PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 1): Belum Siap Ompong!
Setelah menjalani empat kali odontektomi dan eksisi FAM (fibroadenoma mammae) sampai harus
opname, saya pikir “petualangan” saya di dunia medis sudah selesai. Tentunya
tidak termasuk kunjungan rutin ke dokter gigi untuk membersihkan karang. Baru
setahun gigi geraham kanan bawah (gigi 47) saya ditambal, ternyata tambalannya
sudah copot. Duh, mesti ngurusin gigi lagi nih!
Rabu, 28 Oktober 2015: Tambalanku
Copot!
Sebelum tambalan gigi saya benar-benar copot, saya sudah
membatin, kok ada yang aneh ya dengan tambalannya. Lama-lama kok terkikis
sedikit demi sedikit. Padahal belum satu tahun. Satu waktu saya makan dan klethuk, ada biji nasi kering yang
tergigit tapi meleset. Eh, kok rasanya ada makanan yang nyempil di gigi. Saya
pun becermin. Aaaaa! Gigi saya sudah “terkubur” nasi dan sedikit berdarah.
Ketika makanan yang nyempil itu saya ambil, tambalan gigi pun ikut terangkat.
Huaaa! Copot! Ya Allah, apa aku kalau ngunyah terlalu ekstrem ya makanya
tambalannya copot? T_T
Karena kapok merasakan sakit gigi yang nananina berjuta
rasanya, membuat saya malas makan dan alhasil berat badan turun drastis, saya
cepat-cepat membuat janji dengan dokter gigi kenalan saya. “Dok, mau tambal
gigi. Tambalan saya belum setahun sudah copot,” kata saya. Karena terkendala
banyak hal, di antaranya cuaca buruk, masalah teknis di klinik, dan sulitnya
menyatukan jadwal antara drg. Henri yang sibuk dan saya yang suka cari-cari
kesibukan supaya terlihat benar-benar sibuk, seminggu kemudian saya baru bisa
datang ke tempat praktiknya.
Selasa, 3 November 2015 (Kunjungan 1):
Hati, Eh Gigi yang Patah!
Saya membuat janji dengan drg. Henri selepas Magrib. Ketika
sampai di tempat praktiknya yang berlokasi di Ruko Demangan Baru, Depok, Sleman,
drg. Henri belum datang, tetapi sudah ada pasien lain yang mengantre. Ya sudah,
saya menunggu drg. Henri menangani pasien yang akan dieksekusi giginya. Hampir
satu jam saya menunggu, perut sudah bunyi krucuk-krucuk
dari tadi. Tips penting: kalau mau ke dokter gigi makan dulu supaya kuat
mengantre, lagi pula setelah perawatan gigi biasanya tidak boleh langsung
makan.
Tempat praktiknya drg. Henri |
Akhirnya si pasien itu keluar. Tiba giliran saya diperiksa.
Yeyeyeye! Saya duduk di dental chair,
lalu kumur-kumur. drg. Henri memasukkan kaca mulut ke mulut saya. “Haaah, kok
kayak gini?” “Emang gimana, Dok?” tanya saya. “Kayaknya udah sampai saraf ini.”
“Dulu itu waktu periksa di dokter gigi deket rumah katanya ada polipnya. Mesti
potong gusi dulu soalnya gusinya masuk ke lubang gigi.” “Terus dibilang
polipnya gimana?” “Ya cuma mesti potong gusi. Terus saya pindah ke RSGM
periksanya. Tapi di RSGM nggak dipotong gusinya. Cuma di...di...diplothot.” Duh, diplothot itu bahasa Indonesianya apa ya? Ditekan-tekan sampai
keluar nanahnya? “Cuma didorong?” “Iya.” “Rontgen dulu aja ya buat mastiin ini
kena saraf atau nggak. Mesti potong gusi juga. Dulu patah ya?” “Iya.” Awal mula
gigi saya patah, sudah saya tuliskan sebelumnya.
Pemeriksaan pun selesai. “Gigi kamu tuh kayak gini lho,” kata
drg. Henri sambil menggambar ilustrasi gigi saya yang patah seperempatnya.
“Kalaupun belum kena saraf, ini udah tipis banget. Kalau ditambal biasa, nggak
yakin bisa nempel deh. Mesti dibuatin semacam inlay.” Duh, inlay! Apa
lagi ini? Semakin banyak istilah baru dalam bidang kedokteran gigi yang saya
dengar. “Mau Pramita apa Parahita?” tanya drg. Henri bersiap membuatkan saya
rujukan rontgen. “Pramita aja yang deket kos,” kata saya. “Eh, atau besok
rontgen di RSGM aja sekalian saya lihat hasilnya. Lebih murah juga di sana.”
Wogh, cocok! Dokter tahu aja kalau saya suka yang diskonan. Hihihihi.
Sebelum pulang, saya bertanya tentang hal yang amat sensitif,
yaitu biaya. “Uhm...jadi ini berapa, Dok?” “Udah, nggak usah. Kan belum
diapa-apain.” Wooow, senangnya! Pelajaran hari ini: berbaik-baiklah dengan
semua orang supaya mendapat diskonan dan gratisan kemudahan. Mungkin
drg. Henri kasihan melihat tampang saya yang memelas karena kelaparan dan mirip
bocah kurang gizi. Hihihihi.
Rabu, 4 November 2015: Rontgen dan
Perawatan Saraf Gigi
Tempat pemotretan, sayang yang difoto cuma giginya :P |
Pada jam istirahat, saya pergi ke bagian radiologi RSGM Prof.
Soedomo, Fakultas Kedokteran Gigi di almamater tercinta, Universitas Gadjah
Mada. Saya menyerahkan rujukan rontgen, lalu membayar sebesar Rp20.000,00 di
loket Bank Mandiri. Tidak lupa mengirim pesan kepada drg. Henri bahwa saya
sudah menunggu di bagian radiologi. Beberapa saat kemudian, saya dipanggil
untuk foto rontgen. “Mbak, fotonya diulang ya. Tadi agak goyang,” kata
petugasnya. Heleh, mungkin gara-gara belum makan jadinya tangan saya gemetar.
Petugas rontgen memberikan hasil fotonya dalam amplop. Saya
tidak berani membukanya. Saya tidak siap menerima kenyataan yang menimpa gigi
saya. Hahahaha. Rasanya seperti menerima surat pengumuman kelulusan ujian
nasional. Harap-harap cemas rasanya. Biar nanti drg. Henri yang membuka
hasilnya.
Tidak lama kemudian drg. Henri datang. Saya menyerahkan hasil
foto rontgen itu. drg. Henri melihatnya. “Udah pernah ditambal ya? Duh, mesti
perawatan saraf ini. Sakitnya gimana? Nyut-nyut gitu?” kata drg. Henri.
“Sekarang sih nggak sakit, Dok. Sakitnya dulu waktu belum ditambal.” “Nanti
saya hubungi lagi ya buat perawatan sarafnya.” “Iya, Dok.” Baiklah, saya harus
menjalani perawatan saraf gigi atau PSA (perawatan saluran akar). drg. Henri
tidak perlu menawarkan opsi cabut karena pasti saya tidak mau. drg. Henri
pernah menjelaskan secara singkat risiko bila gigi dicabut, yakni menyebabkan
gigi-gigi lain mengalami pergeseran posisi karena ada ruang kosong. Lagi pula,
Adek masih muda, Bang, belum siap ompong! T_T
Dua hari kemudian, drg. Henri menghubungi saya untuk memulai tahapan
PSA. Sebelum menjalani PSA, saya harus menjalani pemotongan polip di gusi saya.
Gusi saya bengkak kecil dan mengisi lubang gigi. Jangan tanya sakitnya seperti
apa ya kalau si polip ini tersentuh lidah atau dipakai mengunyah. Josss pokoke!
Sabtu, 7 November 2015 (Kunjungan 2):
Potong Polip
Pukul 14.00 saya datang ke tempat praktik drg. Henri. drg.
Henri sudah menunggu. “Nanti kita kerjanya cepet kok. Cuma 15 menit,” kata drg.
Henri. Weitsss, kita? Dokter yang
kerja, saya yang dikerjain. Hahahaha. “Dijahit nggak, Dok?” tanya saya.
“Nggak.” “Dibius kan?” “Dikit.” Duh, AC-nya mati lagi! Jadi gerah.
Saya duduk bersandar di dental
chair, lalu kumur-kumur. Sementara itu, drg. Henri menyiapkan bius dan
alat-alat yang akan digunakan. Saya justru bangun, melihat persiapannya.
“Jangan dilihat! Merem aja,” kata drg. Henri. Uhm, saya sudah tidak takut
dengan segala macam alat bedah mulut dan suntikan ya. Nek mung disuntik aku wis wareg! (Kalau cuma disuntik aku sudah
kenyang!). drg. Henri pun menyuntikkan bius ke beberapa titik di gusi saya.
Rasanya ya cekit-cekit agak sakit gitulah, namanya juga ditusuk jarum.
“Kita tunggu biusnya masuk,” kata drg. Henri. Seperti
biasanya, untuk menghilangkan ketegangan, saya pun mengajak drg. Henri
mengobrol sana-sini. Mungkin drg. Henri membatin, Ini bocah makannya pepaya, pisang kluthuk, sama biji-bijian mungkin ya,
makanya ngoceh terus kayak burung kenari. Hihihihi. “Suntikan yang paling
sakit tuh cek antibiotik kalau mau operasi, Dok,” kata saya. “Oh, iya. Kalau
mau operasi mesti suntik itu dulu. Emang kamu pernah operasi?” “Dua bulan yang
lalu. Operasi FAM (fibroadenoma mammae).”
“Oh, ya? Sakit ya?” “Nggak sih, tapi takut soalnya di keluarga ada riwayat.”
Kursi “panas” :D |
“Kita mulai ya,” kata drg. Henri bersiap memasukkan alat-alat
bedah ke mulut saya. “Sakit?” Saya membentuk lingkaran kecil dengan jari,
memberi isyarat bahwa sakitnya sedikit. “Kayak ada rasa ditekan-tekan ya?” Saya
mengangguk. Settt, settt, settt.
Suaranya seperti sedang mengiris daging. “Cuma segini lho,” kata drg. Henri
sambil menunjukkan potongan gusi sebesar upo
(bahasa Jawa: butiran nasi) yang dijepit dengan pinset. “Dia masuk ke
lubang gigi.” Setelah itu, luka di gusi saya dibersihkan dengan kapas dan
ditutup dengan tambalan sementara. Terakhir, di bekas lukanya dipasang gulungan
kasa. “Selesai. Kasanya digigit, diganti tiap setengah jam seperti biasanya.”
drg. Henri menulis di resep. “Diresepin penghilang nyeri aja
ya,” kata drg. Henri. “Masih punya kok, Dok,” kata saya sambil mencari-cari
obat di tas. Ndilalah-nya saya bawa.
Duh, udah kayak kantong Doraemon aja tas saya. Isinya mulai dari botol minum,
mukena, payung, tissu, make-up minimalis, minyak telon, dompet, alat tulis, charger, kadang-kadang makanan, sampai
obat-obatan darurat. Saya menyerahkan satu setrip asam mefenamat yang sudah
saya minum beberapa tablet. “Oh, ya udah. Berarti obat kumur aja.” “Obat kumur
juga ada kok, Dok.” “Masih banyak?” “Masih. Baru aja dibuka.” “Oke. Berarti
nggak usah pakai obat.”
Tiba saatnya pada pertanyaan sensitif. “Uhm...jadi berapa,
Dok?” “Bentar...bentar. Jadinya tujuh puluh ribu aja.” Alhamdulillah, masih
terjangkau gaji buruh bergaji mepet UMR. Hihihihi. “Buat PSA-nya yang ngerjain
nanti drg. Evy.” “Kira-kira berapa, Dok?” “Ya...sekitar 150 ribu.” “Per
kunjungan?” “Per kunjungan.” “Itu kira-kira berapa kali kunjungan, Dok?”
“Mungkin 3–4 kali.” “Inlay-nya?”
“Uhm...bisa sampai 1 juta.” “Mulai PSA-nya kapan, Dok?” tanya saya. “Sabtu
siang kamu selo kan?” “Iya, selo. Tapi mungkin nanti beberapa kali saya mesti
ke luar kota.” “Oh. Ya nanti saya hubungi lagi drg. Evy buat PSA-nya.” “Iya,
Dok. Makasih ya, Dok. Pulang dulu.”
Saya memang lemah dalam ilmu eksakta, tapi kalau urusan
hitung-hitungan uang, otak saya langsung jalan. Kalau kunjungan PSA-nya empat
kali, berarti 4 × Rp150.000,00 = Rp600.000,00. Ditambah biaya inlay-nya Rp1.000.000,00, jadinya
Rp1.600.000,00. Wooow! Mesti jebol celengan dulu ini di tempatnya Si Abang,
(A)Bank Mandiri dan (A)Bank BRI(an). :D Hiksss, uang segitu bisa dipakai buat
beli HP baru. Terbayanglah HP Samsung Galaxy Ace 2 saya yang sudah tua dan
mulai menunjukkan tanda-tanda minta diistirahatkan. Ya sudah, tahan dulu hasrat
beli HP barunya. Gigi duluan yang sehat, baru komunikasi yang sehat.
Kata drg. Henri, satu jam kemudian saya baru boleh makan,
tapi saya tunggu sampai darahnya benar-benar tidak keluar. Tidak lama kemudian
darahnya berhenti. Karena saya tidak merasa sakit sama sekali, saya pun
ngobrol-ngobrol ketawa-ketiwi dengan teman-teman kos. Eh, lama-lama kok terasa
asin? Masa iya tambalannya terasa asin? Aaaaa! Ternyata berdarah lagi. Mungkin
ini teguran supaya saya mengurangi bicara. Hahaha. Saya pun menggigit kapas
lagi. Awalnya saya tidak berniat minum penghilang nyeri, tapi berhubung rasa
cenut-cenutnya makin menjadi-jadi dan saya tidak bisa tidur, akhirnya saya
minum juga. Tahapan PSA selanjutnya akan saya ceritakan dalam tulisan selanjutnya. Jangan lupa jaga kesehatan gigi dan mulut ya, teman-teman. Salam!
:D
Kak mau naya dokter evy praktenya dimana ya?
BalasHapusAku sm drg evy jg di joy dental
HapusHai, maaf lama nggak ngeblog. Di Joy Dental atau drg. Ratna M. Sudjarwo, Gejayan.
Hapus