“KAPAN KAWIN?”: Sebuah Pertanyaan yang Sesungguhnya Tidak Memerlukan Jawaban, melainkan Doa
Jelang
Lebaran 2015, mulai banyak teman-teman saya yang memasang display picture di Blackberry Messenger dengan meme yang bernada menolak pertanyaan “Kapan kawin?”. Ada yang
bernada frontal, ada yang lucu. Saya pun merasakan “keresahan” yang sama. Sebagai
orang yang sampai sekarang masih belum jelas siapa jodohnya, belum ada
tanda-tanda bahwa “si dia” sudah dekat,
alias masih...uhuk...single, pertanyaan basa-basi ini kadang-kadang terasa annoying. Selain pertanyaan “Kapan kawin?” dan “Kapan nyusul?”, ada
pertanyaan serupa yang kadang ingin membuat saya berteriak, “Errrrrr.” sambil
mencakar-cakar tanah.
Stop tanya "Kapan nikah?" :D |
Cari Pacar Sana!
Cari
pacar? Emang ada gitu yang buang? Hahahaha. Dalam sebuah percakapan dengan
salah satu sepupu saya, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba dia berkata, “Jadi
cewek itu harus matre. Kalau nggak matre lapar. Cari pacar, Mbak. Kalau punya
pacar kan ke mana-mana ada yang nganter, nggak usah panas-panasan naik angkot.
Pulang kerja udah ada yang jemput, nggak usah mikir makan malam juga soalnya
udah ada yang traktir. Kan uangnya utuh.” Saya jadi berpikir, sesederhana
inikah tujuan orang mencari pasangan? Kalau memang demikian halnya, bukankah hubungan
emosional antara laki-laki dan perempuan semacam itu tak ubahnya relasi
transaksional? Saya memberi cinta, status berpacaran, atau entah apa namanya,
sedangkan dia memberi materi. Entah mengapa saya merasa nilai saya sebagai
perempuan “jatuh” kalau mencari pasangan dengan motivasi seperti ini.
Cinta=materi? |
Bukan
berarti saya “men-judge” cewek-cewek
yang sering minta diantar-jemput pacarnya itu manja dan yang sering minta
dibelikan apa-apa itu matre lho ya. Bisa jadi “si mas pacar” dengan tulus
ikhlas melakukan semua itu sebagai tanda sayang. Kalian berhak menerima semua
itu sebagai konsekuensi komitmen kalian dalam menjalin hubungan emosional. Yang
saya permasalahkan hanya pemikiran “sempit” saudara sepupu yang membuat saya
tepuk jidat ini. Kalaupun iya dia akan mendapatkan segala bentuk perhatian dari
pacarnya, mbok ya niatnya di awal itu
diluruskan dulu, untuk saling mengenal sebagai bekal untuk menuju hubungan yang
lebih serius.
Makanya Punya Pacar Biar Nggak Pusing!
Salah satu teman saya pernah bercerita tentang rencana pernikahannya dan proses
yang dia lewati sampai akhirnya bertemu dengan calon suaminya dan serius menuju
jenjang pernikahan. Di akhir obrolan, dia berkata, “Makanya cari pacar biar
nggak pusing! Dulu aku sempet pusing sebelum ketemu masku. Sekarang udah lega.”
Saya hanya tertawa meringis. Eh, aku nggak pusing lho, Mbak! Kalaupun pusing,
nanti aku pergi ke apotek, puskesmas, atau dokter terdekat. Hahahaha. Okelah
dia bisa berkata seperti itu karena posisinya sudah “aman”, bisa asal bicara
tanpa beban. Piye jal perasaanmu nek kowe
dadi aku??? (Bagaimana coba perasaanmu kalau kamu jadi aku???).
Suatu
hari, saya terlibat dalam sebuah obrolan seru bertema jodoh dengan salah
seorang sahabat saya, Mbak Arum, ibu satu anak. Suaminya berprofesi sebagai
dokter spesialis obstetri dan ginekologi, juga dosen di almamater saya. “Jangan
dikira orang pacaran itu bebas masalah. Aku pacaran bertahun-tahun, disuruh
nunggu sampai dia sukses, eh giliran sukses malah ditinggal selingkuh. Nggak
dapat apa-apa, dapat sakit hati iya. Sampai akhirnya aku pasrah. Aku ikhtiar
puasa Daud sampai akhirnya deket sama calon suamiku. Awalnya cuma
ngobrol-ngobrol biasa, eh tahu-tahu dia lamar aku. Yakinlah, jodoh itu akan
datang dengan cara yang tidak terduga, bahkan dengan orang yang juga tidak
terduga. Jangan kamu pikir jalan kami mulus-mulus aja ya. Nikah sama orang yang
lebih dewasa itu bukan jaminan suami bakal ‘ngemong’.
Nyatanya suamiku empat kali lebih antik dari aku. Hahahaha.” Saya tersenyum
membaca percakapan kami lewat Blackberry Messenger. Kisah cinta yang lucu-lucu
manis bikin geli, pikir saya.
Menghentikan "kata orang" itu pekerjaan mustahil :D |
Sia-sia
juga rasanya kalau seseorang mencari pasangan hanya dengan harapan terlepas
dari “kata orang”. “Wah, nggak ada habisnya kalau dengerin kata orang. Aku yang
udah nikah juga nggak lepas dari omongan orang. Yang dibilang jangan nunda
punya anak, jadinya malah susah punya anak. Coba ke dokter ini lah, ke
pengobatan alternatif ini lah. Lah, dikiranya punya anak itu kayak belanja.
Datang ke toko, milih, bayar, bawa pulang. Kan itu kuasa Gusti Allah,” kata
Mbak Wian, seorang teman. Memang benar, apa pun yang kita lakukan, entah baik
entah buruk, tak akan pernah lepas dari omongan orang.
Makanya Jangan Pilih-Pilih!
Wooogh, jodoh itu ya harus milih!
Saya dan “mas jodoh” itu akan hidup bersama tidak hanya untuk sehari-dua hari
lho, tapi selamanya, seumur hidup, hingga maut memisahkan. Dialah yang akan
ikut begadang kalau anak saya rewel, ikut pusing kalau harga cabai dan beras merangkak
naik, ikut memikirkan biaya sekolah dan kesehatan yang kian mahal. Kalau saya
sedih, dialah yang akan menghibur saya. Kalau dia punya masalah, saya akan
marah-marah. Hahahaha. Tapi marah-marahnya sambil mikir cara membantu dia.
Pokoknya yang dia rasakan juga akan saya rasakan, seperti potongan puisi “Satu”
karya Sutardji Calzoum Bachri:
yang tertusuk padamu
berdarah padaku
Saya suka
menganalogikan masalah pilih-pilih ini dengan berbelanja. Untuk urusan beli
baju dan sepatu saja, butuh waktu berapa lama coba untuk pilih warna, model,
dan harga yang pas, apalagi kalau ukuran kakinya “istimewa” seperti saya? Nah,
untuk masalah baju dan sepatu saja perlu proses panjang untuk memilih, apalagi
masalah jodoh. Jodoh itu menyangkut hal besar dalam hidup lho. Dalam hal
memilih ini, tentunya ada kriteria tertentu yang dipertimbangkan. Mungkin
kriteria seseorang terhadap calon pasangannya tidak muluk-muluk, tetapi
bukankah ada orangtua yang juga punya kriteria tertentu untuk calon menantunya?
Sepatu aja milih, masa jodoh mau asal? :D |
Pernah
dalam suatu obrolan sahabat saya bertanya, “Kriteriamu kayak apa sih?” Saya
bingung menjawabnya. Sesungguhnya simpel saja, tetapi tiba-tiba terngiang daftar
panjang kriteria calon mantu bapak dan ibu saya. “Harus seiman, harus baik
hatinya, harus sayang keluarga.” Okelah, standar kalau ini. “Nggak harus yang
gajinya tinggi, yang penting ada penghasilan dan serius bekerja. Pendidikannya
harus baik, harus yang setara.” Okelah, mereka ingin saya aman secara finansial
dan intelektual, bisa mengimbangi “pemikiran” saya yang kadang-kadang agak out of the box, hihihihi. Tapi....
“Jangan sama yang anak orang kaya banget, susah kalau punya mertua orang kaya.
Jangan sama yang deket-deket banget. Kalau terlalu deket nanti orangtua sama
mertua cepet tahu kalau ada masalah. Tapi jangan yang jauh-jauh banget, yang
masih terjangkau. Nanti kalau Bapak sama Ibu mau nengokin cucu susah.” Hedeeew,
mulai susah kalau yang ini. Visioner sekali mereka sampai-sampai sudah
memikirkan cucu mereka yang lahir saja belum.
Dalam
sebuah obrolan jelang tidur lewat telepon, saya pernah bertanya kepada ibu
saya, “Bu, sebagai perempuan, kita tuh punya hak buat menentukan pilihan soal
jodoh nggak sih? Kita boleh milih laki-laki yang kita suka nggak sih?” “Ya
boleh lah,” kata Ibu. “Jadi, kalau ada laki-laki yang bilang suka ke kita, tapi
kitanya nggak suka, boleh nolak kan? Nggak harus diterima kan?” tanya saya
lagi. “Ya boleh lah. Kalau nggak suka kenapa harus dipaksa? Boleh milih, tapi
nggak boleh milih-milih, banding-bandingin.” Eh, Ibu ini gimana sih? Bagaimana
mungkin saya pilih-pilih kalau yang dipilih saja belum ada? Hahahaha. Ya, tapi
biarpun zaman sudah berubah, perempuan sudah lebih maju, saya sadar, di
lingkungan kampung halaman saya, hak memilih jodoh untuk laki-laki dan perempuan
itu tetap beda. Hak pilih laki-laki lebih bersifat aktif, sedangkan perempuan
cenderung pasif, hanya bisa berkata ya atau tidak ketika dipilih.
Usaha Dong!
Entah apa yang awalnya saya obrolkan bersama teman saya, tiba-tiba dia berkata, “Makanya usaha dong!
Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi kalau kamu nggak usaha ya mana bisa dapet!”
Andai dia bukan teman saya dan saya sudah tidak mampu menahan amarah, mungkin
saya akan misuh dengan kasarnya, “LAMBEMUUUUU!” (Bibirmuuuuu!). Okelah,
dia bisa berkata seperti itu karena dialah yang diperjuangkan, bukan pihak yang
harus berjuang. Dia tidak perlu susah-susah mengejar cintanya karena “si mas
pacar” yang berusaha meyakinkannya untuk menjalani komitmen.
Lagi pula,
kalau saya usaha, apa harus bilang-bilang, koar-koar di media sosial supaya
semua orang tahu? “Eh, aku lagi deket sama mas itu lho. Aku mau dikenalin sama
temennya itu lho.” Kalau berhasil, paling dibilang, “Nah, gitu dong! Kalau
usaha nyatanya bisa.” Kalau gagal? Saya tidak bisa membayangkan betapa banyak
cacian dan hujatan. Nah kan, nggak cerita salah, cerita tambah salah. Adek
mesti gimana lagi, Bang? (T_T) Pala Adek pusing, Bang. Butuh aspirin.
Ngomong-ngomong
soal usaha, dikiranya saya nggak pernah usaha apa ya? Wajarlah cewek ABG
SMP-SMA mengalami masa-masa naksir-naksir kakak kelas. Aih, masa-masa norak itu!
Hihihihi. Saya juga heran, dengan IQ pas-pasan, otak yang mendadak hang kalau pelajaran Kimia, tiba-tiba
saya berubah menjadi begitu pintar menyusun strategi untuk bertemu dengan “mas
gebetan” dan jaga image menjadi gadis
manis dan cerdas di depannya. Yaaa...meskipun usaha itu sering gagal. Perkara
pada akhirnya dia memilih dan menikahi perempuan lain, itu masalah lain. Toh
saya sudah berusaha sekuat tenaga memperjuangkannya. Semoga kamu bahagia bersama istri dan anakmu ya, Mas. :-*
Kuatkan dirimu ketika teringat mantan atau gebetan yang tidak kunjung paham, wahai para pejuang! :D |
Janur kuning belum melengkung=masih milik bersama :D |
Dalam
bahasa Indonesia, ada pepatah yang cukup populer perkara usaha mencari jodoh,
yaitu “Selama janur kuning belum melengkung, artinya masih milik bersama.”
Artinya, kalau belum menjadi milik orang lain, masih boleh diperjuangkan. “Lek wes melengkung wae iso dimbrukne. Janure
loh yo, ojo kursine manten. Dikroyok wong sak RT ngko (Kalau sudah
melengkung pun bisa dirobohkan. Janurnya lho ya, jangan kursinya pengantin.
Dikeroyok orang se-RT nanti),” kata Mbak Wian, teman saya, dalam dialek Jawa
Timur-annya yang khas. Hedew, analogi yang ekstrem. Hahahaha.
Nasihat dari Bapak Dosen :D |
Dalam
bentuk usaha yang dianggap paling pasif, yaitu berserah, pasrah, seseorang
masih bisa dianggap berusaha. Sesungguhnya, dalam berserah dan pasrah itu
seseorang sedang meyakinkan Tuhan bahwa dia sudah layak untuk jodoh yang Tuhan
gariskan untuknya. Tentunya doa ini harus diikuti usaha memantaskan diri kalau
kata Om Mario Teguh. Mungkin yang perempuan bisa belajar masak supaya bisa
menjamin keluarganya nanti bebas malnutrisi. Yang laki-laki bisa lebih giat
bekerja mengupayakan kemapanan ekonomi.
Semangat memantaskan diri yuk! :D |
Semoga Disegerakan Jodohnya Ya!
Saya pun usil
mengotak-atik kalimat “Kapan kawin?” ini. Dilihat dari modus kalimatnya,
tuturan “Kapan kawin?” termasuk dalam kalimat tanya, tetapi dilihat
kelangsungan makna tuturannya, tuturan ini termasuk tuturan tidak langsung (indirect speech act) karena sebenarnya
implikaturnya menyuruh. Jadi, kalau ada yang bertanya “Kapan kawin?”,
sesungguhnya penutur tidak membutuhkan jawaban pasti dari mitra tuturnya, misal
“Bulan depan”, “Tahun depan”, tetapi secara tidak langsung menyindir atau
bermaksud mengatakan “Cepat menikah!”.
Eh, tapi itu penafsiran saya sendiri lho. Hehehehe.
Nah,
karena kalimat tanya yang sebenarnya berimplikatur menyuruh inilah
kadang-kadang orang yang belum jelas arah nasibnya semacam saya ini merasa
tersindir. Menurut saya, sebenarnya ada cara lain untuk menyampaikan implikatur
“Cepat nikah!” itu, yakni dengan menyampaikan kalimat yang nilai rasanya lebih
netral supaya penutur dan mitra tuturnya sama-sama enak. Yuk kita coba mengubah
tuturan yang bermaksud menyuruh ini menjadi tuturan pengharapan.
a.
Semoga
disegerakan jodohnya ya.
b.
Semoga
cepat menyusul ya.
c.
Moga-moga
cepat ketemu jodohnya ya.
Coba
kalau penutur lebih memilih menggunakan tuturan ini, kemungkinan besar
tanggapannya yang diperolehnya lebih menyenangkan. Mungkin akan dijawab,
“Doakan ya.”, “Aamiin.”, “Makasih doanya.” Perlu juga rasanya hati-hati menjaga
lisan dengan tidak men-judge seseorang
tidak mau mengusahakan jodohnya. Kalau memang tidak bisa membantunya dalam
berusaha, bantulah dengan doa dan berilah semangat untuknya, bukan mematahkan
semangatnya.
Saya sadar,
sekuat-kuatnya saya, saya tetap butuh seseorang yang mendampingi dan melindungi.
Bohong kalau saya bilang dunia masih baik-baik saja setiap kali mendapat
undangan atau kabar rencana pernikahan teman-teman karena itu berarti
berkuranglah teman yang bisa saya ajak “gila-gilaan”. Akan tetapi, selain
alasan melankolis ini, ada satu hal penting yang langsung terpikirkan setiap
kali mendapat undangan pernikahan, “Belum gajian, udah dapat undangan lagi.
Mesti beli kado lagi. Ealaaaaah. Lelakon....
Tak trima kanthi ikhlas lan pasrah.”
(Ealaaaaah. Nasib.... Kuterima dengan ikhlas dan pasrah) Hahahaha.
Koleksi undangan pernikahan :D |
Hikmah dapat undangan pernikahan: bisa eksperimen membungkus kado :D |
Saya tahu
bahwa tidak selayaknya saya mengecap negatif orang yang bertanya “Kapan kawin?”
kepada saya. Bisa jadi itu bentuk kekhawatiran mereka karena saya masih
sendiri, hanya caranya yang kurang berkenan di hati saya. Itu sebabnya saya
mulai mengendalikan diri untuk menyikapi pertanyaan itu dengan lebih sabar,
menganggapnya sekadar basa-basi, dan menanggapinya dengan jawaban santai, “Minta
doanya ya. Kalau punya adik, saudara, atau teman yang masih single boleh lho dikenalin.” Tentunya lebih
afdol kalau tulisan ini ditutup dengan bertanya kepada diri saya sendiri,
“KAPAN KAWIIIIIN?”. Jawabannya mudah dan cukup diplomatis, “Segera, secepatnya!
Kalau sudah ketemu jodohnya nggak akan nunda-nunda kok. Hambok teniiiiiiin!” Salam! :D
Bagis mb tulisannya dan menginspirasi..smg sy jg cpt disegerakan jodohnya..dr smua tulisan yg kubaca sy berkesan dngn ikhtiar puasa daudnya..sy blm bs..
BalasHapusMakasih ya udah baca. Aamiin. Semoga kita sama2 disegerakan jodohnya. :)
HapusSemoga disegerakan didekatkan dengan jodoh mbak Dewi.... Syemangatttt
BalasHapusAamiin. Makasih doanya Ayu :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus