Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 5, Terakhir): Rasane Wis Embuh! (Rasanya Sudah Entah!)

Setelah bekas luka operasi gigi saya yang kiri atas sembuh, saya dan drg. Gunawan merencanakan operasi yang keempat untuk gigi kanan atas pada 20 Maret 2015. Sengaja dipercepat karena kartu GMC saya hanya berlaku sampai 31 Maret 2015. Sehari sebelumnya, drg. Gunawan mengingatkan saya. “Mbak, besok jadi operasi?” Ya jadi laaaaah. “Jadi, Dok.” “GMC-nya sudah diurus?” “Sudah.” “Rontgennya di RSGM atau dibawa ya?” “Saya bawa, Dok.” “Besok mau jam berapa?” “Jam berapa aja, Dok. Yang penting ruangannya ada jendelanya. Hehehehe.” “Ya udah. Pagi aja biar bisa milih ruangannya. Jam 8 ya.” Oke deh! J

20 Maret 2015
Pukul 08.00 saya segera meluncur ke RSGM UGM setelah mengurus surat izin meninggalkan kantor. Mendaftar di bagian administrasi, lalu naik ke poli bedah mulut, mendaftar di bagian administrasi, lalu menunggu dipanggil. Prosedurnya masih sama. Hehehehe. Tidak lama kemudian nama saya dipanggil. Di dalam ada tiga mahasiswa profesi perawat gigi. Mereka memeriksa tekanan darah, suhu tubuh, dan denyut nadi saya. “Nanti operasinya sama Dokter Gun ya, Mbak?” tanya salah seorang mahasiswa. “Iya. Dokter Gun udah datang?” kata saya. “Belum, Mbak. Paling sebentar lagi. Kartu periksanya ketinggalan ya, Mbak?” kata salah seorang mahasiswa sambil memberikan kartu periksa berwarna biru. Hiyaaaaa. Udah dari kapan kartu ini hilang? Enam bulan yang lalu sepertinya, saat saya melepas jahitan pascaoperasi yang pertama. “Mbak, saya tunggu di luar aja ya,” kata saya.
Punya dua kartu. Hihihihi.

Saya pun duduk-duduk lagi di luar. Mencoba menghubungi drg. Gunawan. “Dok, saya sudah di poli bedah mulut.” “Tunggu sebentar ya, Mbak. Sudah sarapan?” “Sudah.” “Masuk aja biar ditensi sama perawat.” “Sudah, Dok.” Pokoknya udah siap buat “eksekusi”. Hahahaha. Entah mengapa untuk yang keempat ini saya lebih tenang. Ya iya laaaaah. Udah empat kali. “Ya udah. Tunggu sebentar ya.” Tidak lama kemudian drg. Gunawan datang. “Tunggu sebentar ya, Mbak,” kata drg. Gunawan.
“Masuk, Mbak,” kata drg. Gunawan beberapa saat kemudian. Kami pun bersiap masuk ke ruang operasi. “Sandalnya nggak ada yang nomor 34-35 ya, Dok?” tanya saya. drg. Gunawan pun tertawa. “Ruangannya ada jendelanya ya, Mbak. Udah sesuai request ya,” kata drg. Gunawan. Saya tersenyum senang. Jempol deh buat drg. Gunawan. Hehehehe.
Saya melirik jam tangan mungil di tangan saya. 09.50. Mulailah saya mengoceh, mengajak drg. Gunawan ngobrol ngalor-ngidul. Terserah lah kalau mau dibilang cerewet. Sesungguhnya, ini cara saya mengurangi rasa tegang. Hihihihi. “Ini yang terakhir ya, Mbak?” tanya drg. Gunawan. “Iya, Dok. Pengen cepet selesai. Berat badan saya udah turun nih.” Sebelum operasi yang kedua, berat badan saya 40 kg. Terakhir nimbang kok jadi 38,5 kg??? Pasti timbangannya yang salah. Hihihihi. “Nggak perlu diet lagi ya?” “Nggak apa-apa sih, Dok. Nanti kalau nari pakai kostum jadi kelihatan bagus badannya. Hehehehe.”
Sesungguhnya, rumus menurunkan berat badan untuk saya itu mudah. Ketika cewek-cewek lain sibuk mengatur pola makan, diet ketat, dan mati-matian olahraga, saya cukup jalan kaki, bersepeda, dan menari. Kalau mau lebih banyak turunnya ya tambah-tambah mikir yang agak berat. Buat saya, diet itu kepanjangannya “dietung naiknya berapa kilo”. Hihihihi. Saya dan Arum, sahabat saya, sebagai sesama orang yang sering bermasalah dengan gigi, sepakat bahwa sakit gigi itu cara ekstrem untuk menurunkan berat badan, tetapi tidak untuk dipraktikkan ya. Hehehe. Ya iya lah. Waktu sakitnya kambuh pasti selera makan menurun drastis. Acara makan yang tadinya menyenangkan jadi menyiksa gara-gara si gigi nyeri. Rasanya dilematis. Mau makan, tapi sakit. Nggak pengen giginya nyeri, tapi nggak kuat nahan lapar. Solusinya minum susu atau sereal. Iyuuuh, buat saya itu cuma cemilan, numpang lewat.
Sahabat sehati, termasuk untuk urusan sakit gigi. :D

“Mimpi apa ya operasi sampai empat kali? Padahal dulu kalau sakit disuntik aja nggak mau.” drg. Gunawan pun tertawa mendengar saya mengoceh. “Jadi tuh urutannya gini, Dok. Operasi pertama nggak sakit, pascanya nggak sakit. Operasi kedua nggak sakit, pascanya agak sakit. Operasi ketiga sakit....” “Pascanya juga sakit ya?” “Iya. Hehehehe. Nggak tahu nih yang terakhir nanti gimana.” “Saya raba dulu giginya ya,” kata drg. Gunawan sambil memasukkan jarinya ke mulut saya. “Mbak Surani ini mulutnya kecil banget ya,” kata drg. Gunawan sambil tertawa. Iyuuuuuh, udah berapa kali bilang gitu? Bilang kayak gitu sekali lagi, saya kasih gantungan kunci unyu lho, Dok! Hahahaha.
drg. Gunawan pun keluar sebentar untuk berganti baju. “Tanda tangan suratnya dulu, Mbak,” kata drg. Gunawan. Saya pun mengisi data diri dan menandatanganinya. “Udah ke toilet, Mbak?” “Hehehehe. Udah, Dok,” kata saya. Kemudian, saya berkumur-kumur. drg. Gunawan bersiap menyuntikkan bius ke mulut saya. “Dok, minta pakai gel dong. Sakit banget yang kemarin itu,” kata saya. “Oh, iya, Mbak.” drg. Gunawan pun mengoleskan gel ke bagian mulut yang akan disuntik. “Kumur dulu biar mulutnya agak enakan,” kata drg. Gunawan setelah menyuntikkan bius.
Ada cerita konyol soal minta pakai gel ini. Beberapa saat setelah operasi, salah seorang teman saya yang giginya sudah berlubang parah, tapi tidak juga berani cabut gigi bertanya bagaimana rasanya cabut gigi. Saya jawab sakitnya cuma waktu dibius. Minta pakai gel saja supaya tidak sakit. Tiba-tiba dia menjawab, “Eh, bukannya gel itu buat anak-anak ya? Dulu aku tanya sama dokternya dibiusnya boleh pakai gel aja malah diketawain.” Weitsss? Apa iya? Ketika saya konfirmasi ke drg. Gunawan, hanya dijawab, “Hehehehe.” “Jadi waktu saya minta pakai gel tadi Dokter mau ketawa ya?” “Hehehehe. Sedikit.” Huaaaaa. Bantal mana bantal? Mau sembunyi aja. Malu parah. Hahahaha.
“Nanti kalau capek boleh istirahat bentar ya, Dok?” kata saya. “Boleh. Asal nggak minta makan. Hehehe.” Hiyaaaaa. Ya kali di tengah-tengah operasi mau makan? Kalaupun saya mau makan, bayar sendiri kok, nggak minta ditraktir. Kalaupun minta ditraktir, nggak aneh-aneh kok. Yang murah aja cukup. Hehehehe. drg. Gunawan memberikan kain hijau untuk menutup dada. Tidak lupa dicium-cium dulu wanginya seperti biasa. Hihihihi.
Pukul 10.00 operasi pun dimulai. Satu per satu alat masuk ke mulut. Di tengah-tengah operasi, drg. Bramasto masuk menanyakan sesuatu kepada drg. Gunawan. Tidak lupa melihat keadaan saya. Ih, ngapain sih? Awas kalau ngeledekin lagi! Hahahaha. “Kok nggak ditutup?” tanyanya. Saya hanya melambaikan tangan, memberi tanda bahwa saya tidak mau. Operasi pun berlanjut dan...aaaaw! Lagi-lagi drg. Gunawan menarik bibir saya seperti saat operasi yang ketiga, tetapi sakitnya masih bisa ditahan. Tidak perlu waktu lama mengungkit, gigi saya bisa dikeluarkan dalam keadaan utuh. Saya melirik jam tangan. Wooow! 10.25. Ini paling cepat di antara operasi-operasi sebelumnya. Hanya butuh waktu 25 menit.
“Giginya sudah keluar ya, Mbak,” kata drg. Gunawan sambil menunjukkan gigi itu kepada saya. Saya mengangguk. Tiba-tiba...awwww! Saya menjerit saat salah satu alat menusuk bagian mulut saya yang tidak dibius. “Maaf, maaf,” kata drg. Gunawan. Selesai menjahit luka di mulut, tidak lupa drg. Gunawan membersihkan darah di bibir saya. Tumben. Biasanya saya membersihkan sendiri. Hahahaha.
Pukul 10.40 saya keluar dari ruang operasi. Begitu keluar, saya bertemu drg. Henri. Hiyaaaaa. drg. Henri langsung tersenyum melihat saya. Saya pun tidak bisa menahan tawa. Wis embuh pokoke rasane! (Sudah entah pokoknya rasanya!) Mungkin dokter satu ini sudah bosan melihat saya wira-wiri di RSGM dan sudah lelah mendengar semua keluhan saya. Hahahaha. Tiba-tiba teringat semua cerita “sableng” ketika pertama kali saya bertemu drg. Henri, ketika menolak untuk mencabut gigi-gigi lain, sampai akhirnya merelakan empat-empatnya “dieksekusi”. Ketika pertama kali datang ke sini sebagai pasien oon yang bahkan tidak tahu bahwa di dunia ini ada penyakit bernama impaksi, mengira bahwa dirinya tidak punya gigi bungsu karena mulutnya kecil, sampai akhirnya sekarang kalau dicurhati teman yang sakit gigi dan bertanya rasanya cabut gigi, bisa ketawa jahat sambil berkata, “Rasakke dhewe! Pokoke nananina. Hihihihi.” (Rasakan sendiri! Pokoknya nananina!) “Bibirnya mulai luka. Mulai bengkak juga,” kata drg. Henri sambil menunjuk mulut saya. Sesaat kemudian drg. Henri pergi.
“Mbaknya nangis lagi ya? Hehehehe,” ledek drg. Gunawan. Saya hanya nyengir. Sakit woiii! Ketusuuuk! “Tadi ketusuk dikit. Sakitnya berkurang kan?” “Berkurang. Eh, cepet ya tadi itu,” kata saya. “Iya. Soalnya nggak sesusah yang kiri atas.” “Eh, Dok. Kok ini hidung saya ikutan kebas ya?” kata saya sambil nyengir-nyengir. “Oh, itu pengaruh kena suntikannya. Nanti juga hilang.” drg. Gunawan pun menuliskan resep untuk saya dan memberikan gulungan kasa. Kali ini saya tidak terlalu banyak bertanya. Sudah berpengalaman pasiennya. Hihihihi. Sebelum meninggalkan ruangan, tidak lupa NIMBANG! Iyuuuuuh, masih di angka 38. Selesai recovery harus perbaikan gizi nih. Setelah itu, saya membayar di bagian administrasi. Hanya Rp106.125,00. Murah kaaan? J Selesai mengambil obat di bagian farmasi, saya meninggalkan RSGM UGM menuju kantor, tetapi mampir dulu beli es krim. Berhubung saat itu masih siang dan tidak tahu di mana bisa membeli bubur ayam pada waktu itu, terpaksa makan bubur instan.
Berhubung sistemnya sedang error, kuitansinya ditulis manual. Tulisannya nggak jelas lagi. :'(

Di antara empat kali operasi, ini yang paling tidak bermasalah. Hari pertama setelah operasi pun saya bisa makan nasi. “Dok, makan nasi boleh kan? Mau makan bubur rasanya pengen muntah,” kata saya lewat WhatsApp. “Nggak perlu makan bubur. Yang penting makannya yang lunak. Gigit di sisi  kiri dulu.” “Kemarin itu mulutnya kaku, Dok. Jadi mau makan yang langsung telan.” Makan aman, bicara normal, teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, ngobrol-ngobrol pun berjalan lancar. Yeyeyeye.
Berhubung bengkaknya tidak sebesar sebelumnya, saya bisa pergi-pergi dengan tenang, tanpa rasa malu. Tempat yang benar-benar ingin saya kunjungi saat itu adalah salon. Sudah geli rasanya dengan poni yang masuk-masuk ke mata. Sesungguhnya, poni itu atribut penting bagi pemilik jidat jenong yang kurang percaya diri. Hihihihi. Meluncurlah saya ke Jalan Kaliurang sepulang kerja, menuju “salon rambut indah lima ribu”. Ehm, sebenarnya nama salonnya Rinjani sih, tapi itu nama dari saya karena hanya dengan membayar lima ribu, bisa cuci rambut, potong, sekalian catok atau keriting. Saya bisa punya rambut seindah Rapunzel. Ya, paling tidak bertahan satu jam. Setelah itu kembali lagi jadi Putri Merida yang rambutnya ngembang ke mana-mana. Hahahaha.
“Eh, kok udah lama nggak ke sini?” tanya pemilik salon. “Aku sakit, Mbak.” “Sakit apa?” “Sakit gigi. Hahahahaha.” “Halaaah. Sakit gigi aja lho. Eh, kok sekarang agak chubby?” “Ini bengkak, Mbaaaaak!” “Hah, kenapa emangnya? OD?” “Iya. Empat kali.” “Hah?” Mulailah kami mengobrol tentang pengalaman cabut gigi sambil menunggu giliran. Ternyata banyak juga orang yang punya pengalaman seru menjalani odontektomi. Yeyeye. Ada temennya.

26 Maret 2015
Enam hari setelah operasi, saya menghubungi drg. Gunawan untuk melepas jahitan. “Nanti sore juga bisa,” kata drg. Gunawan. Baiklah, lebih cepat lebih baik. J Sepulang kerja, saya segera menuju RSGM UGM. Di lift saya bertemu drg. Gunawan yang sedang menuju lantai 3. Baguslah, tidak perlu saling menunggu.
“Kumur dulu,” kata drg. Gunawan. Saya pun kumur-kumur. Mulailah drg. Gunawan menggunting benang yang bersarang hampir seminggu di mulut saya. Di tengah-tengah proses itu, dosen drg. Gunawan masuk. “Eh, Pak Gun masih kerja jam segini.” “Lepas jahitan, Bu.” Mereka bercakap-cakap sebentar. Setelah itu, drg. Gunawan melanjutkan proses melepas jahitan. “Kok aneh ya. Yang kanan atas lukanya udah nutup. Yang kiri atas, duluan tapi masih kebuka dikit. Mungkin karena yang kiri susah, sobek-sobek.” “Buat makan masih nyelip, Dok,” kata saya. “Iya, soalnya belum rapat. Kalau yang kanan?” “Belum berani buat ngunyah, Dok.” “Pakai aja. Ayam boleh. Kalau rendang jangan dulu, takutnya alot. Disikat aja nggak apa-apa. Pelan-pelan tapi yang bersih.”
Kami pun keluar setelah selesai melepas jahitan. “Berarti saya udah nggak usah kontrol lagi, Dok?” “Nggak usah. Tinggal lihat perkembangan parestesinya aja.” “Uhm, berarti saya udah nggak main-main lagi ke sini. Masih menerima konsultasi lewat WhatsApp kan, Dok?” “Iya. Masih.” “Gratis kan? Hehehehe.” drg. Gunawan hanya tertawa mendengar saya berbicara. Mungkin sudah lelah menghadapi pasien yang rewelnya kebangetan seperti saya. Mungkin di balik senyumnya membatin, “Duh Gusti, paringana sabar!” (Ya Tuhan, berikanlah kesabaran!). Ternyata itu bukanlah kali terakhir saya “berkunjung” ke poli bedah mulut karena parestesi di dagu dan bibir saya belum benar-benar sembuh sehingga masih harus bolak-balik ke sana untuk meminta resep. Ealaaaaah! Tiwas pamitan. (Padahal sudah pamitan) Hihihihi.
Berhubung setiap berangkat dan pulang kerja saya melewati Fakultas Kedokteran Gigi UGM, sesekali saya bertemu dengan drg. Henri, drg. Gunawan, maupun beberapa dokter lain yang pernah menangani saya. Saya selalu berusaha menyapa mereka. Bagaimanapun juga mereka berjasa bagi saya untuk terbebas dari sakit gigi. Ada yang langsung membalas sapaan saya, ada juga yang menatap saya dengan ekspresi “lupa-lupa ingat”. Mungkin mereka berpikir, “Ih, anak kecil sok-sokan kenal!” Hihihihi. Ada juga yang meledek saya setiap kali datang mengambil resep, “Eh, mbak apa adek ya ini? Kenapa? Mau cabut lagi?” Hiyaaaaa. Apanya yang mau dicabut? Untune wis entek! (Giginya sudah habis!)
Setelah menjalani empat kali odontektomi, saya jadi lebih peduli dengan kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut. Mau tidak mau saya harus belajar tentang benda-benda mungil dalam mulut saya itu. Mungkin benar kata orang. Untuk belajar dan bersyukur, perlu “ditampar” dulu. Tamparan itu datang dalam bentuk sakit gigi. Hehehehe. Kalau mau merawat gigi, jangan tunggu sampai sakit dulu seperti saya ya. Salam. J




                                                                                    

Komentar

  1. terimakasih banyak, sangat menarik sekali...

    BalasHapus
  2. saya bacanya dari meringis ngilu sampai ketawa ngakak, bahasa nya mantap mba
    sehat selalu ya mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ya udah baca. Aamiin, makasih doanya :) Boleh lihat-lihat artikel lain yang nggak kalah lucu.

      Hapus
  3. Saya besok baru mau operasi cabut gigi bungsu bener bener bikin gerogi banget, blum juga di jalanin padahal tapi baca artikel mbak Dewi jadi sedikit tenang plus ngakak ngakak������ saya suka gaya bahasanya,nggak bosen untuk di baca walaupun panjang ceritanya...hehehe����
    Dan mba Dewi juga jadi inspirasi nih buat saya, biar pun kecil mungil unyu2 gitu tapi berani jalani operasi 4x udah gitu sendirian lagi...so saya pikir..."masa gw kalah sama anak kecil" (hahahahhahaha guyon loh mbak jangan di masukin ke hati, km sudah cukup "kokoh" kan menerima semua ini) sukses terus ya buat mba Dewi��

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair