PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Setelah perawatan saluran akar gigi saya sampai pada tahap 4, yaitu pengisian saluran akar, perawatan gigi saya diserahkan kembali ke drg. Henri. Sebelum menjalani tahap selanjutnya, saya harus menjalani rontgen lagi untuk melihat kondisi gigi saya. drg. Evy memberi saya rujukan rontgen. Seperti biasa, rontgen di RSGM Prof. Soedomo UGM saja yang murah meriah dan dekat, tinggal gowes 5 menit langsung sampai.

Senin, 7 Desember 2015: Rontgen Gigi Lagi
Jam istirahat saya segera menuju bagian radiologi RSGM UGM. Lumayan banyak antreannya. Saya langsung melapor ke drg. Henri bahwa saya sudah sampai. Selesai difoto, saya duduk-duduk di depan bagian radiologi. Dari kejauhan, saya melihat drg. Henri menaiki lift, sepertinya mau ke lantai 3. Semoga segera membuka pesan dari saya, lalu segera melihat hasil rontgen supaya saya langsung bisa kembali ke kantor. Hasil rontgen sudah di tangan, drg. Henri meminta saya menunggu sebentar.
Dudududu. Sebentar-sebentar saya melihat jam di tangan. drg. Henri tak juga datang. Sudah pukul 12.45. “Dok, masih lama nggak? Kalau iya, saya mau balik ke kantor,” kata saya lewat WA. Duh, belum dibaca! Dari kejauhan saya melihat drg. Henri turun lewat tangga. Semoga segera menghampiri saya. Kok malah belok? Mau ke mana kok malah keluar? Ingin rasanya saya berteriak, “Doooook, jangan pergiiiii!” Eh, tapi nanti saya dikira orang gila, lalu diusir dari RSGM. Hehehehe. “Maaf ya, Mbak, saya mesti buru-buru ke Sardjito. Rontgennya difoto aja. Makasih,” kata drg. Henri beberapa saat kemudian.
Kondisi gigi setelah saluran akarnya diisi
“Dok, habis ini gigi saya diapain?” tanya saya. “Masih sakit nggak?” “Nggak. Kan nggak dipakai buat ngunyah.” “Justru harus dipakai biar tahu sakit atau nggak.” Saya pun mencoba untuk mengunyah dengan gigi sisi kanan. Sekali kunyah, tambalannya langsung copot. Ya Allah, perasaan aku ngunyahnya biasa aja. Yang dimakan juga nasi, bukan besi. Kok bisa langsung copot sih? -_- Tapi kata drg. Henri tidak apa-apa karena bagian dalam gigi saya sudah diisi bahan tambalan permanen. “Nanti kita cetak giginya buat bikin onlay,” kata drg. Henri.

Rabu, 9 Desember 2015 (Kunjungan 7): Cetak Gigi
Berhubung Rabu, 9 Desember 2015 itu hari libur karena ada pilkada serentak, kami putuskan untuk melakukan tahap perawatan yang selanjutnya, yaitu pengisian lubang gigi dengan tambalan permanen. Kebetulan tetangga saya mengajak jalan-jalan, jadi saya memintanya untuk menemani saya ke dokter gigi dulu. Toh tidak terlalu lama, hanya 1 jam. drg. Henri menyuruh saya datang jam 12.00, saya pun bersiap-siap, lalu cepat-cepat sholat ketika sudah adzan. Begitu saya siap, lha kok tetangga masih dandan. Aaaaa...bisa telat nih!
Pukul 12.00 kami baru berangkat dari kos. Pukul 12.20 baru sampai dan ternyata sudah ada pasien lain. Hiksssss. Gara-gara tetangga gambar alisnya siap-siapnya lama sih. “Tunggu sebentar ya, Mbak. Ada pasien lain,” kata drg. Henri. Saya pun duduk-duduk bersama Mbak Martha sambil rumpi-rumpi rempong dan ketawa cekikikan. “Eh, kita kok berisik ya? Dokternya denger nggak?” kata Mbak Martha. “Biarin aja. Hahaha. Eh, nanti Mbak Martha ikut masuk aja ya biar ngerti prosesnya gimana.” “Nggaaaaak! Takut!” Hedew, tetangga satu ini belum juga berhasil saya bujuk untuk periksa, padahal dia juga punya masalah yang sama dengan saya, yaitu gigi yang berlubang cukup besar dan polip.
Sekitar 30 menit kemudian giliran saya. “Giginya tinggal ditambal. Mau ditambal biasa apa onlay? Kalau tambalan biasa ya harganya seperti biasa, tapi ya gitu. Takutnya belum apa-apa udah pecah.” “Uhm...kalau onlay berapa, Dok?” “Lima ratus ribu. Itu udah diskon.” “Uhm...ya udah deh onlay aja.” “Tapi ini logam lho ya.” Apaaaaa? Logam? Jadi kayak menyimpan harta di gigi. T_T “Jelek dong, Dok?” kata saya sedih. “Logam itu yang paling kuat. Kalau komposit belum apa-apa udah pecah, nanti repot.”
Tik...tok...tik...tok. Saya berpikir sesaat. “Uhm...ya udah deh nggak apa-apa. Duh, habis ini puasa.” “Puasa? Puasa apa?” “Senin-Kamis. Kalau lagi pengen. Hehehe.” Tidak untuk ditiru ya. Puasa itu harusnya niatnya murni ibadah, ikhlas sebagai tanda syukur. Perkara hemat, pahala, dan manfaat lainnya, itu poin plus-plus. Hehehe. “Eh, ini aman kan, Dok?” Saya bertanya untuk memastikan. “Amaaaaan. Logam itu yang paling kuat. Yuk kita mulai!” kata drg. Henri. drg. Henri pun menyiapkan alat-alatnya. Saya duduk di dental chair. drg. Henri menaruh selang pengisap air liur di mulut saya. “Ini ditaruh di sini. Kalau mau bantu pegangin juga boleh. Hehehe.” Eleh, bilang aja nyuruh saya pegang sendiri. :P Mulailah drg. Henri mengorek-ngorek bekas tambalan, lalu beberapa kali mengebor gigi saya.
“Dok, gigi saya yang kiri bawah ini berlubang kecil di pojokan. Dulu itu cuma garis hitam, tapi lama-lama jadi lubang,” kata saya. drg. Henri melihatnya sebentar. “Oh, ini bukan berlubang, tapi pecah. Kalau ditambal nggak bisa nempel. Nanti dihalusin aja ya biar nggak tajam.” Gigi saya pun ditutup kembali dengan tambalan. “Dalamnya udah diisi tambalan permanen. Jadi buat makan nggak apa-apa,” kata drg. Henri. “Udah selesai, tinggal kita cetak giginya. Udah pernah dicetak giginya?” “Belum, Dok,” kata saya. “Nanti kita cetak. Seperti biasa, kita pakai yang ukuran S. Hahahaha,” kata drg. Henri sambil menunjukkan alat cetak gigi yang terbuat dari plastik. Saya pun nyengir. Udah kenyang diledekin drg. Henri perkara tubuh dan mulut saya yang kecil.
Cetakan gigi dari plastik
Sumber: http://bemkedokterangigiunsri.blogspot.co.id/2013/06/latihan-pembentukan-model-rahang.html
“Kita pakai bahan cetakannya kayak balon.” drg. Henri menyiapkan adonan cetakan gigi. Bentuknya seperti adonan kue, warnanya hijau, lalu dibentuk bulat-bulat, mengingatkan saya pada adonan klepon yang sering saya buat. Sempat saya jilat sedikit, rasanya seperti permen karet. Hahahaha. Adonan itu dimasukkan ke dalam cetakan gigi, lalu dimasukkan ke mulut untuk saya gigit. Duh, rasanya mulut saya seperti ditarik. Cetakannya udah ukuran S, tapi dasarnya mulut saya kecil ya tetap saja kebesaran. Terlebih lagi, saya mulai gelisah karena satu hal: KEBELET PIPIS! Aaaaa! Udah di ujuuuuung! Beberapa menit kemudian cetakan gigi dilepas. “Duh, nggak dapet nih,” kata drg. Henri sambil membuang adonan cetakan gigi itu ke tempat sampah. Hiksss. Maafkan ya, Dok! “Bibirnya tuh biasa aja, jangan ngelawan.” Ya gimana nggak ngelawan? Cetakannya berasa mau mencelat keluar dari mulut. -_- “Saya ke toilet bentar ya, Dok,” kata saya sambil buru-buru keluar.
Proses mencetak gigi pun diulang. Saya berusaha supaya kali ini tidak gagal. Sakit-sakit dikit ditahan. Yay, akhirnya cetakan gigi pun terbentuk. drg. Henri menyiapkan adonan lagi, tapi beda, warnanya pink dan dibuat di mangkuk, tidak dibentuk bulat-bulat. “Yang atas juga dicetak ya, Dok?” tanya saya. “Yups!” Akhirnya semua gigi selesai dicetak. Cetakan gigi ini akan dibawa ke laboratorium untuk membuat onlay. “Selesai.” “Eh, yang gigi kirinya belum jadi dihalusin, Dok,” kata saya. “O, iya.” Yeyeye! Dapat bonus menghaluskan gigi. “Mbak nyikatnya kurang ke belakang. Jadi percuma, nanti bisa berlubang lagi, berlubang lagi.” “Apa pakai sikat yang buat anak-anak ya biar bisa menjangkau semua?” Bukannya menjawab, drg. Henri malah tertawa. Errrrr! “Ya...bisa.” Duh, nasib punya badan dan mulut kecil. Tidak hanya baju dan sepatu yang ukuran anak-anak, sikat gigi juga. “Ini tadi gigi saya diapain, Dok?” tanya saya. “Dibikinin base. Jadi buat makan nggak apa-apa.”
Sungguh, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membeli sikat gigi unyu ini :3
“Jadinya mungkin semingguan. Nanti saya hubungi lagi ya,” kata drg. Henri sambil menulis di rekam medis. “Minta kuitansi ya, Dok. Biar tahu uangnya habis ke mana. Hehehe.” “Oh. Iya. Di bawah ya.” Kami pun berjalan ke apotek yang ada di lantai satu. “Eh, temennya ke mana? Kabur ya? Hehehe.” “Cari makan, Dok.” Duh, ya kali saya jujur bilang kalau dia takut dengar suara bor dan membayangkan giginya dibor, lalu bornya meleset kena bagian mulut lainnya, lalu berdarah-darah. Hehehe. Ketika saya menunggu drg. Henri menulis kuitansi, Mbak Martha datang. “Wis, Wi? Bayar ora?” (Sudah, Wi? Bayar tidak?) “Yo bayar lah,” kata saya. drg. Henri menyerahkan kuitansi kepada saya sambil berkata, “Bayarnya besok aja kalau udah dipasang.” Waaaaa, dibolehin ngutang. Mungkin tadi dokternya mendengar percakapan kami, lalu merasa kasihan. Hihihihi.

Senin, 21 Desember 2015 (Kunjungan 8/Terakhir): Pasang Onlay
Lagi-lagi karena drg. Henri sibuk dan saya suka cari-cari kesibukan juga terkendala cuaca buruk, jadwal pemasangan onlay pun mundur. Harusnya Sabtu, 19 Desember 2015, tapi diundur. Kenapa saya menghindari tanggal itu? Karena itu tanggal keramat, hari kelahiran almamater tercinta. Hahaha. Nggak juga sih. Memang harus ikut acara dies natalis sebagai bentuk kecintaan terhadap almamater dan institusi tempat saya bekerja. Sekarang kan nggak perlu berjuang angkat senjata, masa disuruh upacara dengerin rektor pidato aja nggak mau? Hihihihi.
Senin, 21 Desember 2015 saya datang ke tempat praktik drg. Henri sepulang kerja. Hosh...hosh.... Napas saya terengah-engah selepas mengayuh Si Minu (sepeda ungu kesayangan saya) menempuh perjalanan dari Bulaksumur ke Demangan Baru. Setelah minum dan napas saya normal, barulah saya duduk di dental chair. “Tambalannya copot?” tanya drg. Henri. Saya mengangguk. Nggak cuma copot, Dok, malah sampai ketelan. Bikin keracunan nggak ya? Hahaha. drg. Henri mencoba memasangkan onlay ke gigi saya. “Bagus kok, pas. Nanti kita asah biar pas sama atasnya.”
Terlebih dahulu gigi saya dibersihkan dari sisa makanan. “Dikasih semen ya.” Setelah disemen, onlay pun dipasang menyelimuti gigi geraham saya. “Coba digigit. Udah sama kiri-kanan?” “Tinggian kanan, Dok.” “Ya udah kita asah.” Gigi saya yang sudah diselimuti logam itu dibor, lalu saya disuruh menggigit-gigit benda kecil semacam ampelas untuk menghaluskannya. “Udah sama?” “Belum.” Gigi saya dibor lagi, diasah lagi. “Udah?” “Belum, Dok. Karena belum biasa aja apa ya? Lagian kan gigi saya strukturnya nggak rata, Dok. Nggak bisa nutup pas.” “Udah aja ya? Kalau diasah terus nanti tipis. Misal besok-besok lagi mau kontrol boleh.” “Nggak kelihatan kan, Dok?” “Nggak. Kan di pojokan.” Berarti mulai sekarang kalau tertawa harus dikontrol, mangapnya tidak boleh terlalu ekstrem supaya si gigi logam tidak terlihat. Yay! Selesailah proses perawatan saluran akar gigi 47 saya.
Saya pun mengeluarkan uang. “Ini, Dok. Kemarin kuitansinya udah. Lho, nggak dihitung dulu?” “Nggak. Saya percaya kok.” “Wogh, bisa aja lho saya nilep selembar.” “Kan penari, seniman, nggak bohong lah.” Eng...korelasinya apa ya antara profesi seniman dan kemungkinan tidak bohong? Saya gagal paham. Eh, lagian saya kan bukan penari, cuma suka pakai make-up sama kostum, tampil bentar, lalu foto-foto. :P “Untung saya nggak kabur lho, Dok.” “Hahaha. Mau kabur gimana? Kan belum dipasang.” Lagi pula kalau saya kabur, nyarinya gampang, tinggal lihat di rekam medis, ada alamat saya.
Saya bukan penari, cuma suka dandan terus foto-foto :P
Acara pun berlanjut ke sesi konsultasi. Bukan Dewi Surani namanya kalau tidak bertanya yang aneh-aneh. Ahihi. “Dokter pernah sakit gigi?” Bukannya menjawab, drg. Henri malah tertawa. Mungkin membatin, Dasar pasien sableng! “Pernah dulu waktu SMA.” “Terus kalau sakit Dokter ke mana?” “Ya gampanglah. Kan temen yang dokter gigi banyak.” “Kemarin itu tetangga saya tanya, apa kalau sakit bisa ngobatin sendiri. Saya jawab, ‘Iya. Benerin sendiri sambil ngaca’.” “Hahaha. Ya nggak bisalah.”
“Dok, saya kalau makan ngunyahnya lama sampai lembut. Apa itu yang bikin gigi saya rusak?” “Nggaklah. Gigi rusak itu karena terlarut, bukan karena sering dipakai makan. Komponen penyusun tubuh yang paling keras itu gigi lho, bukan tulang tengkorak. Gigi dan tulang dengan volume sama, dikasih beban yang sama, lebih duluan tulang pecahnya. Bisa rusak itu karena benturan mendadak. Kayak ubin, dikasih beban beberapa ton nggak apa-apa, tapi kalau dibanting, jatuh, bisa pecah. Gitu analoginya.” Baiklah, kuliah 1 SKS dengan ahlinya. Penjelasan yang mudah diterima oleh orang awam. Mungkin drg. Henri tahu kalau pasiennya ini agak oon, jadi penjelasannya dibuat semudah mungkin. Hehehe. “Saya udah nggak mau makan permen, Dok. Tapi kalau cokelat sama es krim belum bisa.” “Sebenarnya nggak apa-apa, yang penting rajin gosok gigi.” Nah, itu masalahnya. Rajinnya itu kambuh-kambuhan. Hehehehe.
Sesi “kuliah” pun ditutup dengan perdebatan manakah yang lebih bagus antara UI dan UGM. Untungnya yang dijadikan parameter adalah UKM (unit kegiatan mahasiswa). Untung dulu pernah jadi “bocah gelanggang”, jadi agak nyambung lah. Untungnya lagi, drg. Henri tidak berkata, “Lebih banyak alumni UI lho yang jadi menteri sekarang.”, “UI punya danau dan gedung perpustakaannya bagus lho.” (sebenarnya UGM juga punya danau lho), dan yang penting tidak bertanya, “Jaket almamater UGM itu sebenarnya warnanya apa sih? Nggak jelas gitu.” Nah, kalau pertanyaannya ini, saya mesti membuka memori materi ke-UGM-an semasa ospek dulu. Mesti bercerita panjang lebar tentang sejarah berdirinya UGM dan jaket warna karung goni yang sarat makna filosofis itu. Duh, gaya beneeeeer! :D
Apalah arti sebuah nama, eh warna, Mas Nico :D
Sumber: http://ranselmini.blogspot.co.id/2012/09/kalo-ada-cowo-yang-pengen-bgt-gue.html
Tips jadi pasien cerdas ala pasien duduls:
  1. Kenali jenis sakit gigi dan datanglah ke dokter gigi yang tepat. Dokter gigi itu spesialisasinya macam-macam lho. Ada bedah mulut, periodonsia, konservasi gigi, prostodonsia, kedokteran gigi anak, penyakit mulut, ortodonsi. Cari sendiri penjelasan rincinya ya. :D
  2. Kalau gigi berlubang parah, jangan buru-buru minta dicabut. Konsultasikan kepada dokter gigi, apakah ada pilihan untuk mempertahankannya.
  3. Jadilah pasien yang kritis. Kalian berhak tahu dan harus mencari tahu tentang tindakan yang dokter lakukan pada gigi kalian.
  4. Catat atau ingat-ingat informasi tentang riwayat kesehatan gigi, apalagi kalau berpindah dokter dan tidak ada catatannya. Ini akan sangat membantu dokter dalam melakukan tindakan. Jadi, misal dokter bertanya, “Kapan terakhir scalling?” bisa langsung menjawab, tidak balik bertanya, “Kapan ya, Dok? Nggak tahu. Hehehehe.” Dokternya mungkin nggak marah, cuma membatin, “Lha yo embuh. Kuwi rak untumu, dudu untuku.” (Ya nggak tahu. Itu kan gigimu, bukan gigiku.) :D
  5. Menjalani perawatan saluran akar gigi itu nggak serem, yang serem waktu bayar. Hehehe. Mesti siapkan hati yang lapang karena butuh kesabaran untuk bolak-balik ke klinik.
  6. Onlay logam itu aman kok, lolos metal detector. Saya sempat ditakut-takuti teman, katanya nanti alatnya bunyi. Nyatanya waktu saya ke Singopuran, eh Singapura lolos juga. Hehehe. Lagian kok saya begitu polosnya percaya.
    Muka kucel bangun tidur, tapi bahagia karena lolos pemeriksaan imigrasi dan metal detector :D
Rincian biaya:
Konsultasi = Gratis
Rontgen periapical 2x @20.000,000 = Rp40.000,00
Potong polip = Rp70.000,00
PSA 4 kunjungan @Rp200.000,00 = Rp800.000,00
Pembuatan base, cetak gigi, pembuatan dan pemasangan onlay logam = Rp500.000,00
Total biaya = Rp1.410.000,00
*Ini standar tahun 2015 ya dan mungkin di dokter gigi atau klinik lain tarifnya beda. Belum termasuk obat juga misal perlu. Saya masih punya obat penghilang nyeri jadi tidak perlu membeli.

Akhir kata, terima kasih untuk drg. Henri dan drg. Evy yang sudah merawat gigi saya dengan sabar (maafkan ya saya suka bawel :D), petugas bagian radiologi yang sudah melayani dengan baik, dan Mbak Martha yang sudah bersedia menemani (kutunggu giliran aku yang nemenin :P). Karena setiap bagian kecil tubuh kita berharga, yuk kita sayangi semua, termasuk gigi. Jaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut ya! Salam! :D

Komentar

  1. duh aq cuma mw psa nih,cuma bru mw foto dulu ... brp biaya foto rontgen periapical di rsgm ugm sis ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau pakai rujukan dari luar (misal dari dokter gigi praktik pribadi) 20 ribu, kalau rujukannya dokter RSGM 12 ribu. Kalau belum berubah ya. Itu tahun lalu.

      Hapus
    2. oh gitu ea mbak,makasi infonya

      Hapus
    3. Sama-sama. Mau PSA di drg praktik pribadi atau RSGM?

      Hapus
  2. Halo Mbak.
    Kalo boleh tau, drg. Evy ni buka praktek pribadi di jogja ngga ya? soalnya saya sedang cari-cari info spkg di jogja untuk lanjutin perawatan sebelumnya, berhubung saya pendatang juga di jogja.. hehe..
    Makasih ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setahu, saya drg. Evy praktik di drg. M. Ratna Sudjarwo (Jl. Gejayan, dekat Hotel Grand Tjokro) dan Dentes Jl. Monjali, tapi hari dan jamnya saya kurang tahu. drg. Evy pernah cerita katanya sore sampai jam 9. Atau mungkin bisa ke RSGM UGM. Layanan poli konservasi gigi hari Senin-Jumat jam 8-16.

      Hapus
    2. Makasih Mba infonya :D
      Kira2 mbaknya tau ngga ya, kalo ke poli konservasi RSGM harus bawa rujukan ngga ya? atau langsung tancep aja hahaha..

      Hapus
    3. Kalau saya waktu pertama ke RSGM konsultasi dulu dengan drg umum, di unit pelayanan umum. Nanti diarahkan.

      Hapus
  3. waaa....aku jg pernah psa gigi, tp di dentes monjali. Awalnya periksa di RSGM krn gigi berlubang. Ma dokter di RSGM cm disaranin bt PSA, dan selama belum mulai PSA, gigi berlubangnya cm ditambal sulam pake kapas. Seiring berjalannya waktu akhirnya aku beraniin bt PSA di dentes. Cuma menghabiskan waktu 3 kali pertemuan utk proses PSA (plus 1 pertemuan bt bersih2 gigi). Total biaya sekitar 900an. Dan selama proses itu aku selalu memejamkan mata sambil berdoa. Mbak Dewi hebat lo, berani menyaksikan alat2 tempurnya pr drg itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak serem kok :) Lebih serem waktu cabut gigi bungsu berdarah-darah. Tapi mending lihat alat-alatnya daripada mukanya ditutup, merem berjam-jam.

      Hapus
    2. mungkin gegara aku rada trauma kali ya ma drg >.< secara udah pernah cabut 2 gigi geraham sebelumnya (bukan geraham bungsu). Dan entah kenapa ruangan drg di mana2 aromanya selalu sama. Jadi baru masuk ruangannya aja udah berasa mau ngadepin ruang penyiksaan T-T. Btw, knp mulut mbak Dewi dibilang kecil? Nek dilihat dari foto kok kayaknya biasa saja? Emg kriteria 'mulut kecil' itu seperti apa? Maaf kebanyakan tanya....

      Hapus
    3. Di rumah sakit pasti baunya obat dan segala cairan-cairannya :) Rahang saya kecil, nggak cukup menampung 4 gigi bungsu. Makanya letaknya dalam semua. Bukaan mulutnya, ruang mulutnya juga kecil jadi mesti hati-hati kalau mau memasukkan alat-alatnya, malah pernah sampai bibirnya luka. Tapi karena nggak tahan sakit, ya mesti dijalani. Jadi sekarang kalau ke drg buat periksa rutin ya biasa aja. :)

      Hapus
    4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    5. Hai mba, ikut nimbrung ning.. itu biaya PSA di Dentes taun berapa yah? Lagi galau mau pilih2 klinik, karena kl ke RSGM agak jauh saya ngga ada yang antar XD
      Dentes tuh termasuk murah ga sih tarifnya?
      Sama ngerasa ga enak aja kalo misal ke RSGM nanti residen yang nangani dioper2 gitu.. jadi gak nyante hehehe.. makasih n.n

      Hapus
    6. Saya perawatan di K24 kak, bukan di Dentes. Itu kira-kira setahun yg lalu. Kurang tahu ya di Dentes berapa. Mungkin bisa tanya ke Dentes langsunh. Saya pernah cabut gigi bungsu di RSGM UGM nggak bisa dengan dokter residen yg sama tp mesti janjian.

      Hapus
    7. @kikychandesu biaya total 900 ribu itu tahun berapa ya?
      coz mau psa juga nih hehe

      Hapus
  4. mbak dulu mesti perawatan dulu gak sebelum PSA? kaya saluran akar gigi gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pas PSA itu ya perawatan saluran akar gigi. Kalau saya sebelum itu potong gusi dulu soalnya bengkak.

      Hapus
  5. Kalau di RAGAM UGM bisa Rontgen gak ya mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa mbak. Saya rontgennya selalu di RSGM. Yang penting bawa surat pengantar dari drg.

      Hapus
  6. Halo, mau tanya dl di PSA nya sama dokter gigi umum, atau dokter spesialis syaraf gigi yah? makasihhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya dulu sama residen (dokter yg kuliah spesialis) konservasi gigi mbak

      Hapus
  7. Wahhh.. Sangat membantu sekali. Mau rencana psa, tp saya pikir harus konsul dulu. Soalny patah jg giginy tp g smpe ada polipnya. Makasih infony di blog ♥

    BalasHapus
  8. Halo kak... mau tanya krn besok mau konsultasi ke rsgm unair, dan didiagosa perlu psa juga , apakah sakit banget kak selama menjalani psa ? Soalnya bayanginnya serem banget :( dan musti ngumpulin keberanian buat duduk di kursi dokter gigi :( terimakasih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, terima kasih sudah berkunjung. Maaf banget lama vakum ngeblog. Nggak serem kok, dijalani aja :)

      Hapus
  9. Kak kalau psa di klinik itu bagus gak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf ya lama banget nggak aktif ngeblog. Bisa cari-cari review klinik ya atau coba konsul dulu.

      Hapus
  10. Kak saya mau tanya, anda perawatan saluran akar itu kakak di rsgm UGM pasien koas atau pasien umum ?
    Terima kasih kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, maaf ya lama nggak ngeblog. Di klinik, tp yg ngerjain residen (calon dokter spesialis), bukan di RSGM.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair