Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 1): Harus Berani!
Sejak pertengahan tahun 2013, gigi geraham kanan
bawah saya menunjukkan tanda-tanda aneh, yaitu sering ngilu. Lama-lama si gigi
geraham paling belakang ini berlubang. Berlubangnya nggak tanggung-tanggung ya. Suatu hari, ketika sedang makan, saya
merasa ada yang nyelip di gigi geraham ini. Saya mencoba mengambilnya dan
ternyata itu bukan sisa makanan, melainkan cuilan gigi. Wooow! Ah, nggak
apa-apa ah, selama nggak sakit, pikir saya waktu itu.
Selama hampir setahun bertahan dengan gigi
berlubang, hampir tidak pernah ada rasa nyeri atau apa pun. Sampai suatu waktu
saya sedang makan soto Banjar di daerah Selokan Mataram. Saya pun memilih soto
dengan ketupat, bukan nasi. Baru makan tiga suap, tiba-tiba nyuuuuuuut! Terasa
nyeri di gigi geraham kanan itu. Soto yang masih setengah penuh itu saya
biarkan. “Mbak, buruan pulang yuk! Gigiku sakit,” kata saya kepada Mbak Tyas.
Begitu sampai di kos, saya langsung mencari-cari
asam mefenamat di kantong persedian obat. Minum satu butir, lalu guling-guling
di kasur sambil merasakan nyeri dan demam. Serius, sakitnya sampai ubun-ubun.
Mau jerit-jerit, tapi malu sama teman-teman kos. Takut dikira gila. Hehehehe.
Sejak saat itu saya hanya mengunyah dengan gigi sisi kiri. Ketika saya lihat di
cermin, ternyata di lubang gigi ini sudah ada bengkak kecil. Pantesan sakitnya parah.
Tak ada kotak obat, kardus bekas pun jadi, yang penting rapi. :D |
Sebenarnya saya mendapat fasilitas semacam asuransi
kesehatan dari kantor yang bernama GMC. Ini fasilitas kesehatan untuk mahasiswa
dan karyawan UGM. Dengan membayar sejumlah premi (untuk mahasiswa termasuk
dalam komponen SPP, untuk karyawan ditanggung unit kerja), kami bisa berobat
gratis di klinik GMC yang berlokasi di dalam kampus UGM atau membayar 25–35%
bila menjalani perawatan di rumah sakit dengan rujukan dari GMC. Akan tetapi, karena
komentar-komentar miring dari teman-teman saya soal layanan GMC, saya pun
mengurungkan niat untuk berobat ke RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) UGM yang
berlokasi di Fakultas Kedokteran Gigi UGM.
Kartu GMC
|
Terlebih lagi, sesungguhnya saya agak fobia dengan
rumah sakit. Agak aneh mungkin ya. Masuk rumah sakit dan mencium bau antiseptik
itu rasanya sudah ... merinding pokoknya. Apalagi membayangkan jarum suntik.
Saya ingat betul betapa dulu saya enggan diantar ibu saya ke puskesmas kalau
sedang sakit. Kalau sudah benar-benar tidak kuat, baru saya mau. Itu pun dengan
banyak syarat. Utamanya saya tidak mau disuntik dan tidak mau minum obat kalau
tidak dibelikan pisang. Jahatnya, sampai di puskesmas, ketika saya sedang diperiksa,
ibu saya sering berkata kepada dokternya, “Suntik aja, Dok, biar cepat sembuh!”
Ibu ini jahaaat! Tapi setelah itu pasti ibu saya akan menggendong saya, tidak
membiarkan saya berjalan dengan kondisi paha dan pantat yang ngilu setelah
disuntik. Ternyata di balik galaknya ada rasa sayang juga! Hehehehehe.
Pilihan tempat berobat jatuh ke dokter gigi praktik
rumah yang tidak jauh dari rumah saya di Klaten. Namanya drg. Ambar Winahyu.
Ketika diperiksa, si dokter berkata, “Wah, ini giginya nggak bisa ditambal,
Mbak. Kalau mau ditambal harus potong gusi.” Wooooow, potong gusiiiii? Saya
langsung berimajinasi tentang pisau bedah dan tiba-tiba merinding. Si dokter
pun memeriksa lagi. “Ini juga mau tumbuh gigi geraham bungsu. Sering ngerasa
meriang ya, Mbak? Sakit-sakit di leher, kepala?” Saya pun menggeleng. “Sakitnya
cuma di gusinya aja kok, Dok.” “Diobati dulu ya, Mbak. Pakai obat kumur atau
rebusan daun sirih. Kalau nggak membaik, nanti dicabut.” Dicabut??? Saya pun
semakin takut.
Setelah pulang dari drg. Ambar Winahyu, saya pun
berpikir sayang sekali kalau gigi saya harus dicabut. Toh berlubangnya baru
25%. Masa iya sih nggak bisa ditambal lagi? Kalau dicabut, nanti ompong dong,
kayak nenek-nenek. Terlebih lagi ada masalah baru yang tidak pernah saya duga, yaitu
si gigi geraham bungsu ini. Hem, gigi bungsu, samaan dong, aku juga anak bungsu,
lahirnya paling bontot. Tosss! Dulu sih waktu SD-SMA waktu pelajaran biologi
soal sistem pencernaan manusia, katanya jumlah gigi manusia dewasa itu 32. Nah,
saya sering menghitung-hitung gigi saya sendiri dan berpikir, mana giginya?
Cuma 28 kok. Mungkin saya perkecualian karena mulut saya kecil sehingga si gigi
bungsu ini tidak tumbuh. Ternyata itu salah. Justru kalau mulutnya kecil lebih
bermasalah, tumbuhnya bisa miring dan tidak mau muncul dari dalam gusi.
Hedeeeeew!
Begitu divonis kalau gigi bungsu saya mau tumbuh,
saya pun mulai mencari-cari informasi, googling
sana-sini, tanya teman-teman yang pernah menjalani cabut gigi bungsu. Semakin
mencari, saya semakin takut bercampur bingung karena jawabannya beda-beda. Berdasarkan
hasil googling, si gigi bungsu ini
memang sering kali bermasalah karena evolusi ukuran rahang manusia menyebabkan
empat gigi yang tumbuh paling akhir ini tidak mendapatkan ruang yang cukup
sehingga arah tumbuhnya tidak normal. Karena arah tumbuhnya tidak normal, ada
banyak risiko kalau si bungsu nakal ini dibiarkan. Dalam budaya Barat, gigi
bungsu disebut wisdom teeth karena
tumbuh saat seseorang sudah berusia dewasa, dalam tahap pembentukan
“kebijaksanaan”. Dalam pemikiran saya, kenapa juga namanya harus wisdom teeth? Nggak bikin bijaksana,
bikin sakit iya. :P
Saya pun bertanya kepada tiga orang teman yang
pernah menjalani cabut gigi bungsu dan jawabannya semua berbeda.
Tanya pada Mbak Tika dan jawabannya:
“Sakiiiiiit. Sakit
banget. Jangan mau sama residen! Nanti dia nggak canggih, kamu buat coba-coba.”
Tanya pada Dani dan jawabannya:
“Nggak sakit ah.
Paling sakitnya kalau habis operasi biusnya hilang. Kan dikasih obat penghilang
nyeri. Dokter gigi sekarang udah canggih. Aku sama residen nggak apa-apa. Murah
lagi. Kalau pakai GMC nggak sampai seratus ribu udah termasuk rontgen sama
obat.”
Tanya pada Mbak Arum dan jawabannya:
“Rasain sendiri.
Pokoknya hokyaaaaa!” :P
Haduuuh. Mungkin
jawaban positif saja yang perlu saya percaya. Saya pun meyakinkan diri untuk
periksa ke RSGM UGM.
Namun, bukan berarti ketakutan saya mereda. Justru
semakin besar ketika ada insiden pascaoperasi gigi yang dialami rekan kerja
saya yang bernama Bu Titik. Suatu hari Bu Titik menjalani operasi gigi di RSGM.
Ketika kembali ke kantor, Bu Titik terlihat pucat dan hanya diam. Tiba-tiba
ruangan kami jadi heboh karena mendadak Bu Titik demam dan katanya mau pingsan.
Bu Titik pun diantar pulang, lalu dokternya menyuruhnya kembali ke RSGM UGM
untuk diobservasi. Saya pun jadi semakin takut. Takutnya ini campur-campur,
antara takut menjalani tindakan medis atas gigi saya dan takut kalau semakin
lama masalah gigi ini saya biarkan, bisa jadi mengalami hal seperti Bu Titik.
Mungkin istilah populernya “galau tingkat dewa”. Ketakutan saya pun agak reda
saat beberapa hari kemudian Bu Titik berkata, “Nggak apa-apa, Mbak. Yang
penting badannya fit. Kemarin itu soalnya aku pilek, sarapan dikit lagi.
Jadinya laper, gemeter. Kurang tidur lagi malamnya.” Fiuuuuuh. Agak lega.
Akhirnyaaaaa ... hari itu pun tiba. Sabtu, 6
September 2014. Saya meminta sahabat saya, Arum untuk menemani. Katanya dia
juga mau periksa. Pukul 09.00 saya meluncur dari kos bersama si Minu (Mini
Ungu, sepeda kesayangan saya) meminta rujukan ke GMC untuk periksa ke RSGM UGM.
Antre beberapa saat, meminta rujukan, lalu segera menuju RSGM UGM yang letaknya
tidak jauh dari sana. Formulir sudah saya isi, tapi belum saya kembalikan ke
bagian pendaftaran karena saya menunggu Arum. Pengennya sih nomor antreannya dekat,
biar masuknya barengan. Hampir setengah jam saya menunggu dia dan ketika tiba
dia berkata, “Aku nggak jadi periksa ah, kapan-kapan aja.” Lhaaaaa? Bocah
iniiiii! Errrrr. Tau gitu kaaaaan.... Dengan perasaan agak jengkel saya
mengembalikan formulir dan mengambil nomor antrean, dapat nomor 23.
Ini nih RSGM Prof. Soedomo, lokasinya di Fakultas Kedokteran Gigi UGM. |
Kami berdua menunggu di ruang tunggu yang ada di
dalam. Lumayan, ada sofanya. Berjam-jam kami menunggu. Kami menghabiskan waktu
dengan guling-guling di sofa, baca-baca majalah, nonton televisi, tidur-tidur
ayam, selfie-selfie bergembira, dan ngobrol-ngobrol tidak jelas sambil ketawa
cekikikan tapi ditahan karena nggak enak dengan pasien lain, hingga akhirnya saya
dipanggil ke ruang 1. Ini baru konsultasi awal. Diperiksa tekanan darahnya,
suhu tubuhnya, ditanya-tanya keluhannya apa, pernah punya riwayat diabetes,
alergi, dan lain-lain. Lalu kami harus mengantre lagi untuk dipanggil ke ruang
2. Aktivitas kami pun sama, guling-guling di sofa lagi.
Akhirnya nama saya dipanggil ke ruang 2. Sudah
hampir pukul 13.00 waktu itu. Saya bertemu dengan drg. Hendri Susanto, M.Kes.
Percakapan singkat pun terjadi.
“Kenapa giginya?”
“Berlubang, Dok. Kalau buat ngunyah sakit. Mau tumbuh gigi bungsu juga.”
“Sakitnya dari kapan?”
“Juni.”
“Haaaah? Juni? Kok baru sekarang ke sini?”
“Sakitnya itu nggak terus-terusan, Dok. Kalau buat ngunyah aja.”
“Dulu dikasih obat apa?”
“Lupa, Dok. Pokoknya salah satunya asam mefenamat.”
“Lho kok bisa lupa?” kata drg. Hendri sambil melihat rekam medis saya.
Ah elah, dokter ini. Namanya juga manusia, bisa lupa. “Dulu periksanya
nggak di sini, Dok. Di dokter lain.”
“O, baru pertama ke sini.”
Saya pun duduk di dental chair, lalu kumur-kumur sesuai instruksi dokter. Berbagai
alat pun mulai masuk ke mulut saya untuk menambal lubang di geraham kanan
bawah. Ada rasa sedikit ngilu ketika gigi saya dibor, tapi tidak ada apa-apanya
jika dibandingkan dengan nyeri gigi saat kambuh.
“Hash....” keluh si dokter.
“Kenapa, Dok?” tanya perawatnya.
“Lengket ini lho.”
Saya pun jadi merasa down. Kalau nanganin pasien jangan ngeluh-ngeluh gitu dong, Dok. Bikin pasiennya nggak pede aja. Errrrr....
Terakhir, saya disuruh kumur kembali. Hah? Gitu doang? Nggak sakit, pikir saya.
Nggak perlu potong gusi seperti yang dikatakan drg. Ambar dulu.
“Ini dibawa ke bagian radiologi. Hari Senin kembali
lagi sudah bawa rontgennya.”
“Iya, Dok.”
Saya pun ke bagian radiologi lalu difoto. Fotonya
bukan foto selfie pastinya. Hahahaha. Hasilnya pun menunjukkan kalau ada gigi
yang miring dan menabrak gigi geraham depannya. Oh, jadi ini si bungsu nakal
itu? pikir saya. Setelah itu, saya ke bagian administrasi untuk membayar.
Sambil menunggu penghitungannya, saya pun duduk di sebelah Arum.
“Eh, itu doktermu tadi,” bisik Arum.
“Lihat rontgennya,” kata si dokter. “O, iya. Mau
tumbuh gigi bungsunya.”
“Nggak harus dicabut kan, Dok?” kata saya agak
takut.
“Cabut yang paling belakang,” kata si dokter sambil
mengembalikan hasil rontgennya.
Saya pun saling berpandangan dengan Arum. “Kok
dokternya kayak gitu? Tahu-tahu ngomong aja, nggak nyapa, nggak manggil Mbak
atau apa gitu,” kata saya. “Mungkin dia lelah,” kata Arum. Baiklah, saya
berkesimpulan bahwa si dokter sedang bad
mood. Ya, dokter juga manusia kan?
Untuk biayanya, saya lupa berapa pastinya. Yang
jelas, karena hanya membayar 25%, saya tak mengeluarkan biaya lebih dari tiga
puluh ribu rupiah untuk tindakan, administrasi, obat, dan rontgen.
Woooow...terima kasih GMC! J
Selepas itu, saya pun flashback ke masa lalu. Mencoba mengingat-ingat dosa-dosa atas
kelalaian saya dalam menjaga karunia Allah yang berupa gigi. Saya pun ingat
bahwa ada suatu masa ketika wilayah peredaran saya hanya berkutat di antara
kasur, sumur, dapur (tidur, mencuci, memasak, dan makan) dan aktivitas utama
saya memelototi monitor komputer. Untuk sementara “lari” dari aktivitas berorganisasi
dan menari di gelanggang mahasiswa dan main-main. Masa-masa perjuangan demi
selempang kuning-merah-putih, selempang kemelut, eh cumlaude, selembar ijazah, dan dua lembar transkrip nilai. Suatu
masa yang efek buruknya baru saya rasakan sekarang. SKRIPSI! Yaaa!
Saya ingat betapa dulu saya begitu kecanduan permen
loli rasa susu sapi merek M*lk*t*. Betapa mudahnya kata-kata meluncur lewat
jari-jari yang beradu dengan keyboard
ketika mulut sudah asyik “ngenyot” permen dan di samping saya ada sebungkus
keripik kentang rasa keju merek Ch*t*t*. Kalau melihat dua makanan ini, cuma
bisa bilang, “Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”. Hahahahaha. Alih-alih
gosok gigi sebelum tidur, sering kali saya tertidur di depan komputer sampai
siang (karena jam tidurnya bergeser jadi setelah Subuh, waktu mengerjakan
skripsinya malam). Kalau mau gosok gigi itu rasanya “awang-awangen”, berasa jarak kamar ke kamar mandi jadi jauuuuuuuh.
Sapi-sapi manis dan lucu, siapa yang bisa menolakmu? :-* |
Tips penting dari orang yang pernah sakit gigi:
1. Jangan malas gosok gigi, usahakan gigi dalam
keadaan bersih sebelum berlayar ke pulau mimpi. Lebih baik lagi kalau gosok
gigi sesuai anjuran, yaitu minimal sehari dua kali, setelah sarapan dan sebelum
tidur.
2. Sulit untuk menolak makanan manis dan imut
semacam cokelat, permen, es krim, dan segala kue-kue yang bentuknya lucu, tapi
yang namanya berlebihan itu tetap tidak baik (suara hati mantan pecandu permen
loli yang bisa menghabiskan lebih dari lima permen loli dalam sehari :P).
3. Kalau sudah merasa ada gejala aneh pada gigi,
misal ngilu saat minum dingin, apalagi sudah jelas ada lubang, jangan ragu
untuk datang ke dokter gigi. Jangan menunda sampai sakit. Semakin lama menunda,
semakin besar lubangnya dan kalau sudah parah, perawatannya akan semakin sulit
dan mahal, bahkan harus dicabut. Sakit gigi itu sakitnya dobel lho, sudah sakit
sampai ubun-ubun, meriang sekujur badan, tidak bisa tidur, tetap tidak ada yang
menengok. Kalaupun ada yang menengok dan membawakan makanan, belum tentu bisa
makan. Yakin mau?
4. Jangan takut ke dokter gigi. Jangan bayangkan mereka
monster yang akan “mengeksekusi” kita dengan berbagai peralatannya. Bayangkan
mereka itu superhero, pahlawan pejuang kesehatan gigi dan mulut. Ya, mungkin
namanya Dentalman. Hahahahaha. Percaya bahwa mereka akan mengupayakan yang
terbaik untuk kita. Kalau memang takut, minta seseorang untuk menemani atau
cobalah mengobrol dengan pasien lain untuk mengurangi ketegangan.
Dokter giginya imut gitu lho. Yakin nggak mau diperiksa? :D Note: bonekanya buat sendiri lho! Agak sakit hati waktu nenek saya bilang bonekanya mirip lemper :'( |
5. Tambal gigi itu TIDAK SAKIT. Cuma ngilu sedikit.
Hambok teniiiiiin! (Beneran. Serius!)
Kalau memang merasa sangat kesakitan saat ditangani, sampaikan kepada
dokternya.
Nah, itulah pengalaman saya periksa dan menjalani
pengobatan di RSGM UGM untuk yang pertama kali. Berhubung baru tambal gigi dan
konsultasi awal saja sudah sepanjang ini, ada baiknya kalau pengalaman saya
selanjutnya disambung di bagian lain. Yang terpenting, harus berani ke dokter
gigi ya! Salam! J
Komentar
Posting Komentar