Belajar Nrima lewat Fotografi


Perkenalan saya dengan fotografi dimulai sejak tahun 2018. Saat itu saya membeli sebuah kamera mirrorless kualitas low end merek Nikon. Uangnya dari mana? Dari hasil “menjual putus” naskah buku yang pertama saya tulis ditambah membobol ATM. ATM dari rekening sendiri tentunya. Belinya dengan menitip ke kawan saya yang sedang studi S-3 di Jepang.

Nikon 1 J5, si mungil nan powerful

Kalau hanya sekadar jeprat-jepret, itu sudah saya lakukan sejak punya ponsel dengan kamera. Soal kualitas foto ya begitulah, paling-paling cuma selfie dengan angle miring yang pernah ngehits di masanya. Belum tahu bahwa arah cahaya itu sangat berpengaruh terhadap hasil foto. Belum tahu bahwa objek-objek itu harus “ditata” sedemikian rupa agar tercipta komposisi yang bagus.

Setelah punya kamera, saya semakin tertarik belajar fotografi. Belajar dengan baca artikel dan buku serta melihat video tutorial adalah jalan ninja saya. Kemudian saya bergabung dengan komunitas fotografi yang memberikan banyak sekali insight dan kawan baru. Mulailah saya mengenal istilah-istilah teknis seperti segitiga exposure, angle, komposisi, lighting, color theory, styling, hingga berbagai genre fotografi.

Selain “hard skill”, fotografi juga mengajarkan nilai hidup kepada saya. Barangkali kita sudah sangat familier dengan istilah nrima (dibaca nrimo) yang jadi value orang Jawa. Setiap foto yang saya dapatkan membawa saya untuk menghayati penerimaan. Menerima apa? Ya…apa pun yang diberikan kehidupan….  

Nrima bahwa Kondisi Cuaca Tak Selalu Baik

Melihat foto pemandangan yang muncul di beranda media sosial tentu memunculkan decak kagum atas ciptaan-Nya. Senja yang kemerahan, langit yang biru, dan pagi yang cerah tentunya ingin kita abadikan lewat bidikan lensa kita. Namun, ketika kita datang ke sana, belum tentu cuacanya mendukung kita untuk mendapatkan pemandangan yang sama.

Barangkali saat kita ke sana, langit sedang mendung, gerimis, atau bahkan hujan deras. Niat hati mengabadikan langit yang biru, apa daya yang ada awan hitam. Ingin memotret cahaya matahari yang perlahan meredup, yang ada justru kegelapan.

Solusinya bagaimana? Terima saja. Cuaca itu kan sudah diatur oleh-Nya. Masa iya kita mau melawannya?

Just make it pretty! Di sini kreativitas kita diuji. Tak ada langit biru, kita bisa memotret langit dengan gulungan awan hitam yang terlihat kuat, menyeramkan, atau menimbulkan rasa was-was. Tak ada  senja yang manis, kita bisa memotret gerimis yang dramatis. Selalu ada cerita yang bisa kita bawa lewat lensa.

Memotretlah selama masih ada cahaya.

Nrima bahwa Gear Kita Terbatas

Kamera yang bagus apa sih? Menurut saya, tidak ada jawaban pasti untuk hal ini. Semua produk itu pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Kita aja yang manusia, yang ciptaan Tuhan tidak sempurna, apalagi barang pabrikan.

“The best camera is the one that’s with you.”

Ada kata mutiara yang cukup populer di kalangan fotografer, yakni “The best camera is the one that’s with you.” Saya memaknainya bahwa apa pun kamera yang kita miliki, yang tidak kalah penting ialah sejauh mana kita mengasah skill dan mengoptimalkan fitur-fitur yang ada dalam kamera kita. Mau kameranya Leica, kalau nggak bisa pakainya ya sia-sia. Eh, tapi kalau kameranya mahal pakai mode auto pun hasilnya sudah bagus sih hehehehe….

Terus, kalau uangnya belum cukup untuk membeli kamera bagaimana? Ya sudah, terima saja. Terima bahwa kita memang tidak mampu membelinya. Kalau memaksakan diri untuk membelinya, ya kita harus menerima konsekuensinya, misalnya menguras tabungan yang seharusnya untuk hal lebih urgen, mengambil kredit, dibayang-bayangi utang, atau diteror debt collector…. Ngeri lho, bestie…. Kecuali kita memang sudah bekerja atau punya bisnis fotografi, ya anggaplah itu modal usaha.

Modal HP pun kita tetap bisa berkarya. Sembari menabung, kita bisa terus mengasah skill. Berhubung saya lebih sering pakai HP, biasanya saya mengatasi berbagai kekurangannya dengan berbagai trik.

Menggunakan Cahaya yang Melimpah

Keterbatasan kamera HP yang paling terasa ialah sensornya yang kecil. Untuk mengakalinya, sebaiknya kita memanfaatkan cahaya yang melimpah. Kalau belum punya peralatan lighting seperti soft box, sebaiknya kita menggunakan cahaya matahari yang powerful.

Memilih Angle yang Aman

Keterbatasan lainnya yang ada di kamera HP ialah distorsi. Distorsi secara sederhana dipahami sebagai penyimpangan bentuk. Misalnya nih, garis yang sebenarnya lurus jadi terlihat bengkok, objek yang berbentuk bulat terlihat lebih menggembung atau penyok.

Mangkuknya jadi kelihatan penyok, bestie....

Solusinya bagaimana? Saya memilih angle yang aman. Saya sangat suka menggunakan angle sejajar pandangan mata normal dan flatlay (tegak lurus dari atas). Cara ini bisa mengurangi distorsi.

Flatlay adalah jalan ninjaku....

Menggunakan Komposisi yang Menarik

Untuk menghasilkan foto yang menarik di tengah keterbatasan, kita mesti menempatkan objek sedemikian rupa sehingga eye cathcing. Kita bisa memanfaatkan komposisi garis, bentuk, warna, dsb.

Gunakan komposisi yang menarik.

Menggunakan Aplikasi Editing

Aplikasi editing itu ibarat make up, fungsinya mempercantik foto. Meskipun demikian, aplikasi editing tidak bisa dipaksakan untuk membuat foto yang dasarnya jelek untuk jadi bagus ya.

Membuat Cerita Lewat Foto

Yang terakhir, jangan lupa “bercerita” lewat foto yang kamu hasilkan.

Bagong ternyata part time jadi Kang GoJek....

Nrima bahwa Cahaya Tak Selalu Mendukung

Bagi kita yang bergantung pada available light, cahaya itu tidak selalu sesuai dengan ekspektasi. Jika memfoto dengan cahaya matahari, bisa jadi kita terkendala cuaca yang tiba-tiba mendung atau terlalu terik. Cahaya terlalu terik bisa kita “akali” dengan pasang diffuser atau sekalian saja “tabrak” dengan konsep harsh light. Tapi kalau mendung? Kembali ke poin kedua, bahwa cuaca itu di luar kuasa kita….

Kendala perkara cahaya ini juga beberapa kali saya temui dalam stage photography. Lighting panggung adalah hal di luar kuasa saya. Kalau tata cahayanya bagus, ya saya bersyukur bisa mendapatkan banyak foto menarik. Kalau cahayanya minim, saya coba akali dengan pengaturan manual di kamera.

Kalau tetap tidak berhasil? Ya sudah, saya hanya bisa nrimo. Masa iya saya ke belakang panggung lalu ngomel ke bagian lighting. Daripada marah-marah, lebih baik saya duduk dan menikmati pementasan. Marah-marah tidak akan menghasilkan apa-apa selain menguras energi. Dengan fokus pada pementasan, setidaknya saya bisa mendapatkan hiburan, mengapresiasinya, dan mengabadikannya lewat ingatan.

Jangan lupa menikmati suasana....

Nrima bahwa Selera Orang Berbeda-beda

“Tidak ada foto yang jelek. Yang ada itu hanya foto yang tidak sesuai selera.”

Ada lagi satu quote yang cukup populer di komunitas fotografi yang saya ikuti. “Tidak ada foto yang jelek. Yang ada itu hanya foto yang tidak sesuai selera.” Bagus atau tidak itu relatif, tidak ada ukuran yang pasti.

Saya melihatnya dengan dua kacamata, yaitu sebagai kreator dan apresiator. Sebagai kreator, sebaiknya saya cukup legawa manakala ada yang mengkritik bahwa foto saya tidak bagus. Barangkali foto saya tidak sesuai dengan seleranya. Atau jangan-jangan memang skill saya memang belum memadai dan perlu terus diasah. Eh, tapi kalau klien revisi mulu rasanya juga ngeselin sih hehehe.

Dari kacamata apresiator, sebaiknya saya menghindari penilaian yang subjektif dan judgemental. Ketimbang “nyacat”, lebih bermanfaat kalau saya menyampaikan kritik yang membangun. Misalnya, sebaiknya pakai komposisi ini, lighting-nya begini, angle-nya begini, dsb.

Nrima bahwa Hasil Tak Selalu Sesuai Ekspektasi

Yang terakhir ialah mendapati kenyataan bahwa meskipun telah melakukan berbagai usaha hingga jempalitan, belum tentu hasilnya fotonya sesuai ekspektasi. Ini adalah titik untuk nrima bahwa saya adalah manusia yang lemah, punya berbagai keterbatasan. Ada entitas besar di luar kuasa saya yang Mahakuat.

Jika sudah menemui “kebuntuan”, yang bisa saya lakukan hanyalah mengambil jeda sejenak, memasrahkan diri kepada-Nya. Hasilnya apa? Hati jadi lebih tenang. Tidak menutup kemungkinan inspirasi justru muncul ketika hati kita dalam kondisi tenang.

Hikmah atau nilai-nilai dalam kehidupan dapat kita jumpai dalam berbagai kegiatan. Tak harus lewat ritual keagamaan, makna itu dapat pula kita peroleh lewat hal yang mungkin receh, sesederhana membersihkan cermin yang mungkin akan membawa kita pada renungan tentang membersihkan hati. Lewat fotografi, saya belajar tentang nrima dan pasrah. Barangkali kamu juga menemukan nilai hidup dalam kegiatan sehari-harimu?

Elap-elap kaca sambil merenungi hidup....

Klaten, 11 Juni 2022

Dewi Surani

Pekerja buku. Suka membaca karena dibayar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

Benjolan di Payudara (Bagian 3): Opname dan Eksisi FAM (Fibroadenoma Mammae)