Anak Kecil Aja Tau! 3# Tentang Meminta Maaf


“Memaafkan bukan berarti melupakan.”Mahatma Gandhi

Maaf. Kata yang sederhana bila dipandang dari aspek bunyi. Hanya terdiri atas empat bunyi dan dua suku kata. Namun, dari aspek pragmatik, kata ini punya efek yang dahsyat. Maaf dalam KBBI berarti ‘(1) pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan; ampun, (2) ungkapan permintaan ampun atau penyesalan, (3) ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu'. Meminta maaf itu ibarat mencabut paku yang menancap di dinding. Meskipun paku tercabut, bukan berarti lubang di dinding seketika hilang. Biarpun tidak menjamin sebuah kesalahan dilupakan, paling tidak kata maaf bisa meredam ketegangan antara dua pihak.
Karena dahsyatnya efek kata maaf itu, kadangkala sulit untuk diucapkan. Bukan karena masalah alat wicara yang terganggu, melainkan untuk menggugah “hati” agar bisa menstimulus otak dan saraf motorik untuk memproduksi kata sederhana itu. Bisa jadi karena gengsi, bisa jadi karena memang berada di pihak yang benar, tapi karena hal tertentu “terpaksa” untuk mengucapkannya. Itu kalau saya lho ya....
Perihal meminta maaf ini, ada satu cerita yang membuat saya tahu bahwa meminta maaf itu adalah cara seseorang menjaga atau menstabilkan kembali emosi lawan bicara yang sudah “terluka” dan tidak pandang usia. Waktu kuliah semester 7–8, saya menyusun skripsi. Topik yang saya ambil adalah anak-anak. Selama hampir delapan bulan, saya bergelut dengan hal-hal unik yang berkaitan dengan anak-anak, hal yang sebelumnya tidak terlalu menarik perhatian saya. Sejak saat itu saya sering mendapatkan pengalaman tak terduga bersama anak-anak. Entah itu kebetulan atau tidak, anggap saja kebetulan supaya lebih dramatis. Hehehehe.
Layaknya mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, saya punya jadwal rutin untuk “ngapel” dosen pembimbing. Saya termasuk yang jarang “setor muka” karena saya merasa pantang menghadap dosen kalau tidak membawa laporan perkembangan yang berarti. Saya lebih memilih berhari-hari “berinkubasi” di kamar sambil memelototi monitor komputer dan tadaaaa.... Segepok draf pun sampai di meja ibu dosen tercinta. Untuk masalah jarang “setor muka” ini harap tidak ditiru ya.
Sebelum pembicaraan serius mengenai skripsi, selalu ada prolog dari saya atau dosen saya. Namanya juga sesama perempuan, pasti ada saja hal yang kami obrolkan. Misalnya saja, saya pernah pamer bahwa saya bisa memakai eyeliner cair. Hehehehe. Siang itu dosen saya yang juga ibu muda dengan satu anak perempuan yang masih duduk di bangku playgroup bercerita tentang si putri kecilnya itu.
Ibu itu berkata dengan nada sedih. “Mbak, tadi pagi ada kejadian yang bikin saya haru sama si kecil. Tadi itu saya sudah kesiangan, ribet, mau antar si kecil ke sekolah terus ke kampus, tapi si kecil malah rewel. Mau sepatunya yang ini, kaus kakinya yang itu, tapi nggak mau sama tantenya. Dia merengek, ‘Mau sama Ibu.’ Saya jadi emosi. Saya berkata dengan nada tinggi, ‘Apa sih, Ta? Kayak gitu aja mesti sama Ibu.’ Si kecil cuma diem, Mbak, tapi pelan-pelan air matanya ngalir. Rasanya sakit sekali hati ini karena sudah membentaknya. Saya langsung bilang, ‘Maafin Ibu ya, Sayang.’ Saya menyesal, Mbak.”
Semua orang punya potensi melakukan kesalahan. Itu adalah fitrah manusia. Manusia memang tempatnya salah dan lupa. Tidak peduli gender atau usia, semua bisa saja melakukan kesalahan. Oleh karena itu, meminta maaf tidak melulu dilakukan dari yang muda dan dianggap “kurang berpengalaman” kepada orang yang lebih tua layaknya tradisi bermaafan di hari Lebaran (kalau di tempat saya lho ya....).
Anak-anak memang belum memiliki pengalaman hidup sebanyak orang dewasa. Meskipun begitu, ia sama dengan orang dewasa, sama-sama anggota masyarakat yang punya hak, salah satunya mendapat kata maaf jika perasaannya terluka. Terlebih lagi, anak-anak jauh lebih sensitif sehingga mudah “terluka”.
Menurut pemikiran saya, si adik kecil ini sudah cukup mendapat pelajaran bahwa tidak seharusnya dia bersikap seperti itu saat ibunya sedang terburu-buru dengan mendapat sedikit bentakan dari ibunya. Dengan menunjukkan sikap diam, sebenarnya dia sudah mengerti bahwa dirinya salah. Akan tetapi, mungkin perkataan ibunya itu terlalu keras hingga sensitivitasnya itu membuatnya tidak mampu menahan air mata sebagai tanda kekecewaannya.
Mengenai hal yang dilakukan ibu ini, saya sangat setuju. Kalau memang kita berbuat salah, sudah selayaknya kita meminta maaf sekalipun pada anak kecil. Sebenarnya, meminta maaf itu tidak membuat harga diri kita seketika “jatuh” di mata anak-anak. Ketika meminta maaf, sebenarnya kita sudah menunjukkan bahwa kita menyesali perbuatan itu dan memohon pemakluman. Sikap itu bisa “meredam” emosi si anak sehingga dia bisa kembali ceria dan berhenti menangis. Selain itu, meminta maaf kepada anak-anak juga bisa dimanfaatkan sebagai contoh nyata untuk anak-anak. Harapannya, ketika suatu saat si anak mengalami situasi yang sama, yaitu melakukan kesalahan, dia juga akan melakukan hal sama. Dengan demikian, si anak akan belajar memiliki jiwa besar untuk mengakui kesalahan yang dibuatnya. Itu kalau menurut saya lho ya.... So, kalau kita memang melakukan kesalahan, pada siapa pun itu, sudah selayaknya meminta maaf kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair