Sakit gigi.” karena banyak orang berpikir sakit gigi itu sepele
(bagi orang yang tidak pernah merasakannya). Lagi pula, saya belum memiliki
kartu BPJS Kesehatan karena kantor belum mengurusnya. Duh, jebolin rekening
lagi! Miris nanti kalau baca buku yang isinya paling menyedihkan di dunia,
yaitu buku tabungan yang saldonya sulit bertambah, tapi gampang berkurang.
Selesai melepas jahitan saya, drg. Bramasto keluar.
Saya pun keluar. Eh, tapi si dokter itu ke mana? Saya pun ke meja depan poli
bedah mulut. Tiba-tiba drg. Bramasto yang berada di belakang saya berkata,
“Mbak, sini dulu. Tak cari-cari e. Nggak kelihatan sih. Hehehehe.” Apaaa? Nggak
kelihatan? Saya masih manusia lho, bukan makhluk tak kasatmata. “Mecobalaminnya
masih?” “Masih.” “Ya udah. Dihabisin dulu.” “Kemarin juga mual terus disuruh
minum Sangobion sama Dokter Henri. Demamnya diminumin parasetamol ya, Dok?”
“Iya.” “Berapa kali sehari?” “Tiga kali aja kalau perlu. Ada yang perlu
ditanyakan lagi?” “Kok saya nggak sembuh-sembuh ya, Dok? Dulu itu cepet
sembuhnya.” “Ya karena Mbak kondisinya drop. Makannya juga berkurang. Dulu
demam nggak?” “Nggak.” “Nah, itu. Makan yang banyak proteinnya. Makan telur,
orak-arik, minum susu.” Pertanyaannya, gimana caranya ngunyah? Buka mulut aja
susah. -_- “Biasanya parestesi itu sembuhnya berapa lama. Dok?” “Beda-beda,
Mbak. Pasienku ada yang seminggu.” “Ya udah, nggak apa-apa, berarti ada
temennya,” kata saya. “Nanti kita pantau terus ya, Mbak parestesinya. Mbaknya
mbakat itu tadi sih. Hehehehe.” “Aduh, Dok. Bakat itu nari, nyanyi.” Errrrrr.
3 Maret 2015
Seminggu kemudian, saya kontrol lagi
ke RSGM UGM. Seperti biasanya, periksa tekanan darah, suhu tubuh, dan denyut
nadi. “Tekanan darahnya tinggi ya, Dok?” tanya saya. “Nggak kok. Udah normal. Cuma
nadinya masih tinggi.” “Iya, Dok. Soalnya tadi habis jatuh. Masih deg-degan.”
“Hah? Jatuh? Naik motor?” Saya menggeleng. “Naik sepeda.” “Tapi nggak apa-apa
kan?” “Cuma lecet sedikit di siku sama memar di kaki.” Sesungguhnya, lecet itu
tidak seberapa sakitnya. Yang lebih sakit itu ketika pengendara mobil yang
menyerempet saya berkata, “Maaf ya, Dek. Tadi tuh nggak kelihatan.” Apaaa? Segede
ini nggak kelihatan. “Rasa kebasnya berkurang, Mbak?” “Berkurang, tapi luasnya
masih sama.”
Sebelum masuk ke ruang operasi, saya
bertemu drg. Budi. Gawatnya, drg. Budi masih ingat dengan saya. “Eh, yang
kemarin itu. Ini mbak apa adek ya?” kata drg. Budi sambil tersenyum. Hiyaaaaa.
Jadi malu. “Garisane bentuke kaya ngene.
Gek nole ki endi yo? (Penggarisnya bentuknya kayak gini. Nolnya mana ya?)”
keluh drg. Bramasto sambil memegang penggaris segitiga. “Pojok, pojok,” kata
saya dengan kesal. Ya iya lah, angka nol pasti di ujung, kalau di penggaris
segitiga ya di sudutnya. drg. Budi pun tertawa melihat saya agak sewot.
Hihihihi. Setelah itu, bibir dan dagu saya difoto lagi.
“Sini, Mbak, tak resepin dulu.
Mecobalaminnya udah habis ya? Kemarin itu lupa kasih resep. Hehehehe.” Saya pun
nyengir. Untung saja hanya lupa meresepkan vitamin. Bagaimana ceritanya kalau
lupa meresepkan obat antinyeri? Bisa jerit-jerit histeris kesakitan pasiennya.
“Udah boleh buat ngunyah belum, Dok?” tanya saya. “Ehm...jangan dulu. Tunggu
dua-tiga hari lagi.” “Kok buat makan masih ada yang nyelip ya, Dok?” “Iya.
Memang lama itu, Mbak. Ada yang mau ditanyakan lagi?” “Ehm...saya berencana mau
cabut yang atas juga, Dok. Kira-kira berapa lama lagi ya bisa cabut lagi?”
Tiba-tiba drg. Bramasto mengambil ponsel di meja. “Sebentar ya, Mbak.” drg.
Bramasto melihat-lihat ponsel sebentar, lalu berkata, “Gitu, Mbak. Ada yang mau
ditanyakan lagi?” “Yang tadi kan belum dijawab, Dok,” kata saya. Dokter-dokter
dan pasien yang ada di sana pun ikut tertawa. “Apa ya tadi tanyanya?” “Kapan
bisa cabut lagi,” kata salah satu dokter. “Wah, itu nanti dikabari lagi aja ya,
Mbak. Nomor teleponnya ini kan? Saya juga tidak bisa menjanjikan apa-apa.”
Eleeeh, saya butuh bukti, Dok, bukan janji. Hahahaha.
Sebelum meninggalkan poli bedah
mulut, saya bertemu dengan drg. Denta. drg. Denta pun menyapa saya, “Lho, Mbak
Dewi, kok nggak sama Mas Henri? Nggak janjian ya?” “Nggak, Dok. Disuruh sama
Dokter Bram aja.” Waaaaah, gara-gara terlalu rajin berkunjung, residen-residen
di sana banyak yang mengenal saya. Akan tetapi, saya baru ingat satu hal. Ya
iya lah mereka tahu nama saya, saat itu saya memakai kemeja korsa, kostum semasa
jadi aktivis gelanggang mahasiswa UGM, di UKJGS (Unit Kesenian Jawa Gaya
Surakarta). Semasa waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk rapat, jadi
panitia, latihan nari, pentas, dan belajar make-up
dan pakai kostum daripada kuliah dan belajar. Di bagian dada tertulis nama saya
dengan huruf kapital: DEWI. Ealaaaah,
tiwas ge-er. Hahahahaha.
Tips
penting berdasarkan pengalaman odontektomi yang kedua:
- Hindari keramaian untuk menjaga si pipi apel dari bahaya sentuhan.
- Jaga-jaga obat antinyeri untuk mewaspadai rasa sakit ketika obat dari dokter sudah habis.
- Untuk perempuan, usahakan jangan cabut gigi saat haid untuk mencegah rasa lemas akibat kehilangan darah. Kalaupun tidak lemas, kasihan juga dokternya kalau pasiennya lagi sensitif dan sedikit-sedikit “senggol tabok”. Hahahaha. Jaga-jaga pil tambah darah juga.
- Tanya sedetail mungkin kepada dokter tentang apa yang harus dilakukan setelah operasi.Tidak semua orang berisiko parestesi (istilah gampangnya efek “mati rasa” pascaoperasi yang berkepanjangan”). Saya berisiko besar mengalami parestesi karena mulut saya kecil, tulangnya juga kecil, dan posisi gigi yang sulit, dekat dengan saraf gigi sehingga besar kemungkinan “tersentuh” sarafnya. Kasus saya ini termasuk kasus jarang.
Demikianlah cerita odontektomi saya
yang kedua. Agak heboh dan lebay mungkin ya. Hehehehe. Cerita tentang
odontektomi yang ketiga akan saya bagi dalam tulisan lain. Semoga dengan
membaca cerita ini, siapa saja yang akan menjalaninya tidak perlu takut dan
bereaksi berlebihan karena sudah punya bekal informasi yang cukup. Salam J
Mbak sakit ga sih pas operasi? Aku takut mbak gigiku juga impaksi hiks
BalasHapusKalau saya sakitnya di bibir soalnya bukaan mulut saya kecil. Bibirnya harus ditarik lebar-lebar. Pas operasinya secara keseluruhan nggak sakit, cuma ada rasa ditekan-tekan. Pascaoperasinya agak sakit sih, tapi asal tepat waktu minum obatnya insya Allah rasa sakitnya bisa diminimalkan. Nggak perlu takut :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmbak, makasih banyak yaa infonya :-)
BalasHapussaya nyari2 blog yg bahas odontentomi dng komplikasi parestesi gak nemu2.. baru dirimu aja yg nulis
mbak, parestesinya udah sembuh? berapa lama?
ini sy juga parestesi, udah 7 hari pasca odontektomi, bibir n dagu kiri bawah baal.. T_T
Kalau yang pertama 2 bulan hilang. Yang kedua sudah setahun lebih masih terasa sedikit, tapi parestesinya beda. Bukan kebas, tapi jadi lebih sensitif. Nggak terlalu mengganggu sih. Kemarin odontektominya di mana?
Hapuskemarin odon di RSUD ketileng, semarang.. maklum, gratisan, dicover bpjs 😀
Hapusini aku kebasnya tuh, ada rasa ketusuk2 atau ketarik2 gitu, setiap tiduran atau bicara, mbak dulu merasa sama gak?
kemarin odon di RSUD ketileng, semarang.. maklum, gratisan, dicover bpjs 😀
Hapusini aku kebasnya tuh, ada rasa ketusuk2 atau ketarik2 gitu, setiap tiduran atau bicara, mbak dulu merasa sama gak?
Kalau rasa ketariknya sih karena efek jahitannya. Pas jahitannya dilepas udah nggak kerasa ketarik.
Hapus