Ketika Aku Pertama Menstruasi: Catatan setelah Menonton Film Turning Red

Sudah menonton film Turning Red produksi Pixar? Kalau belum, maaf ya, nanti saya banyak spoiler. Diluncurkan pada masa pandemi Covid-19, film ini mulai mengudara lewat layanan streaming berbayar Disney+Hotstar sejak Maret 2022. Berhubung saya (((kaya))), tentunya saya memilih jalur legal. Lebih tepatnya dapat paketan langganan dari internet Telkomsel yang saya beli saban bulan hahahaha. Kalau mau nonton lewat jalur haram, silakan cari sendiri link-nya. Film yang temanya “cewek banget” ini menggelitik saya untuk membuat catatan tentang pengalaman ketika seusia tokoh utamanya.

Turning Red (2022): Panda Merah sebagai Alegori untuk Menstruasi

Berlatar waktu tahun 2002, Turning Red bercerita tentang kehidupan Meilin Lee, remaja usia 13 tahun keturunan Tionghoa yang lahir dan tinggal di Toronto, Canada. Layaknya remaja yang sedang mengalami pubertas, Mei mengalami berbagai gejolak dalam dirinya. Mulai dari menyukai lawan jenis, menggemari boyband, hingga ingin bersenang-senang bersama kawan-kawannya dengan menonton konser. Tarikan antara gejolak usia remaja dan keinginan untuk tetap menjadi anak yang berbakti inilah yang mulai menghadirkan konflik antara Mei dan ibunya, Ming Lee.

Poster film Turning Red (2022)
Sumber: https://images.app.goo.gl/rvwiivoTYAHdySyC6

Yang menarik ialah penggunaan panda merah untuk mengalegorikan menstruasi. Pada saat Mei mengalami menstruasi yang pertama, ketika bangun tidur, Mei mendapati dirinya berubah menjadi panda merah yang besar, berbulu, dan bau. Wujud panda ini akan berangsur hilang dari tubuh Mei ketika emosinya menurun. Merah, bau, rasa tidak nyaman, dan emosi yang naik turun bak roller coaster merupakan sifat yang sering digunakan untuk menggambarkan menstruasi.

Mei mendapati dirinya berubah menjadi panda merah ketika bangun
Sumber: https://youtu.be/XdKzUbAiswE

Sosok panda merah yang melekat pada diri Mei sebenarnya tidak terjadi secara kebetulan. Ternyata para perempuan dari garis keturunan ibunya pun mengalami hal yang sama. “Kutukan” dari leluhur mereka yang awalnya bertujuan untuk melindungi anak-anak mereka ini dapat dihilangkan dengan sebuah ritual. Pada akhirnya, Mei memilih untuk tidak menghilangkan sosok panda merah itu dari dirinya. Ia menerima panda merah itu sebagai bagian dirinya. Teman-temannya pun tetap menerima dirinya meski dalam wujud panda.

Miriam, Priya, dan Abby yang selalu mendukung Mei
Sumber: https://youtu.be/XdKzUbAiswE

Menstruasi Pertama yang Ambyar

Menstruasi pertama yang dialami Mei mengingatkan saya pada peristiwa yang sama pada diri saya di masa remaja. Oh, tenang. Saya tidak punya sosok panda merah dalam diri saya. Hanyalah seekor singa. Rawwwwwrrr!!!

Banyak kebingungan yang saya alami pada masa itu karena jujur, ibu saya tidak pernah mempersiapkan saya untuk menghadapinya. Barangkali beliau tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi begitu cepat, mengingat orang-orang zaman dahulu katanya mengalami menstruasi pada kisaran usia 15 tahun. Kakaknya nenek saya bahkan bercerita bahwa menstruasinya terjadi setelah beliau menikah. Ya itu kan lain cerita, Nenek…. Nenek yang menikah di usia dini, bukan menstruasinya yang terlambat.

Barangkali saya adalah salah satu “korban” pemikiran bahwa membicarakan masalah seks kepada anak merupakan hal yang tabu. Akibatnya, saya panik bukan main ketika mendapati ada bercak darah di celana dalam. Saya berpikir bahwa itu darah penyakit. Sampai akhirnya saya berpikir apakah ini yang disebut datang bulan? Pembicaraan tentang datang bulan ini hanya saya dengar sepintas lalu dari kawan sepermainan bahwa Mbak X memakai Softex karena keluar darah dari vaginanya.

Ibu saya pun akhirnya tahu bahwa saya mengalami menstruasi ketika mendapati ada celana dalam dengan bercak darah di tempat cucian. Ibu saya lantas melarang keras saya untuk mengatakannya kepada siapa pun. Seolah menstruasi ini lebih dipahami sebagai hal yang memalukan ketimbang tanda bahwa saya adalah perempuan yang organ reproduksinya sehat.

Lain halnya dengan Ming yang membekali Mei dengan berbagai “amunisi” seperti pembalut berbagai ukuran, teh herbal, snack, dan ibuprofen, ibu saya bahkan tidak memberi contoh yang benar ketika memasang pembalut. Akibatnya, saya memakai pembalut tanpa melepas perekatnya sehingga gampang geser. Setelah beberapa kali membaca petunjuk di kemasannya, barulah saya tahu cara memasangnya yang benar.

Kebingungan saya itu juga membuat saya tidak terbuka dengan berbagai keluhan ketika si bulan datang. Nyeri perut dan pinggang serta pusing yang saya alami sering kali saya tahan dan sembunyikan. Takut kalau saya mengeluh justru dimarahi emak saya. Yes, emak saya memang galak sehingga saya takut kalau itu hanya dianggap sebagai perbuatan lebay. Hahahaha.

Barulah ketika SMP ada guru BK yang memberikan penjelasan tentang masa pubertas, salah satunya ditandai dengan menstruasi. Menstruasi ini kadang kala disertai berbagai keluhan. Pada perempuan, intensitas nyerinya berbeda-beda. Ada yang biasa saja, tapi ada juga yang sampai pingsan karena tidak kuat menahan sakitnya. Bu guru BK saya bercerita bahwa saudaranya sering kali mengalami nyeri ketika menstruasi dan menyembunyikannya. Ketika dicek, ternyata mengalami kanker rahim stadium 3. Serem kan?

Menerima Menstruasi sebagai Hal Kodrati

Tak berhenti dengan permasalahan dari segi fisik, saya pun mulai bergelut dengan hal yang sifatnya spiritual. Etdaaaaah! Jangan bayangkan saya lantas mendapat hidayah sehingga menjadi anak remaja yang alim.

Yang saya permasalahkan ialah mengapa orang-orang sekitar saya sering kali mengidentikkan menstruasi itu dengan kondisi kotor? Belum lagi ditambah mitos-mitos ngeri yang diceritakan dari mulut ke mulut oleh kawan-kawan. Misalnya, darah menstruasi yang menangis ketika tembus dan dilihat orang, darah menstruasi yang akan dijilat setan kalau membuang pembalut sembarangan, atau rawan diganggu setan karena bau darah, apalagi kalau mandi malam-malam.

Bahkan agama melarang perempuan yang sedang menstruasi untuk melakukan berbagai ibadah, seperti salat, mengaji/menyentuh mushaf, puasa, atau sekadar berdiam diri di dalam masjid. Pun ketika sedang menstruasi di bulan Ramadan, rasanya sungkan sekali ketika ingin minum dan makan. Mau makan harus sembunyi-sembunyi, takut diledek orang kalau ketahuan sedang menstruasi. Padahal, itu kan hak saya sebagai perempuan yang sedang dibebaskan dari kewajiban berpuasa.

Selama ini kita selalu dididik katanya harus menghormati orang yang berpuasa dengan cara tidak makan di depannya. Apakah tidak bisa kalau kita juga memaklumi orang yang memang tidak berkewajiban berpuasa, seperti perempuan yang menstruasi, hamil, menyusui; anak-anak; orang sakit; atau musafir. Toh tergoda atau tidaknya kita untuk membatalkan puasa, sesungguhnya diri kita sendiri yang mengontrolnya. Itu kalau saya lho ya. Kalau kamu beda pendapat ya monggo. Nggak usah tawuran tapi ya. Hehehehe.

Tentunya butuh waktu panjang untuk menerima hal yang sifatnya kodrati ini. Perlu waktu bertahun-tahun hingga saya dewasa sampai akhirnya saya memaknainya sebagai bentuk kasih sayang Allah untuk perempuan. Menstruasi itu menghadirkan beragam rasa sakit pada diri perempuan sehingga ia perlu “cuti” dari berbagai kewajiban rutin.

Barangkali perempuan perlu istirahat sejenak untuk mengurangi rasa sakit itu serta tetap terpenuhi kebutuhan nutrisi dan hidrasinya sehingga dibebaskan dari kewajiban untuk salat dan berpuasa. Khusus untuk puasa Ramadan, tetap ada kewajiban untuk meng-qada setelah Ramadan. Di luar itu, perempuan tetap bisa beribadah dengan cara lain, seperti bersedekah, berselawat, dan membaca hafalan Al-Qur’an. Lebih indah bukan memaknai menstruasi sebagai privilege ketimbang kondisi kotor?

Normalisasi Pendidikan Seks untuk Anak

Pengalaman menstruasi saya yang membingungkan di masa remaja inilah yang memotivasi saya untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Oh, tentunya saya tidak menyalahkan ibu saya karena saya tahu bahwa pemikiran beliau merupakan produk turun-temurun dari para leluhur. Beliau pun mungkin mengalami kegalauan luar biasa tatkala mengalami hal yang sama. Tugas saya ialah memutus matai rantainya.

Andaikata satu hari saya diberi kesempatan untuk memiliki anak, saya ingin memberikan pendidikan seks sedini mungkin sesuai usianya. Tentunya tidak ujug-ujug menjelaskan proses pembuat dedek bayi ya, tetapi disesuaikan dengan usianya. Bisa dimulai dengan pengenalan organ tubuh masing-masing, termasuk organ reproduksi.

Tak hanya bertujuan agar anak lebih paham tentang tubuhnya sendiri, pendidikan seks juga bisa menjadi salah satu cara untuk melindungi anak dari bahaya pelecehan seksual. Jika anak paham mana batasan organ tubuh yang boleh disentuh orang lain, risiko tersebut dapat diminimalkan. Mulai sekarang, yuk kita tanamkan pikiran bahwa pendidikan seks bukanlah hal yang tabu!

Klaten, 28 Mei 2022

Dewi Surani 

Pekerja buku. Suka membaca karena dibayar.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair