Anak Kecil Aja Tau! 4# Tentang Ketulusan
Ketika saya
masih berusia sekitar tiga atau empat tahun, paman saya pernah mengajak saya
pergi berkunjung ke rumah seseorang saat hari Lebaran. Saya tidak tahu ke mana
saya akan dibawa, tapi karena saya lumayan “lengket” dengan paman saya yang
satu ini, saya menurut saja diajaknya. Ternyata, si paman ini mengajak saya
pergi ke rumah gadis yang ditaksirnya. Mungkin istilahnya sekarang gebetan.
Si gadis itu
bertanya, “Anak siapa itu?” Paman saya pun berkata, “Anakku.” Saya yang waktu
itu masih kecil dan tidak terlalu mengerti akhirnya hanya diam. Saya hanya
membatin, bagaimana mungkin dia mengaku bahwa saya adalah anaknya, padahal kan
bukan. Mungkin saat itu saya masih terlalu polos hingga tidak paham tentang
“modus” di balik kebohongannya. Saat saya beranjak dewasa, saya baru sadar
bahwa si paman itu melakukan “pencitraan” bahwa dirinya mencintai anak-anak
untuk “cari perhatian” dari gebetannya. Itulah kesimpulan saya. Andai dulu saya
tahu, pasti saya menolak dijadikannya “alat”.
Ketika saya
remaja, saya pernah naksir kakak kelas saya, tapi bukan perihal seperti apa
hubungan kami yang akan menjadi poin pembahasan. Lagi pula orangnya sekarang
sudah menikah dan menjadi bapak-bapak. Hehehe. Yang akan saya bahas adalah
bagaimana saya mencoba melakukan modus yang sama seperti paman saya
“memanfaatkan” saya.
Suatu hari saya
pernah meminta bantuan si kakak kelas ini untuk meng-install ulang komputer saya. Saya pikir dia hanya datang sendiri,
tidak tahunya dia membawa teman dan seorang adik kecil yang usianya sekitar
empat sampai lima tahun. Aha! Saya harus melakukan sesuatu yang bisa membuat si
adik kecil lengket dengan saya. Saya pun sibuk mengambil kue, membuat minum,
memetik rambutan sampai tangan saya digigit puluhan semut.
Alih-alih si
adik kecil itu mau bermain dengan saya, dia malah menjauh dan hampir menangis.
Tak sedikit pun kue dan rambutan dari saya disentuhnya. Mungkin dia tidak memahami bagaimana perjuangan saya melawan semut-semut itu. Dia malah mendekati
kakaknya dan terus merengek minta pulang. Tak hanya dia yang merengek, saya pun
dalam hati terus merengek supaya dia tidak minta pulang. Please, jangan pulang! Aku masih pengen kakakmu di sini. Jeritan di
hati itu semakin kencang saat mereka benar-benar pulang dan saya tidak bisa
menghalanginya.
Semasa saya
kuliah, saya bergabung dengan organisasi kampus yang bergerak di bidang seni.
Di sana saya mengenal pasangan kakak senior—“cinlok”
di gelanggang mahasiswa—yang
sudah memiliki seorang anak perempuan. Kalau dibawa ke gelanggang mahasiswa, si
adik kecil ini—waktu
itu usianya masih sekitar dua tahun—pasti
jadi rebutan. Semua ingin mencium, menggendong, atau sekadar menyapanya.
Berhubung saya bukan orang yang cukup “terkenal” di sana, saya tak terlalu
berani untuk “meminjamnya” dari sang ibu, bahkan untuk menyapanya saja saya
segan meskipun sebenarnya saya begitu menginginkannya.
Suatu hari,
kami sedang berkumpul untuk rapat alumni dan anggota terkait pementasan. Kami
duduk melingkar, sementara si adik kecil sibuk bermain sendiri dan berjalan ke
sana kemari. Tanpa saya duga, si adik kecil itu tiba-tiba datang mendekat lalu
duduk di pangkuan saya tanpa berkata apa-apa. Betapa senangnya saya karena ada
waktunya saya bisa dekat dengan si adik kecil ini tanpa perlu saya minta. Lebih
mengejutkannya lagi, tiba-tiba sahabat saya berbisik, “Anak kecil itu bisa
bedain mana yang tulus sama dibuat-buat kok.”
Tulus, kata ajaib yang diucapkan sahabat
saya itulah yang membuat perasaan tersentak. Ada perasaan haru saat saya
mencoba merangkai tiga kejadian itu. Mengenai kejadian saya dan paman saya,
saya akui bahwa saat itu ada sedikit ketidaktulusan ketika mengajak saya
bersepeda dan berkunjung ke rumah gadis incarannya itu. Meskipun demikian, itu
hanya salah satu bagian kecil dari warna-warni hubungan kami. Ada banyak hal
yang mungkin telah terjadi antara kami dan menunjukkan betapa dia tulus
mengasuh saya. Celakanya, bagian-bagian baik itu justru terhapus dari memori
saya dan yang tersisa justru bagian “mengesalkan” itu.
Teguran dari
Allah tentang ketulusan benar-benar saya rasakan ketika merenungkan dua
kejadian terakhir karena keduanya terjadi ketika saya sudah remaja dan
kemampuan kotak memori saya menyimpannya cukup bisa diandalkan. Mengenai
kejadian saya dan adik si kakak kelas itu, saya jadi sadar bahwa semua makanan
dan bujukan yang saya berikan itu jelas ditolak oleh sang adik karena dia tahu
bahwa yang menggerakkan hati saya bukanlah ketulusan untuk dirinya, melainkan
keinginan agar sang kakak “melirik” saya. Andaikata saat itu saya tidak punya
niatan seperti itu, mungkin si adik akan mendekat pada saya dan secara otomatis
si kakak akan memberi “tanda bintang” untuk saya. Belum tentu juga sih.
Hehehehe. Paling tidak, kemungkinannya lebih besar.
Mengenai adik
kecil yang tiba-tiba duduk di pangkuan saya itu, saya pun jadi sadar bahwa
sebuah perbuatan yang tulus dan tidak itu mudah sekali terlihat. Saking
mudahnya, anak kecil pun bisa melihatnya. Saya sadar bahwa saya harus banyak
belajar tentang ketulusan. Saya belajar bahwa ketulusan juga akan membawa
banyak manfaat yang seringkali tak terduga. Kebalikannya, kalau dari awal saya
sudah tidak tulus mengerjakan sesuatu, bisa jadi saya tidak akan mendapatkan
yang saya inginkan, bahkan besar kemungkinan saya akan kena “getahnya”. Jadi,
kalau anak kecil saja tahu tentang ketulusan, mengapa saya tidak mencoba untuk
belajar banyak dan mengamalkannya dalam kehidupan?
Komentar
Posting Komentar