Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 4): Please, Ini Sudah Maksimal!
3 Maret 2015
Setelah odontektomi yang kedua, saya masih sering
berkonsultasi dengan drg. Henri Mudjono lewat SMS terkait rasa kebas di dagu
dan bibir yang belum juga hilang. drg. Henri meminta kepada saya untuk
mengabari kalau ada perkembangan. Saya pun sekalian “curhat” tentang gigi-gigi
bungsu sebelah atas yang sepertinya sudah menunjukkan gejala hampir sama,
tetapi drg. Henri menyarankan untuk menunda dulu sampai dagu dan bibir saya
rasanya kembali normal. Saya pun mengiyakannya karena kartu GMC saya akan habis
masa berlakunya pada 31 Maret 2015 dan menunggu punya kartu BPJS Kesehatan.
Tiba-tiba masuk SMS dari drg. Henri yang membuat
mata belok saya yang semula sudah tertutup setengah seperti bayi-bayi Korea
kembali ke bentuk semula. “GMC kok bisa habis? Kalau gitu, dipakai dalam bulan
ini. Kalau BPJS, antre di Sardjito penuh banget lho, Mbak. Masih keburu kok
kalau sampai 31 Maret. Dijadwal sekali di minggu ini, terus operasi berikutnya
di minggu ke-4 Maret.” Apaaaaa? Baru hari ini kontrol, sudah mau “dibedah”
lagi? Saya masih tidak percaya, lalu bertanya, “Eh, ini maksudnya cabut dua
dalam sebulan?” “Iya dengan jeda 2 minggu per cabut.”
“Aaaaa,” saya langsung menjerit. Tapi kan, tapi
kan.... Belum bisa ngunyah kiri-kanan. Belum sempat pergi-pergi makan enak.
Belum sempat dandan cantik, pakai baju bagus, lalu pentas menari. Belum sempat
jalan-jalan ke toko buku, baca-baca gratis sampai lupa pulang. Belum sempat ke
toko alat jahit, cari benang warna-warni, lalu membuat macam-macam rajutan.
Belum sempat hore-hore, sudah harus membawa “pipi apel” ke mana-mana dan makan
bubur lagi. “Nggak apa-apa bawa apel daripada antre panjang di Sardjito,” kata
drg. Henri. Akhirnya, diputuskan saya akan menjalani odontektomi yang ketiga
pada Kamis, 5 Maret 2015 pukul 12.00. Sebenarnya drg. Henri sudah tidak berjaga
di RSGM UGM, tetapi bisa izin kepada dosen untuk menangani saya.
5 Maret 2015
Pukul 11.00 saya minta izin pulang awal dari kantor.
Saya pikir lebih baik pulang awal sekalian daripada harus bolak-balik kantor
lagi. Berjaga-jaga kalau kondisi tubuh saya lemas seperti waktu operasi yang
kedua. “Operasi lagi, Mbak?” kata Bu Peni, petugas bagian SDM. Saya hanya
tersenyum. Agak sungkan juga sebenarnya untuk minta izin keluar karena dalam
sebulan ini sudah berkali-kali saya lakukan. “Moga-moga cepet sehat ya.”
Senangnya bisa mendapat izin dengan mudah. Entahlah kalau di belakang jadi
bahan gosipan “emak-emak rempong” di kantor. Hahahaha.
Saya pun segera meluncur ke RSGM UGM bersama Minu,
sepeda ungu kesayangan. Suasana RSGM agak sepi karena pada hari itu ada acara dies natalis di Fakultas Kedokteran Gigi
UGM. Tidak lama kemudian nama saya dipanggil dan disuruh naik ke lantai 3, ke poli
bedah mulut. Setelah mendaftar di bagian administrasi bedah mulut, saya
duduk-duduk di kursi tunggu. Tidak lama kemudian, saya bertemu drg. Bramasto.
“Eh, mbaknya lagi. Hehehe.” Saya pun nyengir. “Kenapa? Bosen ketemu saya?” kata
saya. “Ah, nggak kok.”
Saya pun iseng mengecek ponsel. Ternyata ada SMS
dari drg. Henri sekitar 15 menit yang lalu. “Jadi datang jam berapa?” “Ini
sudah di poli bedah mulut,” jawab saya. Dalam hitungan detik, drg. Henri sudah
terlihat menaiki tangga menuju lantai 3, kemudian menghampiri saya. Pada saat
yang sama, drg. Gunawan keluar dari ruangan. “Sebenarnya aku udah nggak jaga di
sini. Mau izin sama dosen nggak enak. Sama dokter lain nggak apa-apa ya? Sama Dokter
Gunawan ya? Tolong ditangani ya, Gun.” Saya tersenyum berat. Ganti dokter deh.
Sesungguhnya saya agak sulit beradaptasi dengan suasana dan orang-orang baru.
Mungkin istilah populernya “susah move on”
kalau sudah “pewe”. “Buat hari ini atau besok?” tanya drg. Gunawan. “Yah, udah
telanjur izin pulang,” kata saya. “Hari ini, Gun,” kata drg. Henri. “Ya udah
nggak apa-apa. Sudah makan?” “Tadi pagi sih sarapan. Tapi udah ngemil kok
tadi,” kata saya. “Yang penting nggak lapar. Ya udah masuk aja.” “Nanti bengkaknya
lebih besar lho, Mbak,” kata drg. Henri. Aih! Sukanya nakut-nakutin. “Pipi
apelnya lebih gede ya, Dok?” “Hehehe. Iya. Apelnya lebih gede.”
Saya pun masuk lalu duduk di kursi. Di depan saya
duduk drg. Gunawan dan drg. Melissa. “Hati-hati lho, Gun. Dia bukaan mulutnya
kecil lho. Hihihihihi,” kata drg. Henri sesaat sebelum meninggalkan kami.
“Ketawanya nyebeliiiiin,” teriak saya. Errr! “Mbak kuliah jurusan apa?” tanya
drg. Melissa. “Bukan mahasiswa, Dok. Udah kerja di UGM Press. Saya sudah tua.
Hehehehe. Dulu sih Sastra Indonesia.” “Emang lahirnya tahun berapa?” “Sembilan
puluh,” kata saya. “Masih muda kok. Masih kelihatan imut banget.” Iya, saking
imutnya sampai ke mana-mana dipanggil “adik”, bahkan ketika pernah menjadi
asisten dosen, para mahasiswa mengira saya ini teman seangkatannya. Hihihihi.
“Lama-lama semua residen di sini kenal saya ya, Dok, gara-gara keseringan
berkunjung. Hehehehe.” “Iya. Pasiennya itu lagi, itu lagi,” kata drg. Melissa.
drg. Gunawan menyodorkan surat persetujuan
tindakan operasi kepada saya. “Ini alamatnya sesuai KTP apa alamat di sini?”
tanya saya. “Yang mana aja bisa.” Saya pun menuliskan data diri saya dan alamat
kos lalu menandatanganinya. “Ya udah, kita masuk,” kata drg. Gunawan. “Lho,
Dok, ini nggak diperiksa tekanan darah sama dipakaiin termometer?” “Oh, iya ya.
Sampai lupa. Untung diingetin. Hehehehe,” kata drg. Gunawan. Aih! Kemarin
dokternya lupa nulis resep, sekarang lupa periksa vital sign. Untung pasiennya sudah berpengalaman. Hahahaha.
Berhubung sedang tidak ada mahasiswa profesi perawat gigi, drg. Gunawan yang
memeriksa saya.
“Tekanan darahnya tinggi ya, Dok?” tanya saya.
“Nggak. Normal kok. Seratus dua puluh per delapan puluh.” Syukurlah normal.
Berarti usaha saya untuk mengatasi tegang dengan senyam-senyum sendiri di depan
cermin, komat-kamit nyanyi, dan joget-joget di kamar mandi berhasil. Yeyeyeye.
“Biasanya tuh pas diperiksa tinggi lho, Dok. Soalnya saya tuh takut rumah
sakit,” kata saya. “Tenang, Mbak. Ini bukan rumah sakit kok,” kata drg.
Melissa. “Ah, mau puskesmas, dokter rumah, atau apa pun itu,” kata saya. drg.
Melissa dan drg. Gunawan pun tertawa. “Nanti ada risiko medisnya, Mbak.
Sariawan sih paling,” kata drg. Melissa. “Dok, nanti minta ruangannya yang ada
jendelanya ya,” pinta saya. “Oh, sepi kok, Mbak. Bisa pilih ruangannya,” kata
drg. Melissa.
Saya pun bersiap masuk ke ruang operasi. Terlebih
dahulu melepas sepatu. Saya melihat sandal-sandal yang berjejer di rak. “Dok,
sandalnya nggak ada yang kecil ya?” tanya saya. “Nggak ada, Mbak,” kata drg.
Gunawan. “Hem, nasib kaki kecil. Jangan tanya nomornya ya, Dok. Hehehe.” Saya
pun memilih salah satu. “Itu buat dua kaki masuk ya, Mbak? Hehehe.” Sudahlah,
Dok. Saya sudah cukup “kokoh” menghadapi pernyataan semacam ini. Hahahaha.
Pukul 12.30 saya masuk ruang operasi. drg. Gunawan
masih di luar, tetapi saya bisa mendengarnya sedang bercakap-cakap dengan Pak
Mulyoto, salah seorang perawat yang membantu proses operasi saya yang kedua.
“Hari ini nggak ada ‘ungu-ungu’ (mahasiswa yang kuliah profesi perawat gigi) ya,
Pak?” tanya drg. Gunawan. “Iya.” “Ya udah. Cariin koas dua ya, Pak. Yang paling
oke.” drg. Gunawan kemudian menghampiri saya. Saya duduk di dental chair. drg. Gunawan duduk di
samping saya sambil melihat rontgen saya. “Dokter bosen ya ketemu saya terus? Hehehehe.”
“Kayaknya baru dua kali ini kita ketemu.” “Tiap saya kontrol kita ketemu. Ehm,
mungkin Dokter nggak lihat saya.” “Iya ya? Udah yang ketiga ya ini, Mbak?”
“Iya,” kata saya. “Wah, nanti dapat piring.” “Maunya payung aja, Dok. Kan lagi
musim hujan. Hehehe.”
Kemudian drg. Gunawan memakai sarung tangan karet,
lalu berkata, “Saya raba dulu ya giginya.” drg. Gunawan memasukkan jarinya ke
dalam mulut saya. Rasanya...hueeek! Ngemut
kareeeet! (Mengulum karet!). “Mbak mau (gigi) yang kiri apa yang kanan (yang
dicabut)?” tanya drg. Gunawan. “Yang mana aja lah, Dok. Udah pasrah,” kata
saya. “Ya udah, saya tanyakan dosen dulu ya.”
Sesaat kemudian drg. Gunawan kembali. “Sebenarnya
kiri-kanan sama-sama susah, tapi yang kiri lebih susah. Yang kiri dulu ya?”
Saya pun mengangguk. Tidak lama setelah itu masuk dua koas yang sedang
menjalani stase bedah mulut, namanya Tami dan Ningrum. Saya sempat mengobrol
sebentar dengan mereka. Sementara itu, drg. Gunawan keluar untuk berganti baju
operasi.
Ketika drg. Gunawan kembali, saya berkata, “Dok,
saya ke toilet dulu aja ya.” drg. Gunawan langsung tersenyum. “Iya. Daripada
nahan-nahan lagi kayak kemarin. Hehehehe.” Aih, pasti ingat kejadian “kebelet
pipis” di tengah operasi itu! Saya pun tersenyum malu. Saya segera ke toilet,
mengurangi “beban” supaya lebih tenang. Ketika kembali ke ruangan, drg. Melissa
berkata, “Bentar ya, Mbak. Dokternya lagi minum, haus. Mau minum juga?” “Bawa
kok, Dok.” Eh, tapi ge-er banget ya? drg. Melissa kan cuma tanya, bukan
nawarin. Mungkin “radar pragmatik” saya terlalu sensitif. Hahahaha. “Udah,
Mbak?” tanya drg. Gunawan. Saya mengangguk, lalu kami berjalan masuk ke ruang
operasi. “Eh, bentar,” kata saya sambil berlari-lari kecil kembali ke rak
sandal. “Lupa pakai sandal. Biasa nyeker di kos.”
Tiba di ruang operasi, semua peralatan untuk
“mengeksekusi si bungsu” sudah siap. Saya pun segera duduk bersandar di dental chair. “Nggak mau ditutup mukanya
ya, Mbak?” tanya drg. Gunawan. “Hehehehe. Iya, Dok.” “Sekalian aja dipasang TV
ya di sini.” “Wah, monitor aja, Dok. Buat youtube-an,”
kata saya. drg. Gunawan memberikan kain hijau kepada saya untuk ditaruh di dada.
Wow, kainnya wangi, baru keluar dari laundry!
Dicium-cium dulu wanginya. Entah mengapa saya punya kebiasaan aneh, mencium
baju yang baru diangkat dari jemuran atau dikeluarkan dari plastik laundry.
drg. Gunawan menyiapkan bius. “Kalau cabut gigi
atas, biusnya dikit-dikit kok, nggak kayak kalau bawah. Nanti langit-langitnya
dibius. Kumur dulu. Buka mulutnya, aaaaak!” kata drg. Gunawan. Nyooosss! Benda
kecil nan runcing itu menusuk langit-langit di mulut saya. Agak sakit sih, tapi
nggak sesakit patah hati. Upsss! Hihihihi. drg. Gunawan juga menjelaskan proses
itu kepada dua koas yang membantunya. Saya sempat mendengar kata palatal yang artinya ‘langit-langit
keras’. Untungnya dulu waktu kuliah fonologi, saat membahas alat-alat wicara
manusia, saya tidak bodoh-bodoh amat lah. Jadi, ketika mendengar kata itu, saya
tidak berpikir, “Palatal? Makanan apa itu?” Hahahaha. Selesai dibius, saya
menutup mulut dan tiba-tiba.... Wueeek! Seketika saya merasa mual, ingin
muntah. Wooow, langit-langitku nggak ada! Aneh rasanya, seolah-olah ada jari
yang masuk ke kerongkongan saya dan memicu rasa ingin muntah. “Kenapa?” tanya
drg. Gunawan. “Nggak enak mulutnya,” kata saya sambil menutup mulut. “Kumur
dulu.”
Setelah kumur, saya kembali bersandar. Masih agak
aneh, tetapi rasa ingin muntahnya sudah berkurang. Operasi pun dimulai. Satu
per satu alat bedah bergantian keluar-masuk ke mulut saya. Salah satu koas
memegang selang suction, yang satu
lagi menyiapkan alat-alat. Awalnya semua berjalan dengan indah. Halaaah!
Lama-lama drg. Gunawan semakin sering menarik-narik bibir saya dan rasanya agak
sakit. Semakin lama semakin sering drg. Gunawan berkata, “Buka mulutnya lebih
lebar. Lebih lebar lagi. Aaaaak!” Rasanya saya ingin berlari ke pojokan, lalu
mencakar-cakar tembok sambil berkata, “Please,
Dok! Ini sudah maksimaaaaal!” setiap kali drg. Gunawan mengatakan itu.
Semakin lama, bibir saya semakin sakit dan rasanya sudah tidak tahan. Eaaaaa!
Jebol deh akhirnya bendungan air mata yang dari tadi saya tahan. Saya sudah
tidak berpikir tentang rasa malu karena yang saya rasakan saat itu hanyalah
SAKIIIIIT!
Tidak cukup dengan air mata, saya pun tidak kuat
untuk tidak merintih kesakitan. Dua koas yang membantu pun melihat saya dengan
wajah sedih. Tidak lama kemudian drg. Melissa masuk untuk membantu. Tidak cukup
dengan air mata dan jeritan, kaki saya pun tidak tahan untuk tidak bereaksi.
Jadilah kaki saya menendang-nendang tak tentu arah. Entahlah, jangan-jangan
kena dokternya! Hihihihi. Mulailah saya misuh
(mengumpat) dalam hati. Terlintaslah semua nama hewan, mulai dari yang
tidak berkaki sampai yang berkaki banyak, mulai dari yang berenang sampai yang terbang,
mulai dari yang menggonggong sampai yang mencicit, tetapi segera saya imbangi
dengan istigfar, astagfirullah!
Tiba-tiba terngiang “ketawa jahat” drg. Henri tadi. Oh, jadi ini maksudnya?
Tidak cukup dengan bantuan drg. Melissa, datanglah
Pak Mulyoto. Hipotesisnya: kalau Pak Mulyoto datang, berarti keadaan saya
sedang “kritis” dan si bapak ini akan segera memberikan bantuan, berarti gigi
saya akan segera keluar dengan proses dramatis. Halaaah! Pak Mulyoto melihat
keadaan saya, lalu bercakap-cakap sebentar dengan drg. Gunawan. Hanya beberapa
kalimat yang saya ingat, seperti “Takut kena M2-nya, Pak,” kata drg. Gunawan.
“Kalau perlu ditambah biusnya,” kata Pak Mulyoto. “Ini masih parestesi pas
cabut kemarin.” Benarlah apa yang saya perkirakan. Pak Mulyoto memberikan
bantuan dengan jalan menarik bibir saya semakin lebar. Aaaaa! Jeritan saya pun
semakin kencang. Tidak lama kemudian, gigi saya jatuh dengan sendirinya dalam
keadaan utuh. Wooow! Saya langsung panik. Kalau tidak cepat-cepat diambil, bisa
tertelan nanti. Untunglah gigi itu segera diambil. Setelah itu, gusi saya
dijahit. “Ini sebenarnya kurang rapat jahitannya yang belakang, tapi mulutnya
kecil banget. Jadi, nggak apa-apa,” kata drg. Gunawan kepada dua koas itu.
Akhirnya mau keluar juga dia :'( |
Setelah mulut saya selesai dijahit dan diberi
gulungan kasa, saya berusaha bangun, tetapi tiba-tiba.... Aaaaa! Terasa sangat
nyeri. Aih, efek biusnya sudah hilang! “Kenapa?” tanya drg. Gunawan. “Sakit,”
kata saya sambil memegang pipi dan menyeringai kesakitan. “Di mana? Di
gusinya?” Saya menggeleng. “Di pipi.” “Nggak apa-apa, asal nggak di hati,” kata
drg. Gunawan sambil tertawa. Eaaaa. Pengen ketawa tapi nggak jadi, mulutnya
kaku. Hahahaha. “Sandaran lagi,” kata drg. Gunawan sambil menyiapkan kapas dan
obat. Setelah diberi obat, saya kumur-kumur, lalu dipakaikan gulungan kasa.
Saya melihat jam tangan. “Tadi kita mulai kerja
jam berapa ya? Berapa jam ya tadi?” tanya drg. Gunawan. “Dua jam,” kata saya.
“Giginya mau dibawa pulang nggak, Mbak? Sudah dicuci kok. Bisa dibuat cincin
atau gantungan kunci,” kata koas yang bernama Ningrum. Saya melirik gigi di
meja. “Mau difoto aja,” kata saya. “Mau dimasukin ke Path ya?” tanya drg.
Gunawan. Mana punya akun Path? Hahahaha. Punya Twitter sama blog aja
bertahun-tahun nggak diurus. Kebanyakan akun media sosial malah bikin ribet.
Cukup Facebook dan Instagram saja. Aplikasi perpesanan cukup Blackberry
Messenger dan WhatsApp saja. Setelah itu, saya becermin untuk membersihkan
bibir dari darah dan merapikan rambut yang sudah mengembang ke mana-mana
seperti Putri Merida di film Brave.
“Mbaknya nangis ya?” ledek drg. Gunawan sambil
menulis resep untuk saya. Ya iya laaaaah! Sakit woooi! “Iya nih, sampai eyeliner-nya luntur,” kata saya tak mau
kalah sambil kibas poni. Hahahaha. “Nggak boleh sering kumur-kumur ya, Dok?”
tanya saya. “Iya.” “Terus kalau mau sholat gimana? Tayamum gitu?” “Oh, boleh.
Tapi langsung dibilas aja. Jangan kenceng-kenceng kumurnya. Nanti bibirnya
dikasih lip balm aja. Saya resepkan
Alloclair. Kalau sakit banget nanti ditebus.” “Kalau pakai madu gitu, Dok?”
tanya saya. “Emang bisa pakai madu?” tanya drg. Gunawan. Saya hanya tersenyum.
Sesungguhnya, saya lebih suka memakai madu daripada lip balm untuk melembapkan bibir berdasarkan rekomendasi dalam
artikel-artikel yang saya baca di blog maupun majalah karena lebih murah dan
lembapnya lebih awet, tetapi ada satu alasan yang lebih penting, yaitu dijilat
ada rasanya. Hahahahaha.
Saya menunjuk-nunjuk tulisan di resep. “Ini,” kata
saya. “Kenapa?” tanya drg. Gunawan. “Oh, iya ya. Jenis kelaminnya salah. Nanti
dipanggilnya Bapak Dewi. Hahahaha.” Errr! Saya masih perempuan lho, tidak ada
rencana berganti jenis kelamin. “Nanti makannya jam berapa?” tanya drg.
Gunawan. Saya melirik jam, pukul 14.30. “Ya nanti pulang dari sini.” “Nanti
habis makan langsung diminum obatnya. Ada yang mau ditanyakan lagi? “Uhm, TS
itu apa, Dok?” tanya saya sambil menunjuk tulisan TS di lembar rujukan dari
GMC. “Oh, TS itu teman sejawat.” Oalaaaaah! Baru tahu. Dulu pernah mengerjakan
buku soal kedokteran hewan dan saya bertanya-tanya, TS itu apa. “Minta itu ya,
Dok,” kata saya sambil menunjuk persediaan gulungan kasa. Setelah itu, saya
membayar di bagian administrasi. Totalnya berapa saya lupa, tetapi tidak sampai
Rp120.000,00 untuk biaya tindakan, administrasi, dan obat. Usai menebus obat,
saya segera menuju kos. Kasure wis
ngawe-awe! (Kasurnya sudah melambai-lambai!)
Sampai di kos, saya sempat guling-guling sebentar
di kasur, tetapi bunyi krucuk-krucuk di perut itu tidak bisa saya tahan.
Berhubung warung tenda yang menjual bubur ayam belum buka, saya berencana
membeli bubur instan, tetapi bukan bubur bayi. Sebut saja Superb*b*r.
Sepertinya di iklannya terlihat enak. Dasar korban iklan! Hahahahaha.
Berjalanlah saya ke toko swalayan yang nge-hits
banget di kalangan mahasiswa UGM, yaitu Mirota Kampus. Cukup lima menit
berjalan ke sana. Karena jaraknya yang dekat, harus kuat iman untuk menahan
sifat konsumtif, apa-apa dikit ke Mirota, memicu hasrat untuk membeli barang
yang belum atau bahkan tidak perlu. Beginilah naluri calon emak-emak. Di satu
sisi hemat (eufemisme untuk pelit), tetapi kadang kalau sudah “lapar mata”
boros juga. Akhirnya, saya membeli tiga bungkus bubur instan dengan rasa yang
berbeda, juga membeli es krim untuk mengompres pipi, lalu dimakan (atau diminum
ya?) kalau sudah tidak dingin. Praktis kan? Hehehehe.
Ketika kembali ke kos, saya buka kemasan bubur
itu. Ada bubur instannya, kerupuk, dan bumbu. Saya amati petunjuk pembuatannya.
Mudah, cukup diseduh air panas. Ketika saya buka kemasan bahan buburnya,
bentuknya aneh, mirip kerupuk hancur. Apa iya ini nanti bisa jadi bubur?
Setelah diseduh dengan air panas, bahan bubur ini diaduk dan dibiarkan beberapa
menit. Sambil menunggu buburnya “matang”, kompres “pipi apel” pakai es krim
dulu. Iya sih bentuknya mirip bubur dari beras, tetapi ketika dimakan, rasanya ...
nyeh! Lidah saya masih lebih menerima “bubur aneh” buatan saya sendiri daripada
yang ini. Hahahahaha. Sombong dikit lah. Baiklah, sepertinya memang harus
sedikit “berusaha”. Setelah makan, saya segera minum obat, tetapi rasa nyeri
itu tidak juga hilang. Saya segera melapor ke drg. Gunawan lewat WhatsApp,
tetapi tidak segera dibaca. Hiksss. Terpaksa guling-guling di kasur sambil
memeluk guling sambil menahan sakit. Ditambah demam pula. Belum lagi rasa perih
di bibir yang luka terkena alat operasi. Errr! Sempurna!
Pukul 19.00 drg. Gunawan baru membalas pesan saya.
“Maaf tadi nggak denger WA masuk. Boleh tambah Panadol kalau masih sakit.” Wah,
di kantong obat tidak ada Panadol. Lagi pula seumur-umur baru sekali minum
Panadol dan kapok. Bikin mulut pahit, pengen muntah. “Adanya parasetamol.
Boleh?” “Ini sudah minum obat berapa kali? Tadi minum obat jam berapa?” “Satu
kali. Sore tadi jam 4.” “Oh, baru sekali. Pipinya bengkak nggak? Ditambah
parasetamol saja supaya tidak terlalu sakit.” “Udah mulai bengkak, tapi nggak
terlalu besar.” “Sekarang boleh ditambah minum parasetamol 1 tablet dengan obat
yang methyl prednisolone diminum lagi
1 tablet saja. Nanti malam obatnya jam 10 minum lagi sesuai petunjuk.” Saya pun
mengikuti saran drg. Gunawan. Nyeri pun segera berkurang. Syukurlah.
6 Maret 2015
Keesokan harinya, ketika sampai di kantor, saya
mengecek ponsel. Ada pesan masuk lewat WhatsApp. Eh, dari drg. Gunawan. “Mbak
Dewi, pagi ini jangan lupa diminum obatnya. Sekarang sakitnya gimana? Bengkaknya
besar tidak?” Wow! Sampai diingatkan minum obat lho. Hehehe. Bersyukurlah kalau
ditangani dokter yang melayani dengan sepenuh hati. Kayak tagline bank ya? Hahahaha. Saya termasuk pasien yang taat minum
obat lho, kalau nggak ketiduran sih. :-P Bengkak di pipi pun mulai membesar.
Berhubung hari itu hari Jumat, waktu istirahat
maju 30 menit. Teman-teman kantor yang laki-laki pergi Jumatan. Dua teman kerja
saya yang perempuan, Mbak Ratna dan Mbak Nanik pun pergi keluar untuk makan.
Nah, berhubung saya tidak bisa makan secara “normal”, saya tidak ikut pergi. Jadilah
saya sendirian. Daripada bengong sendiri, saya memilih pergi ke RS Sardjito
yang jaraknya cukup dekat dari kantor untuk menemani sahabat saya, Arum. Dia
dan tantenya sedang menjaga Om Agus, pamannya yang dirawat di unit stroke.
Setiap istirahat dan pulang kerja memang saya sempatkan untuk menemani mereka
(meskipun sebenarnya saya agak tidak nyaman dengan suasana rumah sakit). Tidak
lupa memakai masker lucu untuk menyembunyikan “pipi apel” yang mulai membesar.
Ketika berjalan menuju unit stroke, saya bertemu
dengan drg. Henri. “Lho, kok di sini?” tanya drg. Henri. Emang kenapa? Nggak
boleh? Hahahaha. “Mau nengokin orang, Dok,” kata saya. “Kemarin itu kok
operasinya sakit banget ya? Bibir saya ditarik-tarik. Sampai nangis
jerit-jerit. Apa kalau cabut atas itu memang sakit?” Curhat ceritanya. Hehehehe.
“Harusnya sama aja sih. Coba lihat.” Aih, terpaksa saya membuka masker. “Wah,
gede ya bengkaknya. Bibirnya juga luka.” “Disuruh Dokter Gunawan pakai lip balm. Diresepin Alloclair juga.”
“Jangan beli Alloclair! Mahal. Enam puluh ribu. Tahu salep Bufacomb nggak? Beli
itu aja, lebih murah.” Wooow, dokter ini paham betul ya kalau kondisi keuangan
saya sedang kritis! Hahahaha. “Ada kertas nggak?” Saya menggeleng. Eh, tapi
tiba-tiba ingat sesuatu. Biasanya saya menyimpan struk belanjaan di dompet.
Saya pun mencari-cari kertas di dompet dan akhirnya menemukan kuitansi bayar
kos. Ya sudah, tidak apa-apa. Namanya juga darurat. drg. Henri pun menuliskan
nama obat yang harus saya beli untuk luka di bibir saya.
Tiba-tiba drg. Henri mengeluarkan ponsel. “Difoto
dulu ya.” “Nggaaaaak!” kata saya. “Nanti fotonya dilihatin ke Gunawan.” Errrr.
Tahu kalau mau difoto kan bisa dandan dulu. Eh, tapi ngapain dandan? Toh yang
difoto hanya pipi dan bibirnya. Hahahaha. Mau pose juga percuma. Jepret! “Eh,
kok silau ya? Lagi ya.” Aaaaa...selak
panas! Pengen ngeyup! (Keburu
panas! Pengen berteduh!) Usai sesi pemotretan, saya pun berpamitan lalu menuju
unit stroke RS Sardjito. Sepulang kerja, saya membeli salep yang disarankan
drg. Henri. Wooow, aromanya jeruk! Hihihi. Rasanya manis-manis agak pahit.
Salepnya aroma jeruk, manis lagi. Hehehehe. |
11 Maret 2015
Senin, pukul 10.00, saya mulai merasa nyeri di
gusi. Semakin lama rasanya semakin sakit. Obat yang diresepkan kemarin sudah
habis. Agak demam pula. Kalau naik sepeda dan melewati jalan yang kurang rata,
terutama di Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Kedokteran UGM yang polisi
tidurnya agak “ekstrem” (polisi tidur ganda, dalam satu kali polisi tidur ada
lima tonjolan), rasanya...errrr! Belum lagi kalau harus ribut dulu dengan
satpamnya gara-gara saya protes lantaran menggunakan lajur sepeda untuk parkir
motornya. Hahahaha. Pengen misuuuuuh! Saya
pun menghubungi drg. Gunawan, bertanya bolehkah minum parasetamol. Kata drg.
Gunawan boleh dan kalau ada waktu disuruh datang pukul 14.00 ke RSGM untuk
dilihat lukanya. Baiklah, pukul 14.00 saya meluncur ke RSGM.
Tiba di parkiran RSGM, saya bertemu drg. Gunawan
dan menyuruh saya untuk menyusul ke lantai 3, ke poli bedah mulut. Begitu
sampai di poli bedah mulut, saya pun segera masuk ke salah satu ruang operasi.
drg. Gunawan memeriksa luka bekas operasi saya. “Wah, jahitannya yang belakang
kurang rapat. Kebuka sedikit. Yang bagian depan udah nutup jadi kita lepas.
Yang belakang kita jahit lagi.” Apaaa? Jahit lagi? “Biusnya pakai yang cethek-cethek itu ya, Dok?” “Bukannya
lebih sakit ya yang itu?” “Sama aja sih.” Ini ungkapan perasaan pasien yang
sudah pasrah. Hahahaha.
drg. Gunawan pun melepas jahitan saya, kemudian
menyuntikkan bius, dan menjahit kembali gusi saya. drg. Gunawan pun menuliskan
resep untuk saya. Ada antibiotik, antiradang, dan antinyeri. Ketika akan
meninggalkan RSGM UGM, saya bertemu drg. Agus, drg. Melissa, dan drg. Denta di
tangga. Tiga orang ini sudah cukup familier dengan saya. “Lho, Mbak, kenapa
lagi?” tanya drg. Agus. “Dijahit lagi,” kata saya sambil terburu-buru kembali
ke kantor.
Tiga hari kemudian, saya datang lagi untuk
diperiksa. drg. Gunawan tidak menentukan waktunya, justru menyuruh saya untuk
memilih waktu yang pas. Dengan jujur (eufemisme untuk “tidak tahu diri”,
hihihi), saya meminta waktu pulang kerja saja karena potongan gajinya sudah
banyak. Sebenarnya bukan ini alasan utamanya, melainkan menghindari jadi bahan
gosipan. Hihihihihi. Syukurlah lukanya sudah mulai menutup meskipun belum
sempurna. Saya sempat bertanya kepada drg. Gunawan, “Dok, emang kalau minum
antibiotik itu harus 8 jam sekali ya? Kemarin kata apotekernya gitu.” “Harusnya
sih gitu. Ya, geser satu jam nggak apa-apa. 7 atau 9 jam gitu.” “Jadi selama
ini saya salah? Waduh, ribet dong. Kan jadinya yang ketiga malem banget, Dok.”
“Pasang alarm, Mbak.” Aih! Bagi saya, pasang alarm itu efeknya tidak signifikan
kalau tidak disertai niat yang kuat. Paling kalau alarmnya bunyi saya hanya
meraba-raba ponsel sambil merem, mematikannya, lalu tidur lagi. Parahnya, ini
pernah saya alami saat puasa, akhirnya puasa tanpa sahur. Hahahaha.
Di luar dugaan, ternyata ada rencana piknik
mendadak dari kantor. Tujuannya ke Pangandaran. Haduh, badan belum fit begini
harus menempuh perjalanan jauh. Pipi masih agak bengkak. Mulut masih dijahit
pula, rasanya tertarik. Nanti kalau buat foto-foto senyumnya jelek dong!
Halaaah! Saya pun menyiapkan obat-obat yang saya perlukan. Tidak lupa berdoa
supaya kondisi tubuh saya baik-baik saja selama perjalanan. Syukurlah, semua
baik-baik saja dan acara piknik-piknik bergembira pun berjalan lancar.
16 Maret 2015
Tepat seminggu setelah menjalani operasi, saya
datang ke RSGM untuk melepas jahitan. Saya dan drg. Gunawan sepakat untuk
bertemu pukul 12.00. Saya duduk-duduk menunggu drg. Gunawan. Sudah beberapa
menit yang lalu saya mengirimkan pesan bahwa saya sudah sampai di RSGM, tetapi
belum dibaca. Petugas bagian administrasi pun berkata kepada saya, “Mbak, sudah
mendaftar belum? Kalau nggak ada RM (rekam medis) nanti nggak dipanggil-panggil
lho.” “Sudah janjian dengan dokternya kok, Pak,” kata saya.
Saya kembali menunggu. Sebentar-sebentar saya
melihat jam. Sudah hampir pukul 13.00. Sudah waktunya kembali ke kantor. Huaaa!
Dokternya mana nih? Saya pun mengirim pesan lagi. Meminta untuk menjadwal ulang
waktu kontrol. Mencoba menelepon, tetapi tidak diangkat. Tiba-tiba nama saya
dipanggil, “Mbak Dewi Surani.” Saya pun segera masuk. “Maaf ya, saya lupa,”
kata drg. Gunawan. Saya melihat drg. Gunawan masih memakai baju operasi.
Hipotesisnya: mungkin ada pasien yang lebih gawat daripada saya sehingga harus
segera ditangani.
drg. Gunawan pun menangani saya dengan cepat. Saya
langsung masuk ruang operasi. Karena begitu terburu-buru, mahasiswa yang
membantu pun sampai menumpahkan air ke baju saja. Wogh, sabar lho, Mas! Hehehehe.
Karena terburu-buru juga, drg. Gunawan langsung melepas jahitan di mulut saya,
padahal biasanya disuruh kumur dulu. “Lukanya sudah nutup. Mungkin bisa kita
rencanakan buat cabut yang kanan atas minggu depan. Mau hari apa?” kata drg.
Gunawan. “Ehm, sebenarnya enakan Jumat sih, Dok. Biar Sabtunya bisa istirahat.”
“Ya sudah. Minta rujukan ke GMC dari sekarang aja. Nanti kabari lagi ya. Maaf
ya, tadi itu bener-bener lupa.” Maafin nggak ya? Hahahaha. Ya dimaafkan lah,
lagi pula saya yang lebih sering merepotkan dengan segala macam pertanyaan,
keluhan, dan kerewelan. Selesailah rangkaian proses odontektomi yang ketiga.
Cerita odontektomi yang keempat akan saya sambung pada tulisan lain. Semangat
menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut ya. Salam J.
Adik ane dulu pas giginya copot nangis sis, bisa diam pas habis dibeliin jam tangan anak sama ibuk :D
BalasHapusSebenarnya saya juga nggak pengen nangis sih, malu sama mas dokternya, tapi udah nggak tahan sakitnya. :D Alhamdulillah ditangani residen-residen yang luar biasa sabarnya.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMbak dewi mau nanya ,Saya kan punya kartu askes semisal buat operasi gigi bungsu di RSGN UGM apakah kena biaya?
BalasHapusterimak kasih
Mbak dewi mau nanya ,Saya kan punya kartu askes semisal buat operasi gigi bungsu di RSGM UGM apakah kena biaya?
BalasHapusterima kasih
Setahu saya RSGM menerima GMC (asuransi dari UGM untuk mahasiswanya). Kalau pakai BPJS, dari faskes pertama biasanya dirujuk ke rumah sakit umum daerah atau swasta. Mungkin bisa ditanyakan ke RSGM UGM.
Hapus