Surat buat Bapak: Terima Kasih Sudah Menemani Langkahku Sejauh Ini
Untuk Bapak....
Beberapa waktu lalu,
tepatnya saat Lebaran 2015, kita bertiga (aku, Bapak, dan Ibu) duduk-duduk di
ruang tamu selepas makan malam. Aku melihat foto wisudaku yang terpasang di
dinding kayu rumah kita dan tiba-tiba aku berkata, “Mau pasang foto di ruang
tamu aja mesti susah payah empat tahun ya. Seandainya aku nggak kuliah, mungkin
nggak ada foto di ruang tamu ya.” “Ada foto, tapi foto lain,” kata Ibu. “Kok
kita dulu nekat banget ya? Nggak punya uang, tapi ngotot kuliah. Punya motor
cuma satu, eh dijual juga. Nah itu tetangga-tetangga kita punya sapi banyak,
tanah luas, anaknya cuma sampai SMP, mentok-mentok SMA,” kataku. “Kan pengen
anaknya pinter,” kata Bapak. Aih! Jadi, menurut Bapak, aku ini bodoh? L “Nyatanya kita bisa melewati semua
sama-sama,” kata Ibu. “Kalau kamu nggak kuliah, mungkin nggak pernah tahu
gedung yang namanya Grha Sabha Pramana. Hehehehe,” kata Bapak dengan nada
bercanda.
Ya, bercanda memang
aktivitas yang kita lakukan sekeluarga ketika sedang bersama. Kehangatan dan
kemewahan yang mungkin tak semua keluarga bisa merasakan. Bercandaan malam itu
akhirnya membuat Bapak membuka cerita-cerita lama semasa aku kuliah dan membuat
keluarga kita harus semakin hidup prihatin demi membiayaiku kuliah di
Universitas Gadjah Mada. Kuliahku memang gratis, tapi biaya hidup di Yogyakarta
tetaplah mahal untuk ukuran keluarga kita. Bapak pun bercerita tentang
permasalahan keuangan yang cukup berat beberapa tahun lalu dan setelah hampir
tiga tahun aku lulus baru Bapak ceritakan. “Kok Bapak nggak cerita? Kalau Bapak
cerita kan aku bisa bantu. Mungkin aku bisa kerja part time,” kataku. “Buat apa? Nanti malah kamu kepikiran
macem-macem. Orangtua itu kalau susah, pasti berusaha supaya anaknya tidak
perlu tahu, apalagi membebani anaknya,” kata Bapak. Mataku berkaca-kaca
mendengarnya. Aku pun tersadar bahwa Bapak telah melakukan banyak hal untukku.
Ada banyak hal yang mungkin tak terbayar dengan sekadar ucapan terima kasih.
Terima kasih, Bapak karena sudah mengajarkanku untuk tetap bahagia dalam
kesederhanaan....
Pernah
suatu hari Bapak berkata kepadaku, “Kita memang tidak punya apa-apa, tapi kita
sehat dan masih bersama. Hal terindah yang harus kita syukuri.” Kata-kata Bapak
itu selalu kuingat dan membuatku selalu bersyukur bahwa aku masih punya kalian
bertiga meski aku sedang dalam kesusahan. Banyak hal di dunia ini yang bisa
dibeli dengan uang. Banyak hal di dunia ini yang bisa jadi lebih mudah kalau
ada uang, tapi kebahagiaan bukan hanya tentang uang. Ada pula hal yang tak bisa
dibeli dengan uang. Banyak orang yang hidupnya berkecukupan, materi berlebihan,
tapi ada jarak pemisah yang membuatnya tak bisa leluasa berkomunikasi dengan
anak-anaknya. Bapak tak selalu menyampaikan nasihat dengan serius, kadang
menyelipkan bercandaan yang tak pernah gagal membuatku tertawa, “Ah, kita tuh
bisa bilang kayak gini buat menenangkan diri sendiri aja. Hahahaha. Siapa lagi
yang bisa menghibur diri kita kalau bukan diri kita sendiri?”
Terima kasih, Bapak karena sudah mengajarkanku bahwa apa pun yang kita
lakukan seharusnya tak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang yang
kita sayangi....
Suatu kali aku pernah mengeluhkan, “Kuliahku semester ini susah banget. Aku nggak yakin nilaiku bagus. Pasti
IP-nya turun. Kalau turun, nanti beasiswanya dicabut gimana? Aku nggak kuat.” “Kamu
tahu nggak apa yang menguatkan Bapak dan Ibu?” Aku terdiam. “Ya kamu. Kami
semangat bekerja karena melihat kamu semangat kuliah. Kalau kamu nggak
semangat, siapa yang bisa menyemangati kami? Maaf ya, kami tidak bisa memberimu
materi seperti orangtua lainnya.” Mataku berkaca-kaca ketika mendengarmu
berkata seperti itu. Kau menyadarkanku bahwa sekeras-kerasnya kita berusaha,
jangan pernah berpikir untuk sekadar membahagiakan diri sendiri. Ada banyak
orang yang berjasa di balik semua pencapaiannya dan selayaknya kita
mengusahakan kebahagiaan untuk mereka. Ketika kita berhasil, ada orang-orang
“di balik layar” yang ikut bangga dan bersyukur. Aku pun berjanji menyelesaikan
pendidikanku sebaik mungkin demi membuat kalian bangga.
Lembar persembahan dalam skripsiku |
Terima kasih, Bapak karena sudah memberiku kepercayaan untuk membuat
keputusan-keputusan besar dalam hidupku....
Tak banyak orangtua yang
bisa menerima dengan lapang dada ketika anaknya berkata, “Aku nggak mau masuk
IPA. Aku nggak suka!” ketika masuk kelas IPA dianggap prestisius, bahkan ada
yang memaksa anaknya masuk IPA sekalipun minat anaknya bukan di sana. Tak
banyak orangtua yang rela kerja keras mengorbankan banyak hal dalam
keterbatasan ketika anak perempuannya ngotot berteriak, “Pokoknya aku mau
kuliah!” ketika masih ada orangtua yang berpikir bahwa anak perempuan tak perlu
berpendidikan tinggi karena pada akhirnya hanya akan jadi ibu rumah tangga. Tak
banyak orangtua yang dengan sepenuh hati mendukung anaknya mengikuti kata hati
dan renjananya untuk mendalami ilmu sastra dan bahasa, bidang ilmu yang kata
orang tak bisa menjamin seseorang menjadi kaya. Dan Bapak mencoba untuk jadi
beda. J
Waktu aku wisuda |
Terima kasih, Bapak karena sudah bangga pada diriku....
Bapak memang tak pernah
berkata, “Aku bangga padamu, Nak.”, tapi aku tahu bahwa Bapak merasa bangga
padaku. Aku tahu itu ketika aku melihat matamu berkaca-kaca ketika aku naik ke
panggung wisuda dan namaku disebut sebagai peserta wisuda terbaik di periode
itu. Aku tahu itu ketika mendengarmu bercerita kepada tetangga-tetangga kita
betapa kau sangat menyukai arsitektur Grha Sabha Pramana, auditorium
Universitas Gadjah Mada selepas menghadiri acara pertemuan orangtua mahasiswa
baru. Aku tahu itu ketika kau bercerita kepada saudara-saudara kita bahwa
selama empat tahun aku rela berjalan kaki setengah jam bolak balik tiap hari
dari kos ke kampus demi mencari kos yang lebih murah, demi menjadi orang yang
berpendidikan.
Grha Sabha Pramana |
Terima kasih, Bapak karena selalu menyemangatiku untuk tak perlu galau
perkara jodoh....
Akhir-akhir ini semakin
banyak orang yang bertanya kapan aku menikah dan tak ayal hal itu membuatku gusar.
Kau pun berusaha menenangkanku dengan berkata, “Yang namanya jodoh kan kita
nggak tahu. Kalau memang belum waktunya ketemu, ya bagaimana lagi? Perempuan
nikah umur 30 tahun juga nggak masalah. Zaman sudah berubah.” Pernah suatu hari
aku sudah benar-benar merasa jenuh dengan pertanyaan itu hingga akhirnya aku
pasrah dan berkata, “Pak, aku nggak tahu masa depanku nanti gimana. Aku nggak
tahu apakah Allah akan mengirimkan jodoh untukku. Kalau memang takdirku hidup
berempat bersama kalian, merawat kalian saat tua, aku harus ikhlas.” Dengan
penuh nada optimis Bapak berkata, “Allah itu Mahabaik. Kalau kita menanam
kebaikan, pasti kita juga akan menuai kebaikan. Orangtua itu pasti ingin
anaknya bahagia, hidup berkeluarga. Hanya masalah waktu.” (Pernah kutulis dalam tulisan
berjudul “KAPAN KAWIN?: Sebuah Pertanyaan yang Sesungguhnya Tidak Membutuhkan Jawaban, melainkan Doa”)
Terima
kasih, Bapak karena tak pernah menuntut banyak hal dariku....
Aku tahu bahwa karierku
tak secemerlang teman-temanku. Belum bisa membeli barang-barang mewah, membeli
kendaraan, mulai membangun rumah seperti mereka. “Maaf ya, Pak, aku belum bisa
beliin kalian apa-apa saat ini. Jangan berharap banyak dari aku ya. Jangan
membandingkan aku dengan anak-anak orang lain yang pegawai bank, PNS, atau
kerja di tambang ya,” kataku suatu hari. “Bapak nggak pernah menuntut apa-apa.
Kalau masih bisa berusaha sendiri, malu rasanya kalau harus menerima sesuatu
dari anak. Yang penting anaknya sehat, nggak macem-macem, dan bahagia,” kata
Bapak. Tahukah Bapak bahwa aku sungguh ingin menangis haru ketika mendengarnya?
Terima kasih, Bapak karena sudah mengajarkanku untuk hidup dalam
kejujuran....
“Hidup dalam kejujuran
itu lebih tenang,” kata Bapak. Jujur itu tak hanya kepada orang lain, tapi juga
pada diri sendiri. Jujur pada diri sendiri berarti sadar akan kemampuan diri
sendiri dan hidup sesuai yang kita bisa. “Buat apa hidup mewah, tapi
kemewahannya semu, bohong pada diri sendiri? Buat apa gengsi kalau hanya
menyusahkan diri sendiri?” Jujur itu sebuah keharusan, tapi penting juga
menjaga hal-hal yang seharusnya tak semua orang perlu tahu. Seseorang juga
perlu punya rahasia. “Kalau kita senang, semua orang boleh tahu. Kalau kita
susah, tak perlulah semua orang kita bagi keluh kesah. Kalau semua orang tahu
tentang setiap hal tentang kita, mana mungkin kita ada harganya di mata mereka?”
Terima kasih, Bapak karena sudah mengajarkanku untuk berdamai dengan
diriku sendiri....
Perlu waktu panjang
bagiku untuk berhenti bertanya, “Kenapa mukaku jelek?”, “Kenapa badanku pendek?”,
“Kenapa kulitku gelap?”, “Kenapa rambutku keriting?”, “Kenapa aku nggak
secantik temen-temenku yang selalu jadi bahan pujian orang?”, “Kenapa aku nggak
seperti temenku yang disukai banyak cowok?”. Perlu waktu panjang bagimu untuk
meyakinkan aku bahwa Allah sudah menciptakan makhluk-Nya dengan sebaik-baiknya.
Kalau boleh memilih, mungkin orangtua akan memilih anak yang sempurna, tapi toh
pada akhirnya anaknya lahir dalam kondisi seperti apa pun harus diterima. Dan
Bapak sudah menerimaku dengan segala yang ada pada diriku, dengan segala kurang
dan lebihku.
Kini aku pun tak perlu
lagi mempermasalahkan semua kekurangan fisikku, cukup kunikmati sebagai hal
yang lucu sambil menertawakan diriku sendiri. Kalau ke supermarket dan
kesusahan ambil barang di rak tinggi, bisa minta tolong. Kalau beli baju
kebesaran, tinggal ke tukang jahit/permak. Kalau susah cari sepatu yang
ukurannya pas, tinggal ke sepatu anak-anak atau pesan di pengrajin. Mudah
bukan? J
Kata orang, kita mirip. Hanya beda dalam versi laki-laki dan versi perempuan |
Terima kasih, Bapak karena sudah menemani langkahku sejauh ini. Terima
kasih karena sudah mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan kepadaku untuk
bekal menjalani hidup. Semoga di usia Bapak yang ke-54 ini, Bapak semakin bijak
dalam menjalani kehidupan. Semoga Bapak dikarunia usia yang panjang dan penuh
berkah. Sehat terus ya Pak, supaya aku punya banyak waktu untuk mengusahakan
kebahagiaan untuk Bapak, Ibu, dan Mas.
Terharu bacanya T_T
BalasHapusPantas saja Dewi seunik dan sepercaya diri ini. Ternyata karena ada Bapak yang hebat di sampingnya.
Ada Ibu juga mbak :) Terima kasih juga karena Mbak Dita sudah membantu banyak sampai aku bisa kuliah di UGM.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus