[Novel] Amba: Kutukan Mahabharata dan Tragedi 1965 dalam Cerita Cinta
Judul: Amba
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: Juni 2015 (cetakan kelima edisi baru)
ISBN: 978-979-22-9984-7
Saya begitu ingin membaca novel Amba sejak penulisnya, Laksmi Pamuntjak mendapatkan penghargaan The LiBeraturpreis, Jerman yang diberikan dalam acara
Frankfrut Book Fair. Novel ini telah diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan
judul The Question of Red dan dalam bahasa
Jerman dengan judul Alle Farben Rot. Begitu
membaca sinopsisnya dan ternyata mengangkat tema yang cukup besar dan sensitif dalam
sejarah Indonesia, yaitu sekitar peristiwa 30 September 1965, saya semakin
penasaran. Sampai akhirnya seorang teman menghadihkan novel ini kepada saya
(atas permintaan saya juga sih, sebagai barteran karena saya make up dia di acara sumpah dokter
hehehehehe). Terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Dzerlina Syanaiscara Rahari yang sudah bersedia saya “palak” 😃.
Amba ingin melawan mitos atas namanya. Dia bukan Amba dalam
pewayangan, perempuan yang dinistakan karena mengalami penolakan dari dua orang
lelaki. Dia adalah anak perempuan seorang guru di Kadipura, kota kecil di Jawa
Tengah. Dia dibesarkan dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua. Amba sadar ia
tidak terlahir cantik seperti adik kembarnya, Ambika dan Ambalika yang bisa membuat
semua orang terpesona dan berharap kecantikan mereka bisa membebaskan mereka
dari segala macam kesulitan hidup. Amba harus menggunakan keberanian dan kecerdasannya
serta bekerja keras agar orang-orang bisa menghargai dirinya.
Dalam sebuah kunjungan ke Universitas Gadjah Mada tahun 1962,
orangtua Amba bertemu dengan laki-laki muda bernama Salwani Munir. Dia adalah
seorang dosen muda di Fakultas Pendidikan, Universitas Gadjah Mada. Awalnya
Amba tak begitu antusias ketika orangtuanya ingin menjodohkannya dengan Salwa.
Baru setelah bertemu dengan Salwa, dia tak sanggup menolak laki-laki yang
santun, lurus hati, menghormati orangtua Amba, dan menyayangi keluarganya itu.
Amba pun melanjutkan kuliahnya di Jurusan Sastra Inggris,
Universitas Gadjah Mada. Namun, tak lama kemudian Salwa pindah ke Surabaya
untuk pekerjaan di pusat pelatihan guru di Universitas Airlangga selama satu
tahun. Dalam hubungan jarak jauh itulah Amba mulai merasakan hambarnya hubungan
cinta mereka. Salwa memang lelaki yang baik, sangat menghormatinya sebagai
perempuan, mendukung cita-citanya, tapi Amba merasa Salwa menjaga jarak
dengannya, seolah tak menginginkannya. Amba butuh cinta yang menggebu-gebu. Surat-surat
dari Salwa pun tak lagi datang sesering dulu. Dalam kondisi seperti itu, Amba
memutuskan untuk mengambil pekerjaan sebagai penerjemah di sebuah rumah sakit
di Kediri, padahal kondisi politik tahun 1965 itu sedang tidak aman.
Pekerjaan menerjemahkan di Rumah Sakit Sono Walujo
mempertemukan Amba dengan Dokter Bhisma Rashad, dokter lulusan Leipzig, Jerman
Timur. Bhisma adalah seorang dokter spesialis bedah, tapi sesungguhnya ia lebih
ingin menjadi dokter anestesi. Dengan segala ilmu dan pengalamannya di Belanda
dan Jerman Timur, Bhisma justru lebih memilih bekerja di sebuah rumah sakit di
kota kecil agar lebih dekat dengan rakyat. Tak dimungkiri, Bhisma memang punya
banyak teman dari aliran “kiri” dan banyak bersinggungan dengan ideologi itu
meski ia tak masuk dalam organisasi politik mana pun. “Saya tahu sedikit-banyak
tentang tanggung jawab, tapi jangan tanyai saya soal politik,” kata Bhisma. Tanggung
jawabnya yang pertama ialah sebagai dokter, dia harus merawat siapa pun yang
sakit. Tanggung jawab yang kedua ialah membaktikan diri untuk bangsanya.
Bhisma dan Amba pun jatuh cinta. Fisiknya, pandangan
hidupnya, dan pastinya cinta yang menggelora yang membuat Amba tak mungkin
menolak untuk jatuh cinta padanya. Hubungan terlarang itu pun terjadi. Sampai
akhirnya Amba sadar bahwa Bhisma mencintainya, begitu pun ia kepada Bhisma.
Namun, ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Bhisma tak bisa dimilikinya:
Bhisma dibutuhkan oleh semua. Amba saat itu merasa Bhisma tak mau
memperjuangkannya dan lebih mementingkan teman-teman seperjuangannya. Kembali kepada Salwa pun tidak
mungkin karena Amba sudah menodai cinta mereka: Bhisma sudah menitipkan
kehidupan dalam rahimnya.
Amba tersadar, kutukan Mahabharata atas namanya itu memang
nyata. Dia tak ubahnya Amba dalam pewayangan: seorang perempuan yang
dinistakan, tak mungkin kembali kepada Salwa, tunangannya, dan dicampakkan oleh
Bhisma yang menculiknya. Bhisma dan Amba terpisah dalam peristiwa sekitar G30S
di Yogyakarta. Lebih dari 40 tahun kemudian (tahun 2006) Amba datang ke Pulau Buru untuk
mencari tahu apa yang membuat kekasihnya itu tak pernah kembali.
Suka atau tidak suka, peristiwa sekitar 30 September 1965
merupakan bagian kelam sejarah Indonesia. Peristiwa ini telah membawa banyak korban
nyawa maupun kebebasan yang menjadi hak asasi manusia, terlepas dari segala
bentuk keterlibatannya dalam peristiwa tersebut, bahkan ada pula yang mungkin
hanya dicurigai terlibat. Laksmi Pamuntjak membawa pembaca untuk melihat
rentetan sejarah itu lewat perspektif yang berbeda, yakni lewat karya sastra
dan bercerita tentang pengalaman hidup “orang-orang biasa” yang mungkin tak
tercatat dalam sejarah.
Dengan diksi yang kuat dan cara bercerita yang mengalir,
Laksmi Pamuntjak membungkus cerita cinta ini dengan latar belakang sejarah,
politik, budaya, dan sastra. Dengan apik Laksmi menggunakan alur bolak-balik
masa lalu ke masa kini dan surat sebagai penghubung cerita. Pewayangan yang
juga menjadi motif cerita dan penokohan Amba serta dialog-dialog Amba dengan
keluarganya menunjukkan bahwa Laksmi ingin mendobrak belenggu konstruksi sosial
yang sekian lama menempatkan perempuan dalam posisi tersubordinasi. Tak menutup kemungkinan penokohan karakter lain seperti Ambika, Ambalika, Samuel, Zulfikar, dan Srikandhi juga menarik. Banyaknya
kutipan dari kitab-kitab tua seperti Centhini
dan Bhisma Parva dan dialog-dialog
tentang memaknai kehidupan dalam cara pandang orang Jawa juga menunjukkan bahwa
Laksmi ingin mengangkat kekayaan budaya dan kearifan lokal di Indonesia. Sayangnya,
hal ini jadi poin yang mungkin membosankan atau mungkin tidak menarik bagi
orang yang tidak tertarik pada budaya Jawa, sejarah, dan politik.
Kuatnya deskripsi peristiwa sejarah seperti peristiwa
penyerbuan Universitas Res Publica dan kehidupan di Sanggar Bumi Tarung (saya
pernah baca tesis teman saya tentang Sanggar Bumi Tarung, jadi punya sedikit
gambaran) yang menjadi latar cerita menunjukkan bahwa penulis tidak main-main
dalam menulis. Pastinya perlu riset mendalam yang didukung sumber-sumber
sejarah dan dipadukan dengan imajinasi kuat sang penulis. Terbukti dengan adanya sejumlah catatan di halaman-halaman akhir. Deskripsi salah satu
tempat yang menjadi latar cerita, yaitu Yogyakarta seolah membawa saya untuk
melihat “Djogja tempo doeloe”. Beberapa tempatnya saya kenal dengan baik,
seperti Jalan Terban, Jalan Trikora, dan pastinya Fakultas Sastra, Universitas
Gadjah Mada yang juga almamater saya. Terlepas dari tebalnya halaman novel,
saya tetap merekomendasikan novel ini untuk dibaca karena memberikan wacana alternatif
untuk mempelajari salah satu bagian sejarah bangsa yang sampai saat ini masih
menjadi perdebatan.
Beberapa kutipan favorit:
Politik bukan tentang apa yang benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar. (hlm. 111)
Rahasia itu
seperti kain lurik. Kita pakai di badan kita seperti tidak apa-apa di permukaan,
tapi hangatnya menyelimuti tubuh. Itu akan membuat kita tidak tergantung kepada
siapa pun. Jangan mudah takut. (hlm.
132)
Perjalanan:
melatih diri untuk tetap menjaga jarak seraya berbagi begitu banyak (hlm. 181)
Meskipun ia
bukan perempuan Jawa tenan dalam bayangan ibunya, ia terlatih untuk tak
mengumbar perasaan. Nduk, kata Ibu, kita ndak dilahirkan dengan bakat menangis
di panggung orang ramai. (hlm. 244)
Harga diri
sering dekat dengan tinggi hati.
(hlm. 246)
Komentar
Posting Komentar