[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair


Judul: Parmin
Penulis: Jujur Prananto
Penerbit: Kompas
Cetakan: Pertama, 2002
Jumlah halaman: 160 hlm.
Daftar judul cerpen:
1.      Sang Pahlawan
2.      Nasib Seorang Pendengar Setia
3.      Luka
4.      Perjalanan Dua Pencari Alamat
5.      Perjalanan Terpanjang
6.      Bahasa Inggris
7.      Parmin
8.      Seorang Ayah dan Anak Gadisnya
9.      Ibu Memintaku Segera Pulang
10.  Wabah
11.  Ibu Senang Duduk Depan Warung
12.  Dua Pemerkosa
13.  Helm
14.  Paduan Suara
15.  Reuni
16.  Peran-Peran Semu

Kumpulan cerpen Parmin ini karya salah satu penulis cerpen favorit saya, Pak Jujur Prananto. Saya berburu buku ini gara-gara saat mengikuti workshop beliau, saya sangat terkesan dengan cerita beliau tentang proses kreatif menulis cerpen “Parmin”dan “Ibu Senang Duduk Depan Warung”. Proses kreatif penulisan cerpen yang lain dapat dibaca pada bagian (semacam) kata pengantar yang diberi judul “Setelah Es Krim Itu Meleleh....”. Jujur Prananto lebih suka menyebut cerpen-cerpennya “terinspirasi”, bukan “berdasarkan” kisah nyata karena memang tidak pernah (atau tidak tega) begitu saja mengalihkan suatu kejadian nyata menjadi sebuah cerita.
Kumpulan cerpen ini berisi 16 cerpen bertema besar ironi dalam kehidupan sehari-hari. Ironi ini akan berubah menjadi komedi sejati ketika kita mampu menertawakan diri sendiri. Beberapa masalah yang diangkat sesungguhnya sederhana, tetapi mengusik naluri saya untuk merenungkankannya dan mengambil kesimpulan, “Ah…iya ya. Hidup ini memang lucu dan saya menjadi bagian dalam kelucuan itu.”

Ada masa tertentu di mana saya menggebu-gebu ingin menuliskan pengalaman emosional ini ke dalam sebuah karya tulis. Tapi ternyata tidak bisa begitu saja terlahir. Rupanya perlu waktu untuk melakukan pengendapan. Sampai saya bisa menilai segala sesuatunya bukan dengan subyektivitas yang emosional. Dan bisa dengan rileks “menertawakan” diri saya sendiri. (hlm. vii–ix)

Terkadang orang sibuk mengartikan kebahagiaan dalam hidupnya. Bagi “orang kecil” seperti Parmin, kebahagiaan itu berasal dari hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian. Kebahagiaan baginya sesederhana melihat anak-anaknya begitu bahagia menikmati es krim yang mencair yang dipungutnya dari sisa pesta. Tak harus dengan berliter-liter es krim yang masih dingin dan kenyal. Hal inilah yang diangkat dalam cerpen Parmin (yang jadi favorit saya tentunya). Kesibukan itu juga terkadang menepis nilai-nilai kemanusiaan hingga membuat orang-orang justru mengabaikan orang-orang di dekatnya, bahkan yang lebih parah justru mencurigainya.
Kondisi dilematis yang dialami “para pegawai rendah” dalam sebuah sistem juga tak luput dari perhatian Jujur Prananto. Hal ini tecermin misalnya dalam cerpen “Nasib Seorang Pendengar Setia” dan “Paduan Suara”. Dalam kedua cerpen ini, terlihat usaha Jujur Prananto membangun suasana “serbasalah” yang mesti dihadapkan pada kekuasaan. Dalam cerpen “Nasib Seorang Pendengar Setia”, diceritakan bahwa seseorang terpaksa untuk mendengarkan dan tertawa atas cerita-cerita atasannya yang sesungguhnya tak lucu demi pekerjaan dan perekonomian keluarga. Begitu pula halnya dengan cerpen “Paduan Suara” yang bercerita tentang seorang pelatih vokal yang dalam pekerjaannya diintervensi oleh sosok istri gubernur dengan berbagai pertimbangan politis. Agaknya ini tak lepas dari “sisi gelap” Orde Baru yang berusaha membangun kultur “asal Bapak senang” dalam menjalankan tugas.
Tema sederhana tentang keluarga juga tetap lekat dalam cerpen-cerpen Jujur Prananto, misalnya dalam cerpen “Seorang Ayah dan Anak Gadisnya”, “Ibu Memintaku Segera Pulang”, “Reuni”, dan “Ibu Senang Duduk Depan Warung”. Cerpen “Reuni” mencoba mengkritisi kehidupan masyarakat urban yang kini mengalami pergeseran dalam hal interaksi sesama manusia, yakni merenggangnya hubungan persaudaraan. Cerpen “Ibu Senang Duduk Depan Warung” cukup menarik dalam hal proses kreatifnya, yakni ketidaksengajaan penulis melihat sebuah restoran yang sepi, lalu penulis “berpikir jahat” bahwa penyebab sepi itu karena yang tampil di depan bukanlah pelayanan yang muda dan cantik, melainkan seorang nenek tua.
Absurditas dalam kehidupan dapat dijumpai dalam cerpen “Luka” dan “Peran-Peran Semu”. Dalam cerpen “Luka”, seorang tokoh bernama Asnawi begitu yakin bahwa dirinya terluka hanya karena seseorang memberi tahu bahwa dirinya terluka, padahal sesungguhnya dia merasa tidak terluka. Hal ini mengingatkan saya pada cerpen “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” karya Kuntowijoyo yang motif penggerak ceritanya ialah bau yang entah sesungguhnya ada atau tidak, tapi mengarah pada Kromo Busuk. Saya jadi berpikir, jangan-jangan dalam hidup ini ada sesuatu yang terlihat nyata, tapi sesungguhnya tidak ada atau diada-adakan.
Dalam cerpen “Peran-Peran Semu”, ada seorang tokoh bernama Bawul yang harus naik panggung karena pemeran yang seharus tampil tiba-tiba sakit. Perannya kali ini tidak bisa menyelamatkan kondisi panggung yang kosong, justru menambah masalah karena penonton mengamuk. Lantas saya berpikir jangan-jangan dalam hidup ini memang ada orang yang kehadiran tidak memberikan kontribusi apa-apa, atau parahnya justru menambah masalah. Mungkinkah saya juga termasuk di dalamnya?
Aspek kebahasaan yang ada dalam cerpen-cerpen ini cukup menarik bagi saya. Di antara beberapa penulis laki-laki yang tulisannya pernah saya baca, Jujur Prananto termasuk dalam kategori amat santun dalam menggunakan bahasa tanpa mengurangi luapan emosi dalam karyanya. Kalimat-kalimatnya pun cenderung sederhana, lugas, tidak berbelit-belit. Sederhana, tapi tetap mengena, mendorong pembaca untuk melakukan perenungan yang mendalam atas nilai-nilai yang ada dalam karyanya, dan puncaknya menertawakannya (sambil menangis mungkin).
Saya rasa kumpulan cerpen ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan profesi dan usia karena masalah yang diangkat tidak hanya menyoroti satu golongan tertentu. Sederhananya, masalah itu bisa terjadi pada siapa saja. Kecuali untuk satu cerpen yang berjudul “Dua Pemerkosa”, saya rasa cukup riskan untuk anak dan remaja karena di dalamnya terdapat unsur kekerasan yang membuat saya berpikir, “Tumben Pak Jujur Prananto menulis seperti ini.” Terkadang untuk bisa belajar tentang kehidupan, kita tidak harus bergelut dengan kisah-kisah hebat, dari cerita-cerita sederhana seperti dalam kumpulan cerpen ini pun bisa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan