Anak Kecil Aja Tau! 2# Tentang Kejujuran dan Saling Berbagi
Sekitar tahun
2011 atau 2012 (saya lupa kapan persisnya), pakde saya dirawat di rumah sakit
karena menjalani operasi saluran kencing. Pakde saya harus menginap di rumah
sakit selama beberapa hari. Saya dan kakak sepupu saya (anak pakde saya) yang
menjaganya.
Saat itu pakde
saya satu ruangan dengan pasien yang mengidap penyakit diabetes yang sudah
lumayan parah, terbukti dengan beberapa sayatan di tubuhnya. Mengejutkannya,
pasien ini seolah tidak menganggap bahwa penyakitnya ini serius. Dia masih saja
“ngeyel” hingga saya berpikir betapa beruntungnya dia memiliki istri yang sabar
dan menjaganya tanpa lelah. Suatu hari, si pasien ini tidak mau makan ransum
yang sudah disediakan rumah sakit. Kalau dipikir-pikir, siapa sih yang mau
makan makanan dari rumah sakit? Selain menunya disesuaikan dengan penyakit yang
diderita pasien, “aura” rumah sakit dan penyakitnya sudah membuat pasien malas
makan.
Pada saat itu
si istri berkata, “Terus mau makan apa, Pak? Dibeliin sop daging yang seger
mau?” Saya langsung berimajinasi tentang sop daging yang kuahnya berlemak
dengan daging yang empuk dan aroma yang sedap. Tentunya nikmat sekali bagi
orang sehat seperti saya, tapi bagi pengidap diabetes yang level tinggi (untuk
tidak menyebutnya parah) yang pantangannya banyak seperti itu? Toh pada
akhirnya sop daging itu tetap dibeli. Ketika sedang makan, tirai di tempat
tidurnya ditutup agar tidak ada yang tahu kalau si pasien ini melakukan
“pelanggaran”.
Usai makan
siang, perawat pun mengecek pasien satu per satu. “Bagaimana Pak, keadaannya?”
tanya si perawat sambil memeriksa tekanan darahnya. Dengan percaya diri si
pasien itu berkata, “Saya suka makanannya, Mbak. Sudah saya habiskan.”
Bohong!!! Saya berteriak dalam hati. Si istri yang baik hati itu pun akhirnya
harus terlibat dalam perilaku “tidak jujur” yang “didalangi” suaminya itu. Saya
pikir, mengapa seseorang harus berbohong untuk hal yang jelas-jelas dia tahu
berisiko bagi kesehatannya sendiri? Mengapa demi kenikmatan sesaat menikmati
sop daging itu dia rela mengambil risiko sesuatu terjadi pada dirinya, padahal
sesaat kemudian dia akan menjalani “ritual” penyayatan tubuhnya lagi?
Oke, kita
tinggalkan si pasien “ngeyel” ini. Kita beralih pada pakde saya. Layaknya orang
yang sakit di rumah sakit, pasti ada saja sanak kerabat atau sahabat yang
datang menjenguk. Sore itu keluarga besar saya dari Klaten datang menjenguk.
Ada balita, anak-anak, ibu-ibu, sampai kakek-nenek yang datang. Seketika ruang
perawatan itu menjadi ramai. Makanan dan minuman pun dikeluarkan untuk menjamu
mereka. Ada roti isi daging dan selai buah yang dikemas satu-satu yang
disuguhkan kepada mereka.
Di antara
rombongan penjenguk, ada adik sepupu saya yang masih kecil. Mungkin saat itu
usianya belum genap empat tahun. Dia duduk di pangkuan ibunya sambil terdiam
(padahal biasanya dia tidak bisa diam, cerewet dan berlarian ke sana kemari).
Dia mengambil satu roti, tetapi hanya digenggamnya. “Kok rotinya nggak dimaem?”
tanya beberapa orang. Dia hanya menggeleng.
Diam-diam, si
adik kecil ini bertanya kepada ibunya, “Mbak Iti tadi ke mana?” Si ibu
menjawab, “Emang kenapa nyari Mbak Iti?” “Mau tanya kalau minta rotinya satu
lagi boleh nggak. Buat Kakak di rumah. Nanti rotinya dimakan bareng Kakak.”
Saya pun
tertawa mendengar kepolosan adik kecil ini. Dalam keadaan seperti ini dia masih
saja ingat pada kakaknya. Jangan tanya betapa “rukunnya” dia dengan kakaknya. Dalam
sehari pasti ada saja hal yang membuat kakak-adik ini bertengkar. Entah karena
si kakak tidak mau mengalah dari si adik, atau karena si adik yang memang
“ngeyel”.
Ada dua
pelajaran yang bisa saya dapatkan dari si adik kecil, yaitu tentang kejujuran
dan saling berbagi. Tentang kejujuran, si adik kecil mencari-cari si “pemilih
sah” roti itu hanya untuk meminta satu lagi. Dia merasa bahwa yang menjadi
haknya hanyalah satu roti yang dipegangnya itu karena dia mengambilnya saat
kakak sepupu saya ada di sana. Padahal, kalau dia mau ambil satu lagi atau lebih
pun tidak ada yang mempermasalahkan, termasuk kakak sepupu saya. Kedua, tentang
berbagi dengan saudara. Dia tahu bahwa dia merasa “tidak enak” kalau dia di
situ makan enak, sementara kakaknya di rumah tidak. Kalau dia makan enak,
kakaknya juga harus makan enak. Kalau saya jadi dia, mungkin saya tidak akan
berpikir seperti itu. Yang penting saya makan roti yang enak, perkara kakak
saya di rumah tidak punya cemilan, terserah deh! Itu kalau saya lho ya!
Saya jadi
ingat, dulu saya dan kakak saya juga punya cerita tentang makanan. Dulu, saya
pernah pergi bersama ibu saya ke Jakarta dan menginap beberapa hari di tempat
bapak saya. Ketika ibu saya membelikan saya kue, saya berkata, “Mas di rumah
makan apa ya?” Jangan tanya juga betapa “harmonisnya” hubungan kami. Ketika
kami sama-sama di rumah dan punya makanan, kami sering kali bertanya, “Kamu udah
makan berapa?” Bukan karena ingin saling berbagi, melainkan karena tidak mau
kalah. Kalau dia makan dua, saya juga harus dua dong! Ternyata benar, jarak
membuat kami saling merindukan dan memikirkan satu sama lain.
Pernah juga
suatu hari saya pergi ke pasar dan ibu saya mengajak saya membeli bakso. “Nanti
di rumah nggak usah cerita sama Mas kalau kita beli bakso ya,” kata ibu saya.
Ada sedikit rasa bersalah ketika itu. Tapi mau apa lagi? Entah karena alasan
apa ibu saya tidak bisa membelikan bakso untuk kakak saya. Mungkin sampai
sekarang kakak saya tidak tahu soal ini dan ibu saya pun sudah lupa. Hehehe....
Tapi entah mengapa rasa untuk saling berbagi dengan saudara itu sekarang sudah
tidak terlalu saya rasakan. Saya akui kalau saya sekarang agak cuek dengan
kakak saya. Mungkin “kepolosan” masa kecil itu sudah mulai pudar seiring
bertambahnya usia dan banyaknya hal yang menyita perhatian saya.
Kembali lagi ke
pasien diabetes dan si adik kecil itu. Dua orang beda generasi ini memaknai
kejujuran dengan cara yang berbeda. Awalnya, saya “memvonis” si pasien diabetes
ini sebagai pembohong karena membohongi si perawat bahwa makanan yang dia makan
adalah ransum dari rumah sakit. Lama kelamaan saya menoleransi kebohongannya
ini. Bukannya mendoakan yang tidak-tidak, bisa jadi si pasien ini ingin
menikmati segala “kenikmatan” duniawi yang berwujud makanan sebelum takdir atas
dirinya terjadi (sekali lagi maaf, bukannya saya mendoakan). Mungkin saja
istrinya mendukung “kebohongannya” ini demi cintanya pada sang suami karena
kasihan melihat sang suami makan dengan berbagai pantangan (setahu saya sih
penderita diabetes pola makannya harus diet ketat).
Sementara itu,
si adik kecil yang masih polos ini menjunjung tinggi kejujuran. Memang
seharusnya seseorang harus jujur, tak peduli dalam keadaan apa pun. Sayangnya,
saya sendiri sering kali menoleransi situasi untuk melakukan kebohongan kecil.
Tentunya kebohongan yang tidak terlalu berakibat fatal. Saya sadar, adakalanya
saya perlu sedikit berbohong untuk hal yang memang tidak perlu orang lain
ketahui, sepanjang hal itu tidak merugikan orang lain. Mengutip kata-kata bapak
saya suatu hari, “Tidak semua hal tentang kita harus diketahui orang lain.
Kalau orang tahu semua rahasia tentang kita, mana mungkin kita punya harga diri
di depan orang?”
semoga si adik kecil bisa menjaga kejujuran sampai dia dewasa nanti... :)
BalasHapusAamiin.... :) Andai semua anak Indonesia seperti itu sampai dewasa....
BalasHapus