Benjolan di Payudara (Bagian 1): Dunia Belum Berakhir!

“Usia 25 tahun itu periode kritis. Akan ada banyak gejolak yang terjadi dalam hidupmu. Kalau kamu berhasil melewatinya dengan baik, kamu akan lebih tenang.” (Mbak Tika, 2014)
Yeaaay! I'm 25!
Saya hanya tersenyum ketika sahabat saya, Mbak Tika, mengatakannya. Saat itu saya belum memasuki usia 25 tahun. Saya bertanya-tanya dalam hati, antara percaya dan ragu. Hingga akhirnya saya benar-benar genap berusia 25 tahun dan tidak lama setelah itu, cobaan dalam kesehatan itu datang kepada saya. Baru 3 hari sebelumnya saya tertawa bersama teman-teman saya sambil potong tumpeng. Tiba-tiba penyakit itu datang. Ya, penyakit memang datang tanpa permisi. Tak peduli suasana hati orang yang akan mengalaminya.

Jumat, 7 Agustus 2015: Ketika Ada yang Aneh di Tubuh Saya
Sore itu saya dan dua rekan kerja di divisi editorial lembur. Ada pekerjaan yang deadline-nya lumayan dekat sehingga kami harus bekerja sampai pukul 19.00. Karena merasa gerah, saya memutuskan untuk mandi di kamar mandi kantor. Ketika bersiap mandi dan membuka baju, saya tersentak kaget mendapati sesuatu yang aneh pada tubuh saya. Ada benjolan berbentuk bulat berukuran cukup besar di payudara kiri saya. Benjolan itu berbentuk bulat, terasa kenyal, kalau ditekan bisa berpindah tempat, lalu kembali ke tempatnya ketika dilepas. Saya terdiam lama, tidak segera mandi. Benjolan apa ini?
Setelah kembali dari kamar mandi, saya masih terdiam. Saya memberanikan diri untuk membuka browser dan mengetikkan kata kunci di search engine. Saya mengetik “benjolan payudara”. Mendadak saya lemas ketika hasil penelusuran paling banyak mengarah pada satu penyakit yang cukup mengerikan bagi perempuan: KANKER PAYUDARA. Terbayang wajah mendiang adik ibu saya yang meninggal pada pertengahan 2013 karena penyakit itu.
Entah mengapa pikiran saya sudah berjalan ke mana-mana. Sejenak saya mengabaikan pekerjaan saya dan browsing segala informasi tentang gejala benjolan di payudara. Mulai dari mencari laboratorium yang punya fasilitas untuk deteksi dini kanker payudara beserta perkiraan biayanya. Mencari rumah sakit yang punya layanan bagus dalam menangani kanker. Banyak yang merekomendasikan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito yang memiliki layanan klinik kanker terpadu. Mencari tahu terapi apa yang biasa dilakukan terhadap pasien kanker. Hingga menghitung-hitung jumlah tabungan yang tak seberapa seandainya perawatan saya nantinya tidak ter-cover seluruhnya oleh BPJS Kesehatan. Membayangkan perawatan yang nantinya akan saya jalani beserta segala risikonya. Ya Allaaaaah.... Saya semakin ketakutan, lalu menutup segala artikel yang saya baca itu sambil terus meyakinkan diri saya bahwa saya sehat, saya tidak sakit.
Sekeras apa pun usaha saya untuk menenangkan diri, tetap saja kepikiran. Penyakit itu ada dalam tubuh saya dan entah sedikit atau banyak akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh saya. Ingin rasanya menangis sambil berteriak, “Duh Gusti, nyuwun sehat!” (Ya Tuhan, minta sehat) setiap kali melihat iklan produk untuk ibu dan bayi di TV yang ada adegan ibu menyusui anaknya. Nggak rela kalau nanti anakku disusui sapi diberi susu formula.
Sampai akhirnya saya sudah tidak bisa menyimpan masalah itu sendirian dan bercerita kepada orangtua saya lewat telepon. Ibu saya langsung panik dan menyuruh saya cepat-cepat periksa. “Nggak mau, Bu. Mau nunggu bulan depan. Mau pindah faskes (fasilitas kesehatan) dulu yang dokternya perempuan. Dokter di faskes pertama BPJS-ku laki-laki. Geli ah kalau sakitnya di situ, yang periksa laki-laki,” kata saya. “Kamu ini udah sakit masih milih-milih!” kata ibu saya dengan nada meninggi. Hem...baiklah. Saya pun menuruti perintah ibu saya.

Sabtu, 22 Agustus 2015: Ketika Saya Memberanikan Diri untuk Periksa ke Dokter
Karena jam praktik dokternya pada jam kerja (Senin–Sabtu pukul 08.00–14.00), saya harus menunggu sampai hari Sabtu, hari libur. Saya berusaha agar tidak ada orang yang curiga kalau saya sakit. Dua minggu setelah bercerita kepada orangtua saya, saya memutuskan untuk periksa ke dokter faskes pertama yang ada di kartu BPJS Kesehatan saya, yaitu dr. Yudhi Kristanto Putro yang tempat praktiknya di dekat kos saya. Untuk periksa ke faskes pertama, cukup membawa kartu peserta BPJS Kesehatan.
Saya pun berusaha menyugesti diri sendiri bahwa saya tidak sakit, saya sehat, saya baik-baik saja. Pasti dokter nanti menyatakan bahwa saya baik-baik saja. “Aku pergi ke warnet dulu ya,” kata saya kepada teman-teman di kos. Uhm...tidak berniat berbohong. Hanya tidak ingin membuat mereka khawatir. Niatnya setelah periksa mau mampir warnet mencari film.
Sekeras apa pun usaha saya menenangkan diri, tetap saja saya berdebar-debar menunggu giliran diperiksa dr. Yudhi. Hanya tiga antreannya. Akhirnya saya dipanggil masuk ruang periksa. “Apa keluhannya?” tanya dr. Yudhi. “Ehm...gini, Dok. Ada yang aneh di payudara saya,” kata saya dengan lirih. “Ada apa di payudaranya?” “Ada benjolan.” “Sudah berapa lama?” “Saya sadarnya dua minggu ini, Dok.” “Sebesar apa?” “Ehm...diperiksa aja, Dok,” kata saya. “Sudah berkeluarga?” “Belum, Dok.”
Saya pun berbaring di tempat tidur. Saya merasa berdebar-debar dan tubuh saya gemetaran. Dalam hati saya terus membatin, “Dear future husband, maafin Adek ya, Bang. Adek pernah disentuh laki-laki lain.” “Benjolannya di kiri atau kanan?” tanya dr. Yudhi. “Kiri, Dok,” kata saya sambil membuka baju. “Dibuka dulu ya. Maaf ya,” kata dr. Yudhi. Saya pun memejamkan mata, tetapi karena penasaran, akhirnya saya melihat cara dr. Yudhi memeriksa benjolan di payudara saya. Oh, ternyata memeriksanya sambil melihat ke arah tembok, hanya mengandalkan perabaan.
Saya semakin ketakutan ketika tiba-tiba dr. Yudhi berkata, “Aduh, kok besar ya, Mbak? Keras juga. Yakin baru dua minggu sudah sebesar ini?” “Saya sadar itu ada dua minggu yang lalu dan sudah sebesar itu, Dok.” “Dulu waktu masih sebesar kelereng nggak terasa?” “Nggak.” “Nggak ada atau nggak tahu?” “Pokoknya saya tahu sudah segitu besarnya, Dok,” kata saya hampir menangis. Kalau saya tahu ya sudah periksa dari dulu-dulu. Toh selama ini saya juga rajin SADARI (periksa payudara sendiri). “Ada rasa nyeri?” “Kalau mau mens biasanya terasa kencang.” “Wajar kalau itu. Dalam dua minggu ini sudah mens?” “Belum.” “Coba periksa yang kanan. Yang ini ditutup dulu.” Payudara yang kanan juga diperiksa, tetapi tidak ada tanda-tanda mencurigakan.
dr. Yudhi membuatkan surat rujukan untuk saya. Fibroadenosis of breast, itulah diagnosis yang dr. Yudhi tulis. Nama penyakit yang baru pertama kali saya tahu. Poli bedah, tempat yang harus saya kunjungi. “Mau dirujuk ke mana?” tanya dr. Yudhi. “Yang recommended mana, Dok?” “Panti Rapih bisa.” “Uhm...ya udah, Panti Rapih aja yang deket.” “Hari Senin ke Panti Rapih ya.” “Ini saya nggak diperiksa di lab dulu, Dok?” “Ya diperiksanya di lab itu harus diambil sampel, Mbak. Kemungkinan nanti plan mondok.” Saya semakin lemas. Ya Allah, saya belum pernah opname di rumah sakit. Ini akan jadi pengalaman pertama saya opname dan mungkin operasi besar. “Ehm...ini belum tentu tumor atau kanker kan, Dok?” tanya saya dengan suara serak menahan air mata. “Kalau tumor pasti, Mbak, soalnya ada pembengkakan, tapi untuk tahu itu ganas atau tidak, harus diambil untuk diperiksa di lab.” “Di keluarga saya ada riwayat sih, Dok.” “O, ya? Apa?” “Tante saya kanker payudara....” kata saya semakin takut. “...dan meninggal,” lanjut saya dalam hati. “Nah, apalagi kalau ada riwayat. Harus waspada. Periksa ke Panti Rapih ya.”
Setelah surat rujukan dicap oleh petugas administrasi, saya pun segera pulang. Niat untuk mampir ke warnet saya urungkan. Saya cepat-cepat mengayuh sepeda dan bergegas pulang. Sepanjang perjalanan saya menahan rasa sesak di dada. Air mata itu harus saya tahan sampai di kos. Begitu membuka pintu kamar, saya sudah tidak kuat menahan air mata yang sejak tadi sudah mengendap di sudut mata. Saya pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan segala ketakutan, kemarahan, dan segala perasaan yang sulit untuk dideskripsikan. Sesaat saya berpikir, “Ya Allah, kenapa harus saya yang menanggung penyakit ini?”, tapi akhirnya saya sadar bahwa tidak ada gunanya bertanya “Mengapa saya?”. Yang harus saya jawab adalah pertanyaan “Bagaimana, apa yang harus saya lakukan terhadap penyakit ini?”
Surat rujukan
Saya meraih ponsel dan mencari nomor telepon ibu saya. “Bu, tadi udah periksa,” kata saya lirih. “Hasilnya gimana?” tanya Ibu. Saya tak mampu menjawabnya karena saya kembali menangis. “Kamu kenapa? Cerita, jangan nangis,” kata Ibu. Saya berusaha mengatur napas. “Dokternya bilang tumor. Hari Senin periksa ke Panti Rapih,” kata saya sambil menangis terisak-isak. “Udah, nggak usah nangis. Apa pun yang terjadi kita hadapi bersama. Setiap penyakit pasti ada obatnya.” “Tapi aku takut....” “Kenapa takut? Kan punya orangtua, punya saudara. Pasti ada yang ngurusin. Nanti kita periksa sama-sama. Udah, nggak usah mikir yang macem-macem. Kamu harus tetap makan lho ya.”
Sungguh, kata-kata Ibu itu menenangkan saya. Saya merasa tidak sendirian. Hal yang paling menakutkan bagi orang yang sakit adalah menghadapi penyakitnya sendirian. Dengan air mata yang masih mengalir, saya pun beranjak membongkar kertas-kertas di rak buku untuk mencari leaflet jadwal dokter di Panti Rapih. Saya mendapatkannya ketika berniat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan untuk tambal gigi, tapi akhirnya tidak jadi. Ketika melihat daftar dokter di poli bedah, saya mendadak lemas. Duh, dokter spesialis bedah dan bedah onkologinya laki-laki semua! L Dear future husband, maafin Adek ya, Bang! Ya, apa boleh buat? Sambil membaca-baca leaflet itu, saya akhirnya tertidur.
Doktere lanang kabeh! (Dokternya laki-laki semua!) :(
Periksa ke dokter adalah hal yang dilematis. Di satu sisi, saya ingin mendapat kepastian tentang gejala yang saya alami, tapi di sisi lain saya takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dokter sampaikan. Namun, itu bukan alasan untuk menunda-nunda periksa ke dokter. Saya tetap memberanikan diri untuk periksa ke RS Panti Rapih (akan saya ceritakan pada tulisan selanjutnya). Sebaik dan seburuk apa pun diagnosis yang dokter sampaikan, akan jauh lebih baik kalau penyakit itu diketahui sejak dini supaya lebih mudah penanganannya.
Tentunya tidak ada orang yang berharap dirinya sakit. Demikian halnya saya. Saya sudah berusaha hidup sesehat mungkin yang saya bisa, tapi kalau memang Allah menghendaki saya sakit, saya punya kuasa apa? Ketika kita sedang sakit apa pun, bukan berarti dunia berakhir. Yuk kita coba untuk tetap berpikir positif. Mari kita sugesti diri bahwa tubuh kita kuat melawan penyakit itu karena obat dan tindakan medis apa pun tidak ada artinya kalau kita tidak punya semangat untuk sembuh. Ingat bahwa ada banyak orang yang menyayangi dan membutuhkan kita. Yuk sayangi tubuh kita dan semangat hidup sehat! Salam! J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair