Benjolan di Payudara (Bagian 2): Ketika Dokter Menyatakannya sebagai FAM (Fibroadenoma Mammae)

Senin, 24 Agustus 2015: Jinak Kok!
Setelah dr. Yudhi (dokter di faskes pertama saya) memberikan surat rujukan, saya memutuskan untuk periksa ke poli bedah RS Panti Rapih dengan ditemani kedua orangtua saya dua hari kemudian. Untuk berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan, berkas yang harus dilengkapi antara lain kartu periksa di rumah sakit, fotokopi kartu peserta BPJS, fotokopi KTP, dan fotokopi surat rujukan dari faskes pertama. Kalau menggunakan BPJS PBI (penerima bantuan iuran), berkas dilengkapi KK (kartu keluarga). Saya menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan yang iurannya dipotong dari gaji saya tiap bulan. Alurnya mendaftar di bagian pendaftaran, mendapatkan nomor antrean di poliklinik, mendaftar di bagian BPJS, mengantre, baru bisa periksa ke poliklinik masing-masing.
RS Panti Rapih tampak depan

Sungguh, saya tidak merasa takut berlebih ketika akan menjalani pemeriksaan karena orangtua saya mendampingi saya. Mereka memperlakukan saya seperti biasa, sama sekali tidak menganggap saya sebagai orang sakit. Saya masih bisa bercanda seperti biasanya dengan mereka. Sehari sebelumnya pun saya masih bisa pentas menari. Saya pernah menuliskan cerita “heboh” persiapan pemeriksaan bersama orangtua saya dalam tulisan sebelumnya.
Masih bisa menari di acara penutupan PPSMB UGM dan beraktivitas seperti biasa :)

Saat itu poli bedah sedang sepi. Jadi, saya langsung dipersilakan masuk. Yang akan memeriksa saya dr. Okto Prasetyo M., Sp.B. “Orangtua saya boleh ikut masuk?” tanya saya. Boleh. Beliau membaca surat rujukan saya lalu berkata, Benjolan di payudara ya? Iya. Sudah berapa lama?” “Dua minggu.” “Sudah berkeluarga?” “Belum.” Saya tidak mengerti mengapa dua dokter yang memeriksa saya selalu bertanya apakah saya sudah menikah. Mungkin kaitannya dengan hormon.
Saya berbaring di tempat tidur. Seorang perawat menutup gorden, lalu saya membuka baju. “Ada rasa nyeri?” “Nggak.” Dokter meraba benjolan di payudara saya dan beberapa detik kemudian berkata, “Tumor jinak ini.” sambil meninggalkan saya, lalu duduk di depan ibu saya. “Nggak ada obatnya selain operasi.” Selesai diperiksa, saya lantas duduk. “Kapan siap operasi?” Apaaaaa? Baru saja saya menguatkan hati untuk menerima kenyataan bahwa ada tumor di tubuh saya, sudah ditodong dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab tanpa berpikir. Ini bukan pertanyaan mudah seperti “Mau makan?” yang pasti akan saya jawab “Ya.”
Saya mencoba mengatur napas dan memikirkan kata-kata yang tepat. “Ehm...gini, Dok. Saya sudah dekat tanggal menstruasinya.” “Tanggal berapa?” “Harusnya minggu ini.” “Berarti 2-3 minggu lagi ya?” “Recovery-nya kira-kira berapa lama, Dok?” “Ya kira-kira satu minggu.” “Habis itu bisa aktivitas biasa?” “Kerjanya apa? Angkat-angkat?” “Nggak, Dok. Di depan komputer.” “Bisa. Paling hari ini masuk, besoknya operasi, dua hari kemudian boleh pulang.” “Saya ada obat rutin nggak apa-apa, Dok?” “Apa?” “Vitamin buat saraf. Saya habis cabut gigi terus parestesi.” “Minumnya sampai kapan?” “Sampai sembuh.” “Nggak apa-apa. Yang nggak boleh itu kalau menstruasi, batuk-pilek.” dr. Okto menulis di rekam medis saya lalu menyuruh saya ke bagian administrasi untuk mendapatkan surat rekomendasi opname. Di situ tertulis bahwa penyakit saya ialah fibroadenoma mammae atau FAM.
Dari bagian administrasi, saya mendapatkan surat rekomendasi opname dan nomor antrean untuk dibawa ke bagian farmasi. Setelah itu, saya menuju bagian PPRI (pendaftaran pasien rawat inap) untuk memesan kamar. Ternyata saya belum bisa memesan kamar karena pemesan baru bisa dilakukan minimal seminggu sebelum waktunya opname.

Menyiapkan Fisik dan Mental untuk Operasi
Selama menunggu waktu operasi, saya berusaha menjalani hidup sesehat dan senormal mungkin. Saya berusaha mengatur pola makan, beraktivitas semampunya, menghindari begadang, dan memperbanyak sholat malam serta berdoa untuk menjaga kondisi tubuh. Bagaimanapun, ini operasi besar, saya akan dibius total, jauh lebih “berdarah-darah” daripada operasi gigi bungsu yang pernah saya jalani. Saya sengaja hanya bercerita kepada beberapa orang terdekat tentang penyakit saya. Saya tidak ingin terlihat seperti orang sakit karena pada kenyataannya tidak ada keluhan apa pun pada tubuh saya.
Ketika akan bercerita kepada sahabat-sahabat terdekat, saya berusaha mencari momen dan cara yang tepat. Selama ini saya tidak pernah jatuh sakit yang berat, selalu terlihat ceria, ketawa-ketiwi, lompat sana-sini. Tentunya berita bahwa saya akan menjalani operasi sangat mengejutkan bagi mereka.
“Mi, aku mau cerita. Mungkin 2-3 minggu lagi aku masuk Panti Rapih. Mau operasi,” kata saya kepada Arum, sahabat saya. “Opo, Wi? Untu? (Apa, Wi? Gigi?) Hahahaha,” kata Arum. Hedeeew, teman satu ini. Niatnya saya mau membuat suasana dramatis, eh malah ditanggapi dengan bercanda. Giginya sudah dicabut empat-empatnya, apa lagi yang mau dicabut? “Payudara, Mi,” kata saya. Barulah saya bercerita tentang gejala dan pemeriksaan yang sudah saya jalani. “Yang sabar ya, Wi. Kuat ya. Nanti kalau operasi kabari ya. Insya Allah aku dampingi.”
Arum, sahabat kala sehat maupun kumat

“Jeng, mau cari kain buat bahan kerudung? Aku ikut ya. Mau lihat-lihat kain buat kebaya,” kata saya kepada Devi, sahabat saya yang lain. “Oke, Jeng.” Sesungguhnya saya tidak berniat membuat kebaya. Punya beberapa kebaya pun tidak pernah dipakai. Saya tidak bermaksud berbohong, hanya mencari momen yang tepat, tidak membuatnya curiga. Pergilah kami ke Jalan Urip Sumoharjo. Di sana terdapat banyak toko kain. “Udah dapet kainnya, Jeng?” tanya Devi. “Nggak ada yang cocok,” kata saya. Ketika sampai di perempatan lampu merah Galeria, barulah saya bercerita selama menunggu lampu hijau. “Jeng, diinfus itu sakit nggak sih?” tanya saya. “Nggak tahu, Jeng. Aku belum pernah opname. Dulu cuma rawat jalan.” “Jeng.... Aku mau opname. Dua minggu lagi di Panti Rapih.” “Apa, Jeng?” kata Devi kaget.
Tak ada suara antara kami selama perjalanan menuju kos saya. Baru setelah sampai kos, Devi bertanya, “Kamu kenapa, Jeng?” “Ada benjolan di payudara, Jeng. Tumor jinak, mesti diambil.” “Udah diperiksain?” “Udah. Tinggal tunggu waktu aku selesai mens, pesan kamar, terus dioperasi. Devi terlihat sedih, “Ya Allah, Jeng. Kok kamu nggak cerita sih? Kan aku bisa nemenin kamu periksa.” “Udah, Jeng. Nggak apa-apa. Aku tuh nggak sakit. Aku masih bisa aktivitas kayak biasa. Tuh, aku nggak kelihatan kayak orang sakit kan?” kata saya sambil tertawa. “Aku masuk dulu ya,” kata saya sambil berjalan menuju pintu pagar kos. Baru berjalan beberapa langkah, Devi memanggil saya, “Jeng, sini dulu.” Saya berbalik, lalu kembali mendekat ke arah Devi. Devi lantas memeluk saya. “Kamu yang kuat ya, Jeng.” “Udah ya, Jeng Depol. Nggak usah sedih. Aku nggak kenapa-napa. Aku kan kuat, kokoh tak tertandingi kayak semen Gresik. Hehehe. Aku maunya dipeluk Baymax (tokoh robot dalam film Big Hero 6) aja biar cepet sembuh.” “Nanti kalau mau operasi kabari aku ya.” “Iya. Pasti.”
Jeng Depol, a.k.a Devi, sahabat yang pelukannya hangat :)

Andai robot ini benar-benar ada :D

Orang-orang di sekitar saya menyemangati saya supaya tidak stres menghadapi penyakit. Hedew, bagaimanapun juga saya tidak bisa benar-benar “lepas pikiran” karena ini akan jadi pengalaman pertama saya opname dan operasi besar. Sepertinya itu berpengaruh terhadap siklus menstruasi saya. Sampai tanggal yang seharusnya “terjadi”, tak ada tanda-tanda bahwa “si bulan” akan segera datang. Mulailah saya panik. “Jangan-jangan akuuuuuu.... Minta pertanggungjawaban ke siapa ini?” Kok kayak adegan sinetron ya? Hehehehe. Saya pun segera mencoba berbagai cara yang katanya bisa melancarkan haid, seperti perbanyak konsumsi sayur dan buah, minum air putih yang banyak, perbanyak istirahat, hingga membuat jamu kunyit asem sampai tangan saya kuning semua.
Ibu saya pun ikut panik. “Kamu udah dapet belum?” “Belum.” “Kok belum sih?” “Ya nggak tahu. Ini juga lagi usaha,” kata saya cuek. “Udah, diobatin aja.” “Nggaaaaak!” “Daripada lama nggak dapet-dapet. Kamu mau operasi kapan?” “Nggak mau. Maunya yang alami. Takut kalau ketergantungan obat.” Sesungguhnya itu bukan alasan utamanya. Yang saya takutkan itu kalau saya pergi ke apotek dan bertanya, “Ada obat terlambat haid?”, apotekernya akan memandang saya penuh kecurigaan, lalu membatin, “Anak kecil, pacaran kebablasan, nananina, hamil, aborsi!” Aaaaaaaa! Tidaaaaak! Imajinasiku berlebihan. Hahahaha. “Bu, nanti kalau pulang dari rumah sakit, pulangnya ke mana? Ke rumah apa kos?” tanya saya. “Terserah.” Nah kan, jahat! Maunya kan dimohon-mohon pulang. Nanti makan tinggal makan, baju dicucikan. “Di kos aja kali ya. Nanti bajunya di-laundry. Kalau mau makan nitip temen.” “Iya. Paling ada yang kasihan.” Hiksss, nggak peka! Aku ini anakmu apa anak pungut sih, Bu? T_T
Apa saya harus menelepon ke nomor ini? :(

Sementara itu, bapak saya mulai panik karena berat badan saya turun cukup drastis, dari 40 kg menjadi 38 kg. “Kamu kok kurus banget sih?” “Ya nggak tahu,” kata saya cuek. “Kamu makannya dikit ya?” tuduh Bapak. “Nggak. Biasa aja.” “Minum susu nggak?” “Kadang.” “Makan yang banyak, minum susu. Sementara nggak usah puasa Senin-Kamis dulu. Biar badannya agak berisi dikit.” “Ya...ya...ya,” kata saya. Mungkin Bapak saya mengira saya tidak pernah makan dan entah uangnya habis ke mana. Meskipun sudah bersusah payah, makan sebanyak yang saya bisa, berat badan saya cuma mentok naik 1 kg menjadi 39 kg. Duh Gusti, nyuwun lemu sekedhik mawon! (Ya Tuhan, minta gemuk sedikit saja!)


Booking Kamar: Mau Piknik!
Sambil menunggu menstruasi saya selesai, saya mulai mencari-cari informasi tentang ruang perawatan di RS Panti Rapih. Duh, kayak mau piknik aja! Googling, lihat-lihat fasilitas kamar, lalu mem-booking. Setiap kali melewati RS Panti Rapih, saya selalu menyugesti diri saya, “Beberapa hari lagi mau tidur di situ. Ini bukan opname! Ini cuma pindah tempat tidur! Anggap saja piknik!” Sesuai dengan besaran iuran yang dibayarkan untuk kepesertaan BPJS Kesehatan, saya mendapatkan ruang perawatan kelas 2. Apabila kamar kelas 2 penuh, saya bisa naik ke kelas 1 atau turun ke kelas 3. Untuk naik ke kelas 1, ada selisih biaya yang harus saya bayar dan ternyata lumayan. Untuk ruang perawatan saja, selisihnya lebih dari Rp200.000,00. Belum lagi untuk selisih biaya perawatan. Awalnya saya berpikir untuk naik kelas saja daripada turun ke kelas 3 kalau ruangannya penuh, tapi kalau dipikir-pikir lumayan juga biayanya. Eh, tapi semoga dapat sesuai kelasnya lah.
Kamis, 10 September 2015, saya mengajukan cuti kepada bos saya, tetapi kata Pak Bos tidak perlu mengajukan cuti, cukup dengan surat keterangan dokter. Kalau mau tambah waktu istirahat, baru mengajukan cuti. “Mbak, sakit apa?” tanya Pak Bos. “Tumor jinak di payudara, Pak.” “Sudah berapa lama?” “Sebulan, Pak.” “Masih kecil kan?” “Hehehe. Udah besar, Pak.” “Bisa pakai BPJS kan?” “Bisa, Pak.” “Di sini ngekos atau rumah?” “Ngekos, Pak.” “Yang nunggu nanti siapa?” “Orangtua saya ke sini, Pak.” “Wah, nanti jangan-jangan orangtuanya mikir, gara-gara kerja di kantor kita, anaknya jadi sakit-sakitan. Hahaha.” “Iya nih, Pak. Saya tekanan batin. Hahahahaha,” kata saya dengan nada memelas. Ya, beginilah kalau bos yang masih muda (lebih pantas jadi kakak saya) ketemu karyawan agak sableng, bisa saja bercanda dengan santainya. Hehehehe.
Malamnya saya pergi sendiri ke RS Panti Rapih untuk memesan kamar. Saya datang ke bagian PPRI. Letaknya di gedung bagian selatan, dekat dengan IGD. Saya tertawa geli. Ini pasiennya daftar sendiri, pesan kamar sendiri, ngurus apa-apa sendiri. Eh, alhamdulillah sih. Artinya saya sehat, bisa beraktivitas secara normal, tidak perlu menyusahkan orang lain. Urusan pemesanan kamar pun beres. Saya tinggal melakukan konfirmasi ke PPRI lewat telepon di hari H saya masuk rumah sakit.
Rumah Sakit Panti Rapih kalau malam serem :(

Bagi orang yang belum pernah opname dan masih agak fobia dengan rumah sakit semacam saya, menjalani opname tentunya akan jadi pengalaman menegangkan. Halaaah! Sesungguhnya saya juga sudah bosan dengan rumah sakit, mengingat beberapa bulan terakhir saya sering bolak-balik RSGM Prof. Soedomo UGM karena menjalani odontektomi (pencabutan gigi bungsu). Meskipun begitu, saya berusaha membuang segala pikiran negatif tentang opname. Ini mungkin akan jadi pengalaman kurang menyenangkan, tapi ini jalan supaya saya cepat sembuh. Bagi yang sedang sakit, yuk semangat minum obat dan menjalani perawatan! Yakinlah ini hanya sakit sesaat untuk sehat yang lebih lama. Cerita tentang proses operasi dan opname akan saya sambung pada tulisan selanjutnya. Salam! :D



Komentar

  1. Memang FAM merupakan penyebab tersering timbulnya benjolan di payudara, bagi seseorang yang pertama kali mengalami jelas akan merasa khawatir dan takut mengingat fam termasuk salah satu jenis tumor namun tidak berbahaya.

    Terima kasih mbak sudah berbagai pengalamannya !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama. Terima kasih juga karena sudah membaca.

      Hapus
  2. Gejala yg dirasakan apa aja mba? Ak juga mngalami hal yg sama. Ak googling dan nemu blog ini. Btw disekitar putingku berwarna merah. Apa mb jg ad gejala yg sama?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada gejala selain terasa ada benjolannya kak. Nggak ada rasa sakit, kondisi puting juga nggak berubah. Mungkin tiap orang beda kak.

      Hapus
  3. trimakasih bnyak shareny jak...kok pnglma kita sm ya..bbrp bulan bolak blikk rs utk oersiapan operasi odentoktomi dan sama2 dicbut giginya 4...dan skrg ada bnjolan di pyudara. tp blum periksa itu apa...smg baik2 saja ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga hasil pemeriksaannya bukan tumor ganas ya.

      Hapus
  4. Trimakasih kak sudah membagi cerita,saya juga punya fam sudah 3 tahun belom di angkat,mencoba memakai herbal,tapi belom juga sembuh, rencana mau oprasi bulan 7, tapi hati ini selalu deg degan kalo mebayangkan masalah oprasi,karna saya pobia bgt dengan oeralatan dokter,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak apa-apa mbak. Semangat ya. Nggak serem kok. Saya aja berani. Mbak juga pasti bisa ^_^

      Hapus
  5. Makasih udah share pengalamannya mbak,, buat bambah persiapan mental saya mau oprasi juga mbak,, haha,, ngomong ngomong kalo misal oprasinya 4-5 bulan lg bakal tmbah parah gg ya benjolannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf saya kurang tahu mbak. Mungkin bisa ditanyakan ke dokter. Semoga operasinya lancar.

      Hapus
  6. Apa fam nya terasa nyeri sblm operasi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada rasa sakit. Cuma ngerasa agak sesek waktu pakai bra.

      Hapus
  7. Terimakasih sudah berbagi informasi yang sangat bermanfaat ini, bagi anda yang ingin tahu lebih mengenai benjolan silahkan klik tautan dibawah ini :

    Penyebab Benjolan Di Ketiak
    Lipoma
    Cara Membedakan Benjolan
    Jenis Benjolan di Vagina
    Gejala Mirip Kanker Payudara
    barfotasilver
    dvik

    BalasHapus
  8. Makasih mbak, agak terhibur juga karna kondisi kemana2 mandirinya sama. Kira2 biaya operasi nya berapa ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, maaf lama nggak ngeblog. Duh, berapa ya? Pokoknya semua tercover BPJS. Kalau bayar mandiri mungkin belasan juta.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair