PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 2): Ketika Si Gigi Minta Dikonservasi

Sabtu, 14 November 2015 (Kunjungan 3): PSA Tahap 1
Setelah menjalani rontgen gigi dan pemotongan polip, saya mulai menjalani perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar ini termasuk dalam perawatan konservasi gigi yang bertujuan untuk mempertahakan gigi supaya tidak dicabut dari rongga mulut. Kata drg. Henri, saya sudah dibuatkan janji dengan drg. Evy pukul 14.00. drg. Henri mengambil spesialisasi bedah mulut, jadi perawatan gigi saya dilakukan dokter lain yang mendalami konservasi gigi. Sebelum pukul 14.00 saya sudah sampai di Apotek K-24 Demangan Baru. Saya tanya pada pegawai apotek, katanya dokter giginya belum datang. Saya pun menunggu sambil duduk-duduk. Tidak lama kemudian ada mbak-mbak imut berwajah Oriental masuk, lalu berkata kepada pegawai apotek bahwa dirinya adalah dokter gigi pengganti. Wooogh, mbak ini dokter giginya! Saya pun menghampirinya. “Dokter Evy ya?” “Iya.” “Saya Dewi, pasiennya Dokter Henri.”
Ilustrasi perawatan saluran akar
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Endodontic_therapy
Kami pun naik ke lantai 2. drg. Evy menyiapkan peralatan-peralatan yang akan digunakan, sementara saya nonton TV. “Maaf ya, Mbak. Saya baru di sini.” “Baru jadi dokter ya?” tanya saya, curiga si dokter ini lebih muda dari saya. “Nggak kok.” Setelah ngobrol-ngobrol lama, saya baru tahu kalau drg. Evy setahun lebih tua dari saya dan satu almamater. Duh, kakak senior, maafkan ya! Saya sudah sok tua. Hehehe. Melihat drg. Evy sibuk, saya tidak bisa membantu apa-apa. Masalahnya tangan saya ini ceroboh. Takutnya malah merusak. Dulu kejedot lampu di dental unit aja pernah. Untung lampunya nggak pecah dan jidat saya nggak tambah jenong. Hehehe.
“Sudah, Mbak. Yuk!” kata drg. Evy. Saya pun masuk, lalu duduk di dental chair. “Maaf ya, Mbak. Ruangannya panas. Soalnya AC-nya mati.” “Iya, Dok. Minggu kemarin udah mati.” “Wah, Mbak udah hafal ya.” Ya iyalah, Dok! Udah berapa kali ke sini. Hihihihi. “Dokter residen juga ya di RSGM?” tanya saya. “Iya, sama kayak drg. Henri. Dokter Henri di bedah mulut, saya di konservasi gigi.” Supaya suasananya tidak terlalu sepi, drg. Evy menyetel musik dengan HP-nya. Mulailah terdengar suara mas-mas bertampang ganteng, tatonya di mana-mana, dan bersuara cempreng-cempreng seksi. Yups, Mas Adam Levine mulai menyanyi, “If I got locked away and we lost it all today, tell me honestly would you still love me the same?” Ingin rasanya saya menyahut, “Yes, Mas Adam, I would!” Untunglah musiknya bukan gamelan. Kalau musiknya gamelan, nanti saya pengen joget lho. Hihihihi.
Mas Adam, tatomu membuatmu dicoret dari daftar calon mantu ibuku :(
Sumber: http://e2ua.com/group/adam-levine-wallpaper/
“Kumur dulu.” Setelah saya kumur-kumur, drg. Evy mulai membongkar tambalan sementara. “Duh, masih berdarah.” Bekas luka potong polip kemarin dibersihkan, lalu gigi geraham saya (gigi 47) mulai dibor. Sesekali drg. Evy meneteskan cairan semacam infus ke gigi saya. Setelah itu, drg. Evy menyiapkan jarum-jarum kecil untuk membersihkan saluran akar gigi saya. “Gigi saya mau diapain, Dok?” “Dibersihkan pakai jarum-jarum ini.” “Nanti gigi saya dimatikan sarafnya ya, Dok?” “Iya.” “Berarti saya udah nggak bisa ngerasain apa-apa dong?” “Kan cuma dikit, di bagian giginya aja. Tapi aku curiganya udah mati. Curiganya sih.”
Alat-alat untuk perawatan saluran akar
Mulailah drg. Evy memasukkan jarum kecil ke dalam gigi saya. Jarumnya diputar-putar untuk mengorek-ngorek isi gigi saya. Rasanya ya sakit-sakit ngilu gitu. “Segini sakit?” “Huum,” kata saya. “Segini?” “Nggak.” drg. Evy juga menggunakan alat ukur saluran gigi untuk menentukan kedalaman akar gigi saya. Setelah sekitar satu jam, drg. Evy memasang tambalan sementara di gigi saya. “Setelah satu jam baru boleh makan ya.” “Sakit, Dok,” rengek saya. “Tapi lebih sakit kalau pas kambuh. Tadi gigi saya diapain, Dok?” “Dilebarkan lubangnya supaya salurannya terbuka. Terus dibersihkan saluran akarnya. Itu akarnya ada tiga. Kata Dokter Henri kemarin masih berdarah, jadi nggak bisa langsung perawatan saluran akar.”
drg. Evy lantas menulis di rekam medis. “Dok, boleh minta nomor telepon? Biar gampang kalau nanti janjian.” “Boleh. WhatsApp atau SMS bisa.” “Nanti berapa kali kunjungan, Dok?” “Biasanya lima kali.” “Eh, dulu kata Dokter Henri 3–4 kali.” “Itu kan belum termasuk pasang tambalannya.” “Uhm, gitu ya? Perjalanan masih panjang. Dokter sabar ya. Mungkin nanti saya bakalan banyak tanya.” “Iya. Nggak apa-apa.” Dokter belum tahu aja saya rewelnya kayak apa. Hahahaha. “Ehm...ini jadinya 200 ribu. Seminggu lagi ke sini ya.” “Harus seminggu ya, Dok?” “Nggak harus sih. Tapi hari lain aku praktik di tempat lain.” Seperti biasa, saya selalu bertanya kepada setiap dokter, “Saya pasien paling parah ya, Dok?” “Ah, yang lebih parah banyak, Mbak.” Baguslah. Hehehe. Selesailah tahap pertama perawatan saluran akar.

Sabtu, 21 November 2015 (Kunjungan 4): PSA Tahap 2
“Dok, tambalannya copot,” kata saya. “Sakit nggak?” “Nggak, Dok. Kan nggak dipakai ngunyah.” “Hah, nggak dipakai ngunyah? Pakai aja.” “Kan takutnya kalau kebuka nanti nggak steril, Dok.” “Kan nanti dibersihkan. Pakai aja.” Mulailah bekas tambalan saya dicongkel-congkel, lalu gigi saya dibor. Setelah itu, gigi dibersihkan dengan jarum-jarum kecil lagi. Sesekali gigi saya ditetesi obat. Rasanya kecut-kecut agak sepet seperti salak mentah. Gigi saya pun dipasang tambalan sementara lagi. Selesailah prosesnya. “Tadi gigi saya diapain, Dok?” “Dibersihkan terus dikasih obat.”
“Ada keluhan nggak?” “Ngilu dikit sih.” “Tapi nggak nyut-nyutan kayak sakit kepala kan?” “Nggak sih.” “Jangan males makan ya, Mbak.” Waduh, kok dokternya tahu ya kalau akhir-akhir ini saya malas makan? Sampai-sampai berat badan saya turun hampir dua kilo. “Katanya yang paling nggak enak itu waktu sarafnya dimatiin ya, Dok?” “Oh, ini nggak usah dimatiin sarafnya soalnya udah mati.” “Hah? Udah mati? Butuh waktu berapa lama sih, Dok sampai sarafnya mati?” “Beda-beda, Mbak. Ada yang langsung, ada yang matinya pelan-pelan, sebagian dulu.” “Punya saya kok cepet ya? Patahnya itu dua tahun yang lalu. Setahun yang lalu udah ditambal, tapi pecah. Jadi tuh dulu saya waktu skripsi kecanduan permen lolipop, Dok. Terus males gosok gigi. Hehehehe.” “Ya ampuuun!” Hehehe. Ya gimana? Ngantuk itu mengalahkan segalanya. “Pas sakit itu pas lagi jadi pengangguran, Dok. Jadinya dilema. Mau berobat nggak punya uang, mau minta orangtua malu.” Kok malah jadi sesi curhat ya? Hehehe. “Makanya rajin sikat gigi.”

Sabtu, 28 November 2015 (Kunjungan 5): PSA Tahap 3
Untuk perawatan kali ini, saya meminta jamnya dimajukan menjadi pukul 12.00 karena sorenya saya mau pergi ke Bojonegoro. PSA tahap 3 ini hampir sama dengan tahap 2. Gigi saya dilepas tambalan sementaranya, dibor sedikit, dibersihkan dengan jarum-jarum kecil, sesekali ditetesi obat yang rasanya kecut-kecut pahit agak sepet. “Agak nggak enak ya. Nanti kita bilas,” kata drg. Evy. Kali ini prosesnya sudah tidak terlalu sakit. Saya sampai liyer-liyer hampir tertidur kalau drg. Evy tidak mengajak saya mengobrol. “Ke Bojonegoro acara apa?” “Temen saya nikah, Dok.” “Saya juga sering lho ke daerah sana.” “Dokter aslinya Jawa Timur ya?” “Ibu saya Cepu, bapak Surabaya, tapi orangtua merantau di Jogja.” “Walaaah, sama. Bapak saya aslinya Cepu, ibu saya yang Klaten.”  Terakhir, gigi saya ditutup tambalan sementara lagi.
“Tadi gigi saya diapain, Dok?” tanya saya. “Dibersihkan terus dikasih obat.” “Sama kayak kemarin ya?” “Ini proses lanjutannya.” “Selesai PSA nanti gigi saya diapain, Dok?” “Mungkin dipasang pasak udah agak lumayan. Atau dibuatkan onlay, jadi giginya dibuatkan semacam topi.” “Iya sih, kata Dokter Henri nggak bisa ditambal biasa. Bisa tahan berapa lama, Dok?” “Kalau tidak ada keluhan apa-apa, harapannya bisa di atas 5 tahun. Mungkin nanti perlu rontgen satu kali lagi setelah selesai, buat lihat hasil akhirnya.”

Sabtu, 5 Desember 2015 (Kunjungan 6): PSA Tahap 4
“Gimana perjalanan ke Bojonegoro?” tanya drg. Evy sebelum memulai proses perawatan. “Capek, Dok. Perjalanannya 9 jam. Mana sopir travelnya jahat, saya diturunin di depan gang jam 2 malam.” “Hahaha. Udah pernah ketemu sopir yang nggak tahu jalan? Saya pernah.” Mulailah gigi saya dibersihkan dengan jarum-jarum kecil, lalu dimasukkan gutta perca ke dalamnya. Tiba-tiba drg. Evy menyalakan korek api untuk memanaskan semacam alat untuk memasukkan adonan tambalan (entah apa namanya), tetapi ukurannya lebih besar. Mata saya langsung melotot. Aaaaa! Gigiku mau dibakaaaaar! “Buka mulutnya lebar-lebar ya,” kata drg. Evy. Jesss! Alat panas itu ditempelkan ke gigi saya. Sekali lagi alat itu dibakar, lalu ditempelkan kembali ke gigi saya. Mulut saya sampai kering rasanya karena tidak disuruh kumur sesekali seperti biasanya. Terakhir, gigi saya ditutup tambalan sementara.
“Maaf ya lama nggak kumur,” kata drg. Evy. “Lho, Dok? Ini udah?” “Udah. Kenapa? Masih mau buka mulut ya? Hehehe.” “Kok cepet ya? Pas awal-awal itu lama.” “Iya. Pas awal kan masih nyari-nyari jalannya.” “Itu tadi kok dibakar, Dok?” “Itu buat masukin bahan tambalannya. Ini PSA-nya sudah selesai. Saya nggak tahu habis ini sama Dokter Henri mau dipasang apa. Nanti saya tanyakan ke Dokter Henri.” “Perlu rontgen lagi?” “Iya. Saya buatkan rujukan rontgennya ya.”

Kenapa sih ditulisnya nama penderita? Aku bahagia kok, nggak menderita :3
Selesailah tahapan perawatan saluran akar bersama drg. Evy. Akan tetapi, masih ada satu tahap lagi yang perlu saya lalui agar gigi saya benar-benar bisa berfungsi kembali. Perawatan lanjutannya akan dilakukan drg. Henri. Mungkin masih dua kali kunjungan lagi. Ribet kaaaaan? Bangeeeeet! Makanya yang giginya sehat dijaga ya supaya tidak perlu perawatan seperti saya. Yang giginya sudah menunjukkan tanda-tanda aneh, jangan tunggu sampai sakit. Salam! :D

Komentar

  1. Saat pertemuan ke 2 apakah sakit banget kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nyut-nyut gitu kak. Kayak sakit kepala tapi di gigi.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair