Piutang Tak Tertagih


“Bagus ya, Mas?” kataku sambil menunjukkan foto sebuah kebaya di akun Instagram salah satu perancang busana terkenal di negeri ini. Mas Guntur melirikku sesaat, lalu tersenyum dan mengangguk, seolah berkata setuju. Perhatiannya kembali lagi ke buku catatan yang ditaruhnya di atas meja di warung makan langganan kami itu. Catatan itu berisi rancangan anggaran pesta pernikahan kami.
Pesta. Mungkin lebih tepatnya syukuran karena rencananya yang kami undang hanya kerabat dekat, teman-teman dekat, dan beberapa rekan kerja. Tak bisa kumungkiri bahwa sebenarnya aku juga memimpikan pernikahan seperti teman-temanku. Diadakan di tempat yang indah dan mewah, menggunakan jasa wedding organizer sehingga tak perlu lari sana-sini mengatur semuanya, dekorasinya cantik, setiap detailnya diabadikan dengan apik oleh fotografer andal dan mengundang decak kagum ketika diunggah ke akun media sosial.
“Yang penting sah dan berkah,” kata kami kepada orangtua masing-masing. Adalah hal yang jauh dari angan-angan bagi pegawai honorer macam kami untuk mengadakan pesta pernikahan semewah itu. Mau tunggu sampai kapan? Kami pun bersepakat untuk mengadakan acara yang sederhana. Hanya untuk satu hal aku ingin yang terbaik: kebaya pengantin.
“Mi…sepertinya anggarannya sedikit meleset,” kata Mas Guntur. Aku pun beranjak dari kegiatanku melihat-lihat beranda media sosial. “Gimana, Mas?” tanyaku. “Ini, ada kekurangan sekitar tiga juta dari uang kita,” kata Mas Guntur sambil menyodorkan catatan itu. Kuperhatikan saksama pos-pos pengeluaran itu. Katering, dekorasi, undangan, hiburan, make up, baju, dan pritilan-pritilan lainnya. Mana lagi yang bisa dipangkas? Kami sudah menetapkan biaya hampir seefisien mungkin.
“Masa iya kita pinjam dari orangtua? Kan kita dari awal sudah berkeras membiayai sendiri pernikahan kita. Jual motor? Ya tidak mungkin. Atau mungkin….”
“Mas,” potongku. Aku terdiam sesaat, ragu-ragu. “Ehm…sebenarnya aku punya uang di tempat orang.”
“Oh, ya? Berapa?”
“Lima juta, Mas.”
“Wah, lumayan banyak itu. Di tempat siapa?”
“Di tempat Budhe Ranti.”
“Sudah lama pinjamnya?”
“Sudah lama, Mas. Jadi pinjamnya tidak langsung. Beberapa kali dan terkumpul semuanya lima juta.”
“Ya sudah, tagih saja. Ini waktunya yang pas. Pas kita butuh.”
“Iya, Mas,” kataku.
***
Sungguh aku tidak berpikir apa akibatnya ketika aku mengiyakan permintaan Mas Guntur untuk menagih piutangku kepada Budhe Ranti. Di kepalaku tiba-tiba muncul berbagai kecemasan. Bagaimana caranya menagihnya kepada Budhe Ranti? Kalau Budhe Ranti sedang punya uang, tentu tak masalah. Kalau Budhe Ranti sedang tidak punya, bukankah itu justru menambah beban pikirannya? Anaknya yang bungsu, enam tahun di bawahku, masih kuliah. Kuliahnya negeri, tapi tetap tak murah biayanya. Pakdhe Tomo, kakak ibuku yang berjualan sayuran di pasar juga tak pasti penghasilannya. Belum lagi aku dengar-dengar bahwa Mbak Sari, sepupuku itu masih sesekali meminta bantuan keuangan karena suaminya malas-malasan bekerja.
Bagaimana kalau saat itu Budhe Ranti sedang pusing? Bagaimana kalau nanti Budhe Ranti malah marah-marah? Bagaimana kalau Budhe Ranti lupa utang-utangnya? Bagaimana kalau nanti hubungan kekeluargaan kami jadi merenggang? Bagaimana kalau nanti….
Dering ponsel itu menghentikan lamunanku. “Yang punya utang siapa, yang panik siapa,” gumamku sambil meraih ponsel di meja kamar kosku. Mas Guntur yang menelepon.
“Sudah ditagih?” tanyanya.
“Belum, Mas.”
“Kok belum?”
“Belum sempat telepon,” kataku mengelak.
“Kita sudah harus mulai bayar DP lho. Belum ke penjahit juga memastikan kebayamu jadi dibuat seperti apa.”
“Iya, Mas. Besok aku kabari lagi.”
***
“Sudah ditagih?” tanya Mas Guntur.
Aku menggeleng sambil terus mengunyah nasi dan ayam geprek.
“Mau sampai kapan?”
“Aku nggak enak, Mas. Takutnya Budhe Ranti lagi nggak ada uang.”
“Lho ya harus ditanya.”
“Kalau Budhe Ranti punya uang lebih pasti sudah dibayar dari dulu-dulu, Mas.”
“Kalau kamunya nggak tanya, ya Budhe Ranti kira kamu belum butuh. Bagaimanapun itu hakmu dan Budhe Ranti berkewajiban membayar.”
“Aku kasihan, Mas. Budhe Ranti kan anaknya masih ada yang kuliah. Butuh biaya besar.”
“Lha, itu bukan tanggung jawabmu,” kata Mas Guntur dengan nada meninggi. “Sudah, begini saja. Sabtu besok kuantar kamu pulang ke Klaten. Nanti sekalian aku temani ketemu Budhe Ranti. Biar aku yang ngomong.”
Aku memegang tangan Mas Guntur. “Jangan ya, Mas,” rengekku. “Urusan utang ini kan sama aku. Masa bawa-bawa orang lain?”
“Lho, jadi aku ini orang lain? Sebentar lagi kan jadi suamimu.”
“Tapi kan sekarang masih calon,” kataku sambil tersenyum jahil dan mencubit kecil lengannya. Tak ada yang bisa Mas Guntur lakukan kalau aku sudah berbuat seperti ini selain berkata, “Sakkarepmu lah!”
***
Sabtu ini aku pulang ke rumah orangtuaku di Klaten. Sejak kuliah sampai kerja di Jogja, aku rutin pulang tiga minggu sekali. Bisa lebih sering bila ada keperluan seperti persiapan pernikahanku dua bulan yang akan datang. Kepulanganku kali ini bertujuan untuk melaporkan perkembangan persiapan itu, juga untuk menemui Budhe Ranti.
“Wah, ada calon manten datang,” sambut Budhe Ranti.
“Ah, Budhe bisa saja,” kataku malu-malu. Beginilah hidup di desa. Pernikahan masih lama, berita sudah menyebar ke mana-mana. “Anu, Budhe…. Begini….”
Pyaaaaar! Suara piring pecah itu membuyarkan kata-kata yang sudah kupersiapkan dari rumah. “Nitaaaaa! Sudah Ibu bilang hati-hati kalau bawa piring.” Suara itu disambut tangisan meraung-raung bocah usia sekitar empat tahun dari arah dapur.
Tiba-tiba Budhe Ranti berkata dengan sedikit lirih. “Sari sudah seminggu ini di sini. Lagi ribut sama suaminya. Kumat lagi kebiasaannya minum-minum. Moga-moga suaminya sembuh dan Sari nggak jadi minta cerai.”
Aku menelan ludah. Runtuh sudah semua semangat yang kubangun. Tak mungkin aku menahan rasa iba. Tak mungkin aku menagih piutangku dalam kondisi seperti ini. Entah apa yang akan kukatakan pada Mas Guntur nanti. Ah, dia harusnya ada di sini untuk melihat betapa terjepitnya aku dalam kondisi dilematis.
“Eh, tadi kamu mau ngomong apa?”
“Ehm…anu…Budhe. Mau minta tolong bantu-bantu masak untuk acara kumbakarnan (rapat panitia) minggu depan.”
“Oh, iya, iya. Pasti bisa.”
***
“Sudah ditagih belum?” tanya Mas Guntur untuk entah yang ke berapa kalinya.
Aku menggeleng.
“Apa susahnya sih, Mi?”
“Aku nggak tega, Mas.”
“Haduh, Mi. Kalau semua orang sepertimu, alangkah enaknya mencari pinjaman. Mana perlu orang takut pada debt collector? Mana ada piutang yang tertagih?”
Mas nggak ngerti, batinku. Aku hanya menunduk, tak berani menatap wajah Mas Guntur.
“Itu jarinya kenapa? Kok dipasang plester banyak banget?”
“Ketusuk waktu pasang payet di kebaya.”
“Kebaya? Kebaya yang mana?”
“Gini, Mas. Aku sudah menentukan solusi untuk memangkas biaya pernikahan kita. Aku pakai kebaya bekas ibuku dulu. Biar terlihat mewah, aku pasangi payet.”
“Apa-apaan ini? Bahkan untuk keputusan sepenting ini kamu nggak bilang ke aku. Dulu siapa yang ngotot mau kebaya yang bagus sampai-sampai ngajak aku muter cari penjahit, muterin toko kain sepanjang Jalan Urip Sumoharjo? Lha kok tiba-tiba berubah pikiran?”
Iya, Mas. Kamu benar, batinku.
Mas Guntur mengeluarkan segepok undangan dari ranselnya, lalu menyerahkannya kepadaku. “Sudah aku pilih. Yang kira-kira bisa aku antar sudah aku ambil,” katanya sambal memalingkan muka.
“Malam Minggu besok ada acara kumbakarnan di rumah. Mas anterin aku pulang ke Klaten kan?”
Tak ada jawaban dari mulut Mas Guntur. Kuterjemahkan itu sebagai kata tidak. Dia memang berhak marah dan aku layak mendapatkannya. Seketika dia menjauh dari kosku, menghilang di ujung jalan bersama sepeda motornya.
***
Hari bahagiaku bersama Mas Guntur pun tiba. Pesta pernikahan yang kami adakan di halaman rumah itu memang sederhana, tapi cukup berkesan bagi kami. Banyak kerabat dan sahabat yang datang memberikan ucapan selamat. Beberapa saudara yang bertahun-tahun tak berjumpa pun bisa berkumpul di acara kami. Begitu pun teman-teman lama Bapak yang menjadikan acara kami sebagai ajang reuni.
“Wah, selamat ya, Rahmi. Sekarang sudah resmi jadi Nyonya Guntur Prasetyo. Semoga selalu bahagia sampai kakek-nenek. Kamu cantik, persis seperti ibumu dulu. Ndak salah kamu pakai baju ibumu, aura cantiknya menurun ke kamu. Semoga bisa senantiasa rukun seperti bapak-ibumu,” kata Budhe Ranti saat menyalami kami berdua. “Terima kasih, Budhe,” kataku sambil membalas pelukan dan ciumannya.
“Lihat itu! Utang banyak, tapi masih sanggup berpenampilan mewah. Baju masih beraroma toko, perhiasan di mana-mana. Dia pasti lupa utang-utangnya,” kata Mas Guntur kesal.
“Mungkin itu imitasi, Mas,” kataku menenangkan Mas Guntur. Kami tak sempat berdebat karena tak sampai lima detik kemudian sudah ada tamu lain yang menyalami kami dan mengajak berfoto.
***
Setelah menikah, aku dan Mas Guntur sepakat untuk mengontrak rumah di pinggiran Jogja sambil mengumpulkan uang untuk mengambil KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Rumah itu tak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Cocok untuk pasangan muda yang belum punya terlalu banyak perabotan seperti kami. Jaraknya dari kantor pun tak terlampau makan waktu.
Ponselku berdering ketika aku dan Mas Guntur sedang bersih-bersih ruang tamu. “Siapa?” tanya Mas Guntur. Kulihat layar ponsel sesaat, lalu berganti melihat wajah Mas Guntur. “Budhe Ranti….” kataku lirih.
“Halo, Budhe….”
“Wah, pengantin baru ini pagi-pagi sudah bangun.”
“Ada apa, Budhe?”
“Anu…gini…Budhe mau minta tolong. Si bungsu mau bayar SPP semesteran. Kalau boleh, Budhe mau pinjem. Nggak banyak kok. Satu juta aja.”
“Ehm…nanti Rahmi bilang ke Mas Guntur dulu ya, Budhe.”
“Lho, masa harus bilang ke Guntur dulu? Kan kamu punya gaji sendiri.”
“Tapi kan sekarang kami sudah suami-istri. Jadi, ya, keuangan itu urusan berdua.”
“Kenapa Budhe Ranti?” tanya Mas Guntur.
Kujauhkan ponselku. “Mau pinjam uang buat bayar SPP.”
Mas Guntur hanya diam, lalu meraih keranjang sampah dan berjalan keluar rumah. Aku sudah mampu menerjemahkannya….
“Gimana, Rahmi?”
“Ehm…setengahnya saja ya, Budhe. Tapi Budhe janji ya, jangan cerita ke siapa pun, apalagi Mas Guntur.”
“Oh, siap. Makasih lho, Rahmi.”

Yogyakarta, 20 November 2017


Komentar

  1. Kok, kezel ya sama Mas Guntur. Nggak ngerti gimana dilemanya jadi orang nggak enakan. Nagih utang itu nggak semudah nagih naskah ke penulis kalau pas deadline. Wkwkwk Kezel juga sama Rahmi. Karena jadi teringat sama diri sendiri. Hiyaaa... I feel you, Rahmi. Nasib jadi orang nggak enakan dan akhirnya punya piutang yang tak terbayar. Hiks #curcol ��

    Idenya bagus, sih. Cuma rada bingung aja pas deskripsi tokoh-tokohnya. Aku baru paham kalau Mbak Sari itu anaknya bude Ranti juga waktu sampai bagian Rahmi ketemu Bude Ranti mau nagih utang trus nggak jadi. Pakde Tomo juga, cuma dibilang itu kakaknya ibunya si Rahmi. Apa hubungannya dengan bude Ranti? Emm... mungkin mending ditulis gini aja kali ya: "Pakde Tomo, suaminya, blablabla.", "Mbak Sari, anak sulungnya, blablabla." sekadar opini sebagai pembaca. ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaaa...terima kasih Mbak Tant.... Berarti besok-besok lagi kalau bikin deksripsi tokoh jangan ribet2

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair