Kunjungan Orangtua: Antara Berkah dan (Bukan) Musibah

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya Minggu, 23 Agustus 2015 orangtua saya berkunjung ke kos. Keesokan harinya mereka akan menemani saya menjalani sebuah pemeriksaan di Rumah Sakit Panti Rapih. Pemeriksaannya apa, mungkin akan saya ceritakan dalam tulisan lain karena bisa panjang sekali. Mereka datang sore hari supaya bisa berangkat ke rumah sakit pagi-pagi. Sebelumnya saya sudah meminta izin kepada ibu kos bahwa bapak dan ibu saya akan menginap.
“Naik busnya apa?” tanya Bapak. “Naik bus Jogja-Solo turun Prambanan. Naik TransJogja 1A, turun Bandara (Adisutjipto), transit ganti 3A, bilang turun Kopma UGM. Besok berangkatnya sore aja soalnya aku nari di penutupan ospek. Paling pulang jam 5. Kalau udah sampai Kopma, SMS aja nanti aku jemput. Jalan ke kosku paling 100 meter.” Berhubung baru sekali datang ke kos saya yang sekarang, tepatnya saat pindahan kos, bapak saya belum tahu angkutan umum menuju kos saya. Harus dijelaskan sedetail mungkin supaya mereka tidak tersesat. Sekali salah bus, jadi ribet karena bisa-bisa dibawa mengelilingi Jogja, menyusuri trayek TransJogja.
Malu bertanya sesat di TransJogja :D

“Udah sampai Prambanan ini. Naik bus apa?” kata Bapak lewat SMS. Haduh, setengah jam kemudian saya baru membacanya, itu pun sudah disusul SMS lagi, “Udah naik dari Prambanan. Kopma itu nanti pemberhentian terakhir ya?” Perasaan kemarin sudah diberi tahu naik 1A, toh hanya ada satu bus itu dari shelter TransJogja di Prambanan. “Baru pulang nari, tadi nggak lihat HP. Terakhir itu Giwangan. Nanti kalau udah sampai Kopma SMS aja.” Saya pun menunggu mereka sambil guling-guling di kasur. Mau mandi ditunda dulu, takutnya waktu saya masih di kamar mandi, mereka sudah sampai. Yang penting make-up sudah dihapus, jadi kalau keluar kos tidak dikira mau “jualan”, tidak khawatir nanti “ditawar” di jalan. Hihihihi.
Pukul 18.00 ponsel saya berdering. “Udah sampai di Kopma,” kata Bapak. “Iya, bentar. Tunggu dulu.” Saya bergegas menuju shelter TransJogja. Lewat “jalan tikus” (hanya bisa dilewati motor dan pejalan kaki) saja supaya cepat. Setelah bertemu mereka, kami menuju kos. “Ah, jauh gini. Bilangnya 100 meter. 100 meter itu seukuran lapangan lho,” kata Bapak. “Ya kan nggak bawa meteran,” kata saya.
Sampai di kos, mulailah orangtua saya “membongkar” kamar saya. Naluri “nukang” bapak saya langsung muncul. “Punya obeng nggak?” “Punyanya kayak gini,” kata saya. “Bukan yang kayak gini. Yang minus. Itu pasang gemboknya nggak bener.” “Biarin lah, Pak. Aman kok. Tenang aja.” Setelah pintu, giliran memeriksa lemari. Entah apa tujuannya Bapak membuka-buka lemari. Haduh, buat anak kos, lemari itu penyelamat karena digunakan untuk menyimpan baju-baju yang belum sempat diseterika dan barang-barang yang kalau di luar bisa mengganggu pemandangan. Iyuuuh, rasanya semacam anak SMP-SMA yang deg-degan gara-gara dirazia guru BP dan takut kalau orangtuanya dipanggil gara-gara ketahuan membawa barang aneh-aneh. Tenang, Pak, nggak ngumpetin rokok atau cowok di dalam lemari kok.
“Aduh, nginjek apa ini?” seru Bapak. “Wah, remahan nasi.” “Ya udah “taktebahi” (dibersihkan dengan sapu lidi) dulu karpetnya,” kata saya. “Karpetnya diangkat dong. Bersihinnya di luar,” kata Ibu. “Males ah. Karpetnya kalau diangkat ada remahannya, udah jelek. Mesti disapu juga.” “Ya udah, sana mandi! Biar tak sapu,” kata Ibu. Yaaa...baiklah bila Anda memaksa. Hihihihi. Akhirnya, ibu saya yang membersihkan karpet dan menyapu.
“Eh, ini bed cover-nya baru ya?” tanya Ibu setelah saya kembali dari kamar mandi. “Iya. Selimut kebakar (gara-gara dipakai untuk alas menyeterika dan kabel seterikanya putus lalu memunculkan api) zaman dulu itu baru mampu beli sekarang,” kata saya. “Ah, dasarnya nggak niat aja itu,” kata Bapak. Saya pun nyengir. Terus deh nge-bully anaknya. “Berapa ini?” tanya Ibu. “Dua ratus ribu udah sama seprei, sarung bantal, sama sarung guling. Murah kan? Murah kan?” kata saya sambil mengelus-elus bed cover berwarna pink-kuning bermotif es krim, menirukan gaya Mbak Sandra Dewi yang menjadi model iklannya. “Iya. Murah bed cover segitu.” Ya kan belajar ilmu hemat tanpa pelit juga dari Ibu. Hihihihi. Kalau punya uang harus tetap hemat, nggak boleh boros beli yang mahal-mahal, tapi nggak boleh lupa sama saudara dan tetangga, nggak boleh pelit. “Jangan sering-sering di-laundry lho. Nanti cepet kempes, dakronnya sobek.” Yang mau sering-sering laundry juga siapa? Mahal, Bu. Hiksss. Untungnya mereka tidak mengomentari bed cover saya dengan berkata, “Pink lagi, pink lagi. Kayak nggak ada warna lain aja.” Mungkin mereka sudah maklum dengan “kegilaan” saya akan warna pink. Hehehehe.
“Ini apa?” tanya Ibu saat melihat sampur (selendang untuk menari) yang saya jemur di kursi. “Itu sampurnya baru beli lho, baru sekali dipakai. Yang pink udah kependekan,” kata saya. Ya iya lah, belinya sudah dari zaman SD. Tangan Ibu langsung tergerak untuk melipat sampur itu. Aduh, itu kan emang sengaja dijemur biar kering, tadi habis kena keringat. Di kursi itu juga ada tumpukan baju yang baru saya angkat dari jemuran, belum sempat saya lipat dan seterika. Itu pun tak luput dari perhatian. Ibu saya langsung membongkarnya, menaruhnya di karpet, lalu melipatnya satu-satu. Aaaa, jadi nggak enak. Saya langsung membantunya. Apa gitu ya naluri emak-emak? Nggak bisa lihat barang berantakan dikit aja.
“Eh, tadi dapat jatah nasi kotak pas nari. Nasi di magic com tinggal dikit. Nggak cukup buat berdua. Beli tambah ya,” kata saya. “Nggak usah,” kata Bapak. “Terus gimana makannya? Nggak kenyang nanti.” “Nasi kotaknya buat aku, nasi merahnya buat kamu. Ibumu biar aja nggak makan. Hehehehe.” “Ih, enak aja. Giliran yang nggak enak aku.” “Hehehehehe.” Nah kan, istri sendiri di-bully. Hedeeeeew. “Ya udah beli nasi kucing di depan gang aja,” kata saya. “Ikut ya,” kata Ibu. Berjalanlah kami ke depan gang, membeli dua bungkus nasi kucing dan gorengan.
“Makannya nanti dulu ya. Tak rebusin kacang panjang sama tauge. Tadi beli belum sempat masak. Nanti dimakan sama sambel kacang. Nggak enak kalau nggak ada sayurnya,” kata saya. Beberapa saat kemudian saya kembali ke kamar. Ternyata mereka sudah tertidur. Kasihan. Saya bangunkan mereka. “Ayo makan dulu.” Mulailah kami makan. “Ih, Bapak kok ambil lauknya pakai tangan kiri sih?” protes Ibu. “Kan masih di dalam plastik.” “Ya tapi jangan pakai tangan kiri juga dong.” “Ya udah, nggak jadi.” Errr! Anaknya pusing lalu tepuk jidat.
Usai makan, mulailah orangtua saya “mengkudeta” TV. Remote dalam genggaman mereka. Jatuhlah pilihan mereka pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji (yang tukang buburnya sudah berkali-kali naik haji dan meninggal) dan 7 Manusia Harimau (yang ternyata harimaunya tidak hanya tujuh). Padahal, biasanya kalau Minggu malam nonton acara Mario Teguh Golden Ways, yang orang-orangnya suka bilang “Salam supeeeeer” itu lho. Jadilah saya “alien” karena tidak nyambung dengan cerita sinetron ini. Sebentar-sebentar saya bertanya, “Ini namanya siapa? Jahat apa baik?” Ajaibnya, dengan lancar mereka menjelaskan satu per satu tokoh di sinetron itu. Hedew, saya pun mulai bosan lalu memilih BBM-an dengan teman-teman kantor, rumpi-rumpi ria sambil melihat posting-an foto-foto pentas penutupan PPSMB UGM 2015 (yang nge-hits banget di media massa gara-gara mahasiswa baru membuat formasi ASEAN) di akun Facebook teman-teman saya dan mulai memilih foto-foto untuk diunggah.
PPSMB UGM 2015. Bangga bisa menjadi bagian acara ini :D
Sumber: ugm.ac.id
Lama-lama kami pun mengantuk. Mereka berdua tertidur di karpet, sementara saya di dipan, beralas kasur empuk. Saya membangunkan mereka. “Bangun dulu. Bed cover-nya digelar buat kasur aja,” kata saya. “Nggak ah. Panas. Di karpet aja,” kata Bapak. Jadilah saya tidur di kasur dan mereka di lantai. Hikss, jadi terharu. Orangtua itu rela berkorban supaya anaknya tidak menderita. Jadi, sebisa mungkin jangan menyakiti hati mereka. Camkan itu!
Karena lama tidak menari, badan saya terasa pegal-pegal parah. Saya pun tertidur dengan pulasnya sampai saya mendengar suara ibu saya, “Ndhuk, udah mau jam 6.” Saya langsung tersentak bangun. Huaaa, belum sholat Subuh! Buru-buru saya keluar kamar. Syukurlah mataharinya belum terbit. Cepat-cepat sholat Subuh. “Haduh, saking anglere sing turu (saking pulas tidurnya). Hihihihi,” kata saya. “Halah, aku sama bapakmu bentar-bentar bangun, tidurnya nggak tenang.” Hehehehe. Iya ya? Kirain sama-sama angler (pulas). Namanya juga kos murah, yang penting nyaman buat tidur, toh lebih banyak pergi daripada di kos. Nanti deh kalau punya rumah dan uang lebih pasang AC supaya mereka nyaman kalau menginap.
“Pada mandi dulu aja ya. Aku mau keluar beli sarapan dulu,” kata saya. Ibu saya pun menuju kamar mandi. “Punya handuk besar nggak?” tanya Bapak. “Nggak punya. Adanya handuk kecil semua. Ehm, sebenarnya punya handuk besar sih, tapi udah sobek,” kata saya sambil membuka lemari lalu menunjukkan handuk “jadul” yang sudah jelek. “Miris nggak, Pak, lihat anaknya beli handuk aja nggak mampu? Hehehehe.” “Ah, berarti prediksi ibumu salah. Katanya nggak usah bawa handuk besar. Paling di sini ada. Eh, ternyata....” “Ya ntar lah kalau gajian beli handuk. Kan kemarin habis beli bed cover. Satu-satu lah.”
Saya pun bergegas naik sepeda menuju pedagang gudeg di depan gang. Eh, ternyata penjualnya belum datang, padahal sudah pukul 06.00 lebih sedikit. Sudah berpikir untuk pergi ke tempat lain saja, tapi ragu. Ya sudah, menunggu saja. Sampai sekitar 15 menit ibu pedagang gudeg akhirnya datang. Antreannya sebenarnya hanya tiga, tapi ada yang nyelip-nyelip duluan. Errr! Sukanya nyerobot. Akhirnya pukul 06.30 saya mendapatkan tiga bungkus nasi gudeg dengan telur cokelat. Saya pun segera kembali ke kos. Ibu dan Bapak sudah selesai mandi.
Saya cepat-cepat mengeluarkan tiga bungkusan nasi gudeg dari plastik. “Yang jualan telat. Nunggunya lama,” kata saya. “Ini tiga ribuan ya? Hehehe,” kata Bapak. Saya pun nyengir. “Bukannya dua ribuan ya? Hehehehe,” kata Ibu. Haduh, malah nambahin! Mana ada nasi pakai telur di Jogja harganya segitu. “Udah, nggak usah dipikir. Dimakan aja,” kata saya sambil bersiap-siap mandi. Selesai mandi, saya kembali ke kamar dan ternyata Ibu sudah menjerang air panas dengan heater untuk membuatkan Bapak kopi. “Kok nemu kopi? Kemarin aku nyari nggak ada,” kata Bapak. “Ih, nggak naruh kok nyari?” kata Ibu. Apa sih dua orang ini? Perkara kopi aja lho. Udah, itu rak isi makanan dibongkar-bongkar boleh. -_- Saya pun cepat-cepat makan lalu bersiap-siap berangkat ke rumah sakit.
Pukul 07.15 kami berangkat ke RS Panti Rapih. “Kita naik apa?” tanya Bapak. “Ya jalan lah. Deket kok,” kata saya. Andai punya kekuatan super seperti Spiderman, kami tinggal memanjat tembok tinggi yang memisahkan kos dari sekolah di sebelah, melewati lapangannya, melewati ruang kelas, menyeberang jalan, lalu sampailah di RS Panti Rapih. Berhubung kami manusia biasa, jadi lewat “jalan labirin” saja. “Lewat jalan kemarin aja ya biar hafal. Nanti kalau ke sini lagi nggak usah dijemput. Tahu-tahu udah sampai depan kamar,” kata Bapak. “Iya, iya. Perasaan dulu itu Ibu udah pernah aku ajak lewat sini.” “Tapi kan itu malem, gelap. Kelihatannya jauh banget. Tapi ternyata nggak jauh-jauh banget,” kata Ibu. “Itu, Panti Rapih udah kelihatan,” kata saya.
Rumah Sakit Panti Rapih (tampak depan, dari arah barat), lokasinya di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta

Saya pun mengisi formulir karena belum pernah periksa di situ. Setelah itu, saya mendapatkan nomor antrean untuk poliklinik. “Ayo, udah,” kata saya. “Ke mana sekarang?” tanya Bapak. “Antre ngurus BPJS-nya,” kata saya. Ketika mengumpulkan berkas BPJS, ternyata sudah banyak antreannya dan agak ruwet. “Sini tasnya tak bawain,” kata Bapak. Eh, agak geli juga sih. Bayangkan bapak-bapak bawa ransel pink motif polkadot. Hihihihi.
Setelah itu, saya masuk ke ruang antre BPJS untuk menunggu panggilan ke poliklinik. Terlebih dahulu meminta tas saya kembali. Ibu saya menemani duduk di dalam. Ah, pasti antrenya lama! Daripada bosan, lebih baik cari kegiatan. Saya pun mengeluarkan kantong plastik kecil berisi gulungan benang, hack pen, dakron, dan gunting yang saya bawa ke mana-mana. Mulailah saya merajut. “Kamu ini, masih aja kerja tangannya,” keluh Ibu. Saya hanya tersenyum kecil. Hedew, perasaan kita udah kenal 25 tahun, Bu. Kayak nggak tahu aja kalau anaknya nggak bisa duduk diem anteng. Kan yang sakit bukan mata, tangan, dan pikirannya. Hehehehe. “Aku keluar aja ya. Nggak tahan AC,” kata Ibu. Saya mengangguk. Beberapa saat menunggu, Bapak SMS, “Antrenya udah dapat nomor berapa?” “Nggak tahu. Dipanggilnya nama, bukan nomor,” kata saya. Sudah hampir pukul 09.30, padahal jam praktik dokternya pukul 08­.00–11.00. Nyampe nggak ya? Beberapa saat kemudian, nama saya dipanggil.
Saya kembali ke luar menemui orangtua saya. “Udah. Ayok ke poliklinik,” kata saya. Kami pun menuju lantai 2. Saya langsung dipersilakan masuk karena tidak ada antrean. Ibu saya yang menemani periksa di dalam. Hanya beberapa menit periksa dan terpikir, “Hah, antre berjam-jam gini doang periksanya?” Selesai diperiksa, kami keluar. “Udah?” tanya Bapak. Saya mengangguk. “Ya udah, ayo pulang!” “Eh, bentar. Ngurus administrasi dulu,” kata saya. Selesai mengurus administrasi, kami pun meninggalkan RS Panti Rapih.
“Mampir kantin Mirota (toko swalayan di dekat kos) dulu ya. Beli lauk. Ntar di rumah tinggal masak nasi,” kata saya. Kami pun mampir ke kantin Mirota. Si ibu kantin ya sudah mengenal saya pun menyapa, “Lho, Mbak, kok udah lama nggak ke sini?” “Iya, Bu. Lagi jarang di kos,” kata saya. “Ini libur, Mbak?” “Hehehehe. Bolos, Bu. Soalnya Bapak-Ibu ke sini.” Kami pun memilih sayur, lauk, dan beberapa cemilan. Ketika Bapak siap-siapa membuka dompet, saya sudah mendahuluinya membayar. “Udah tak bayar kok,” kata saya. Bapak dan Ibu pun tersenyum. Nah, bikin orangtua senang itu nggak susah kan? “Ibu itu udah hafal lho sama aku,” kata saya saat kami berjalan menuju kos. “Pasti gara-gara selalu beli lauk yang paling murah. Hehehehe,” kata Bapak. Errr! Nyebelin. Terus saja mem-bully aku, Pak!
Kami sampai di kos pukul 11.00. Saya langsung menyalakan TV dan memindah-mindah saluran TV, tetapi tidak ada acara yang menarik sampai akhirnya berhenti di salah satu stasiun TV yang sedang menayangkan acara ulang tahun yang ke-25. Saat itu tengah ada prosesi red carpet untuk menyambut 25 penyanyi dangdut yang menjadi bintang tamu. Wooow, mata saya langsung melotot melihat penyanyi-penyanyi yang dandanannya tidak kalah heboh dengan nama panggungnya. Sungguh, saya baru tahu ada penyanyi dangdut yang namanya Lina Lady Geboy dan Ratu Idola. Ketika tamu yang datang adalah Ikke Nurjanah, saya langsung berseru, “Nah kan, kelihatan mana yang penyanyi beneran, mana yang abal-abal. Kalau penyanyi beneran itu ngandalin suara, jadi gayanya elegan, nggak perlu heboh udah laku.” “Ini anak-anaknya Anisa Bahar ini dandanannya nggak bagus. Si Geboy ini juga nggak cantik,” kata Ibu berkomentar.
Tiba saatnya ada dua penyanyi yang tampil menyanyi, saya merasa semakin tak habis pikir. Mereka menyanyikan lagu pop yang temponya dipaksakan cepat menjadi lagu dangdut. Ini musiknya ke mana, vokalnya ke mana, kok kejar-kejaran? Alhasil si mbak dua penyanyi itu menyanyi dengan ngos-ngosan seperti habis lari keliling lapangan. “Nah kan kelihatan mana yang penyanyi beneran mana yang abal-abal. Kalau penyanyi beneran itu lagu aja milih, yang liriknya bagus. Nggak asal lagunya. Nggak bakalan lipsync juga kalau tampil,” kata saya. “Kalau penyanyi beneran itu harus serbabisa. Biarpun dia penyanyi dangdut, harus bisa pop. Penyanyi pop juga gitu, harus bisa dangdut.” Eh, jadi kepikiran sesuatu. Kalau harus penyanyi harus serbabisa, jadi berimajinasi andai Om Michael Buble nyanyi dangdut, biasanya liriknya “Save the last dance for me” jadi “Ayo goyang dumang, mang, mang, mang”. Ooom, aku rela joget paling depan! Ikhlaaaaas. Hihihihi.
Ndhuk, itu magic com-nya udah berapa lama nggak dibersihin?” tanya Ibu. “Entah kapan. Hehehehe. Nanti kalau udah parah baru dibersihin,” kata saya. “Kalau nggak bersih itu nggak bisa ditutup rapat.” Halah, kata siapa? Bisa-bisa aja tuh, pikir saya sambil asyik main ponsel. “Itu mug-nya dicuci pakai garam sama cuka biar bersih kerak-keraknya. Kalau nggak pakai C*f.” “Nggak punya C*f. Biasanya minta ke tetangga buat bersihin kompor.” “Ndhuk, itu di..... Itu di....” Please, Bu, aku capek. Hikssssss.
“Eh, nanti mau pulang jam berapa?” tanya saya. “Jam berapa, Pak?” tanya Ibu. “Lha mau kapan?” Hedewww. Satu pertanyaan dijawab dengan dua pertanyaan. Untungnya saya punya poni, jadi jidat yang semakin jenong gara-gara keseringan ditepuk ini bisa disembunyikan. Hihihihi. “Ya nanti. Sekarang kan belum sholat.” “Ya udah, sholat sekarang.” “Yeee, belum waktunya sholat disuruh sholat.” “Nah, ini nih yang namanya menyuruh melakukan kebaikan tapi nggak tepat,” kata saya ikut nimbrung. “Nanti naik busnya apa? 3A lagi?” tanya Bapak. “Lha mau turun di mana? Di Janti, Maguwo, apa Prambanan?” tanya saya. “Janti aja, Pak. Biar dapat tempat duduk di bus Jogja-Solo.” “Maguwo juga bisa. Kan ntar bisa naik bus Jogja-Solo dari situ,” kata saya. “Bandara pokoknya,” kata Bapak. “Aduh, jangan turun di Bandara (Adisutjipto). Nanti jalan ke Jalan Jogja-Solo jauh. Mending transit naik 1A sekalian, turun di Prambanan.” “Naiknya dari Bandara?” “Dari Maguwo aja. Nanti 1A lewat Maguwo dulu kok.” “Nanti di Prambanan transit lagi?” tanya Bapak. “Ya nggak lah. Prambanan itu terakhir.” “Transit Jogja-Solo. Hehehehe.” “Ngeeek. Terus di Penggung transit Abidin (nama sepupu saya yang akan menjemput mereka)?” kata saya sambil nyengir.
“Nanti naiknya 3A juga?” tanya Bapak. “Kalau mau turun di Maguwo naik 3B dari shelter seberangnya Kopma. Kalau mau turun Janti naik 1B, jalannya ke Panti Rapih atau dr. Yap.” “Naik 3A nggak bisa?” “Ehm...ya...bisa sih. Tapi mau dibawa muter dulu ke Giwangan? Entah berapa jam baru nyampai.” “Malahan dapet tempat duduk kalau naik dari sana,” kata Ibu. Aaaaa, ini sebenarnya pada mau turun di mana sih? Kayaknya dua orang ini sedang menguji pengetahuan anaknya soal jalur bus TransJogja. Ketahuilah, Pak, Bu, anak kalian ini hafal sebagian besar trayek bus TransJogja setelah melewati proses trial and error yang panjang, alias berkali-kali nyasar. Hahahaha.
Jelang pukul 12, saya bersiap-siap pergi ke RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) UGM untuk mengambil resep obat. Sudah janjian dengan drg. Gunawan beberapa hari sebelumnya. Terlebih dahulu ke kamar mandi. Saat itu saya mendengar Ibu mencuci alat makan. Setelah dari kamar mandi, saya melihat ada yang aneh. Tadi di tempat cucian piring ada dua baskom magic com, satu punya saya, satu punya teman. Kok yang diambil malah punya teman saya? “Lho, Bu. Itu bukan punyaku,” seru saya. “Lho, yang ini nasinya merah,” kata Ibu. “Punya Dek Tyas itu. Dia juga masak nasi merah.” Hedeeew, saking rajinnya sampai alat makan punya tetangga pun ingin dicuci.
“Aku pergi dulu ya,” kata saya sambil memakai jaket. “Mau ke mana?” tanya Ibu. “Mau ke RSGM ambil resep.” “Ikut ya.” “Eh, mau ngapain? Jangan! Jauh,” seru saya. “Ya kan mau jalan-jalan.” Haduh, ini mau ke rumah sakit, bukannya mau jalan-jalan. -_- “Ehm, bukannya nggak ngebolehin ikut, tapi kasihan, panas banget di luar. Jauh juga tempatnya. Dari Kopma masih ke sana lagi. Deketnya GSP (Grha Sabha Pramana, auditorium UGM).” “Orang kok pengennya ikut terus,” kata Bapak tiba-tiba. “Biarin. Daripada nggak ngapa-ngapain.” Apa? Jadi beres-beres kamar, cuci piring itu dianggap nggak ngapa-ngapain? Lha apa mau diapa-apain? Hahahaha. “Emang perginya naik sepeda?” tanya Ibu. “Iya.” “Ya udah, kirain jalan.” Saya pun pergi mengambil resep di RSGM UGM. Semoga mereka berdua akur-akur saja di kos. Hahahaha.
 Beberapa saat kemudian saya kembali ke kos. Mereka sedang duduk-duduk sambil nonton TV. “Aaaaa...panas di luar. Tambah gosong ini,” kata saya sambil melepas jaket. Saya lantas duduk di karpet, menghadap kipas angin langsung. Mungkin karena bosan, orangtua saya keluar dari kamar lantas duduk-duduk di pagar teras. “Ini kompor punya siapa?” tanya Ibu. “Punyaku dooong,” kata saya. “Gasnya?” “Pakai gas kalengan.” “Harganya berapa?” “Kalau baru 17 ribu, kalau isi ulang 7 ribu.” “Mahal. Buat beli gas kalengan, tambahin dikit udah dapet yang tiga kiloan.” “Itu sebenarnya bisa sih dipasang yang gas tiga kiloan.” “Di samping ini ya?” tanya Bapak. “Ya udah. Beli tabung gas aja,” kata Ibu. “Mahal. Seratus lima puluh,” kata saya. “Tapi kan bisa dipakai terus, awet.” “Nanti ditaruh di mana? Kalau di situ ngehalangin Mbak Martha kalau mau naruh motor.” “Nggak ah,” kata Ibu. Hedeeew, baiklah. Tambah lagi satu list barang yang harus dibeli. Udah handuk, tabung gas, apa lagi? Asal jangan calon mantu. Upsss! Hahahaha. Padahal kan udah lama pengen beli novel tetralogi Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer sama Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono. Hiksss.


Kapan Adek bisa beli buku ini, Bang? T_T
Sumber: http://cinta-buku.blogspot.co.id/2014/06/tetralogi-pulau-buru-pramoedya-ananta.html

Perhatian Ibu pun beralih ke bunga melati di depan kamar. “Ini melatinya kok kering ya, Pak? Pasti anak-anak males nyiram,” kata Ibu. “Apalagi ditinggal pas Lebaran itu,” kata Bapak. Ibu lantas memetiki daun-daun melati yang kering. Saya pun keluar dari kamar. Haduh, Ibu ini ada aja yang dikerjain. “Ini melatinya nggak pernah kamu siram ya?” tanya Ibu. “Ya kan kalau berbunga yang menikmati keindahannya semua. Kok yang disuruh nyiram cuma aku?” protes saya. “Tapi kan ini di depan kamarmu,” kata Ibu. “Ya udah. Tak ambilin air buat nyiram,” kata Bapak. Bapak pun mengambil air lalu menyiramnya.
Aaaaa, baiklah! Saya menyerah berdebat dengan mereka lalu masuk ke kamar dan guling-guling di kasur. Saat mereka masuk kembali ke kamar, saya tak tahan lagi untuk tidak “mengaum”. “Kalian itu kenapa sih? Kok kayaknya di mata kalian, semua yang ada di kamarku itu salah. Kesannya kamarku tuh jorok banget. Padahal aku tuh mending ya daripada temen-temen lainnya. Bantal udah ditata masih ditata lagi. Padahal kan emang aku natanya gitu,” kata saya agak sewot. Jadi ingat, dulu pernah main ke kos teman yang orangnya cantiiiiik, putiiiiih, mukanya cling bebas jerawat, kulitnya bersih bebas bekas koreng, tapi kamarnyaaaaa.... Sampai mikir, ini lantai udah berapa abad nggak disapu, kok warnanya sampai item, berbekas di telapak kaki kalau diinjak? Ini boneka sapi udah berapa tahun nggak mandi, kok warnanya jadi abu-abu? Ini tempat tidur udah berapa tahun nggak dirapiin, kok seprei sama selimutnya “untel-untelan” nggak jelas? Jadi, jangan tertipu dengan tampilan luar ya. Bisa jadi orang yang cantiknya sampai sulit didefinisikan itu aslinya jorok. Jangan mengambil kesimpulan sebelum melakukan inspeksi mendadak pada kamarnya. Hahahaha.
“Lho, kan pepatahnya Taruna ngungkuli bapa, anak itu harus melebihi orangtua,” kata Bapak. Ya tapi kalau orangtuanya rajinnya kebangetan, anaknya harus serajin apa lagi? Hiksss. “Maksudnya itu ya biar kamarnya rapi. Kalau kamarnya rapi kan ditempati nyaman,” kata Ibu. Hedew, kamarnya berantakan aja bawaannya pengen guling-guling di kasur terus, apalagi kalau rapi. Perdebatan kami pun berhenti karena tiba waktunya makan.
Setelah makan, tiba waktunya mereka pulang. Akhirnya mereka memutuskan naik bus jalur 3B dan akan turun di Prambanan setelah melalui perdebatan panjang. “Eh, nanti aku mau mampir Mirota sekalian ah, mau beli beras,” kata saya. Kami pun berjalan melewati “jalan labirin” menuju Mirota. “Kemarin itu aku bingung. Katanya disuruh turun Kopma. Di petunjuk itu nggak ada Kopma. Udah tak telusuri gambarnya sampai Giwangan nggak ada. Adanya Kompa UGM.” Apaaaaa? Kompa? Nah kan, typo itu bisa berakibat fatal. Untung saja orangtua saya tidak nyasar. Butuh tenaga editing? Hehehe. “Kirain Kompa itu pom bensin, ada tempat buat mompa gitu.” Hedeeew, tepuk jidat! Kopma itu tempat belanja, bukan pom bensin.
Typo bisa berakibat fatal :(. Baca poin 7, tertulis KOMPA UGM

Ketika melewati Mirota, tiba-tiba Bapak berkata, “Eh, aku pengen jambu biji.” “Ah, Bapak ini suka macem-macem lho!” kata Ibu. “Ya udah, nggak apa-apa, sekalian beli beras sekarang,” kata saya. Saya dan Ibu lantas masuk ke Mirota. “Udah, beli jambunya dua apa tiga aja. Nggak usah banyak-banyak,” kata Ibu. “Ini,” kata saya sambil memberikan kantong plastik berisi tiga buah jambu biji. “Kok cuma segini?” kata Bapak. “Banyak-banyak buat apa sih, Pak? Kita kan nggak punya kulkas. Ntar busuk,” kata Ibu. “Iya...iya...nggak jadi,” kata Bapak sambil tertawa. Hedeeew, tepuk jidat lagi. Saya lantas mengantarkan mereka ke shelter TransJogja. “Flazz card-ku saldonya habis. Ada uang receh nggak?” kata saya. “Ada kok,” kata Bapak. “Ya udah, aku pulang ya,” kata saya. Fiuuuh, akhirnya selesai juga acara “rerempongan” bersama mereka. Jadi, kalau ada yang penasaran kenapa saya suka heboh dan tidak bisa diam, itu murni faktor turunan.
Dalam perjalanan pulang, saya merenung. Jadi merasa bersalah kalau ingat kejadian di kos tadi. Agak jahat rasanya kalau saya marah-marah hanya karena mereka agak “ribet” dengan kamar saya. Kejam rasanya kalau saya justru merasa kena “musibah” kalau didatangi orangtua. Toh banyak teman-teman saya yang tidak bisa merasakan hal itu karena orangtua mereka tidak bisa sering-sering berkunjung karena satu atau beberapa hal, seperti jauhnya jarak kos dengan kampung halaman, kesibukan orangtua, dan tidak adanya biaya untuk mengunjungi anaknya. Pernah suatu hari saya mengajak ibu saya ikut ke Prambanan untuk melihat saya menari. Saya memperkenalkan ibu saya kepada teman-teman, lalu salah satu di antara mereka berkata dengan nada sedih, “Enak ya, Mbak, kalau nari ditemenin ibunya. Aku juga mau. Ibuku baru sekali ke sini waktu nganter pindahan. Mungkin ke sini lagi waktu aku wisuda nanti. Itu kan masih lama.” “Sabar ya, Sayang. Sini puk-puk dulu,” kata saya.
Eh, ngomong-ngomong gara-gara pernah kena “semprot” gara-gara menyia-nyiakan melati di depan kamar itu, saya jadi lebih sering ingat untuk menyiramnya. Alhamdulillah melatinya sudah bersemi lagi daunnya dan mulai berbunga. Jadi, kalau suatu saat main ke kos saya waktu malam dan tiba-tiba mencium bau bunga melati, tidak perlu takut karena di depan kamar saya memang ada bunga melati. Saya tidak sedang melakukan aktivitas mistik seperti santet, pelet, maupun ngepet. Tenang, saya mencari rezeki dengan cara halal kok. No ngepet, no njambret! Hehehe.
Melati di depan kamar :)

“Dalam hal jodoh, orang masih bisa memilih, tapi dalam hubungan anak dan orangtua, orang tidak bisa memilih. Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh orangtua seperti apa dan tidak bisa memilih melahirkan anak seperti apa,” 
Itu kata Feni Rose, presenter yang terkenal karena acara Silet, dalam salah satu acara yang dibawakannya. Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat ini. Andai bisa memilih, mungkin orangtua saya tidak akan memilih melahirkan anak seperti saya. Kalau tahu waktu besar anaknya jadi cerewet dan agak sableng, mungkin dari dulu saya sudah ditukar-tambah dengan anak yang lebih cantik, pendiam, pintar, penurut, dan manis. Hahahaha. Bercanda lho, Pak, Bu! Tapi, kalaupun bisa memilih, mungkin saya tidak akan memilih dilahirkan oleh orangtua lain. Saya tidak pernah membayangkan kalau dilahirkan dalam keluarga lain dengan keadaan saya yang seperti ini. Belum tentu saya bisa mengobrol dan bercanda tanpa beban layaknya dengan teman andai saya tidak dilahirkan oleh mereka. Karena begitu santainya kami, beberapa teman pernah berkomentar aneh tentang hubungan kami. “Kok kamu ngobrol sama orangtua berani gitu sih?” Eh...separah itukah? -_- Parahnya, suatu hari teman saya berkata, “Cieee, yang lagi telponan sama pacarnya.” Eh, ini bapakku woiii! Hahahaha.
Terlepas dari berbagai masalah yang wajar dialami oleh semua keluarga, terlepas dari segala konflik yang pernah terjadi antara anak dan orangtua, terlepas dari betapa “heboh” dan “ajaibnya” mereka, saya tetap harus bersyukur karena mereka tidak pernah menuntut banyak hal dari saya. Mereka tidak pernah menuntut saya punya prestasi akademik yang bagus, yang penting saya mengikuti pelajaran dengan baik. Tidak pernah menuntut saya untuk bisa masuk sekolah favorit, masuk kelas IPA, lalu kuliah di Fakultas Kedokteran layaknya impian banyak orangtua, yang penting serius dengan bidang yang saya pilih. Tidak pernah menuntut saya untuk punya IPK tinggi dan cum laude, yang penting saya mengusahakannya semaksimal mungkin. Tidak pernah melarang saya pulang malam gara-gara ikut kegiatan kampus, yang penting kuliah tetap prioritas utama. Tidak pernah menuntut saya untuk lulus cepat-cepat, yang penting tidak lewat batas waktu beasiswa (harus bayar sendiri kalau sampai semester 8 belum lulus). Tidak pernah menuntut saya punya karier cemerlang, jadi pegawai dengan gaji sangat tinggi, yang penting cukup untuk makan dan bayar kos, syukur-syukur bisa nabung. Tidak pernah menuntut saya untuk menjadi PNS, yang penting serius bekerja di mana pun tempatnya. Tidak pernah (atau mungkin belum, hehehe) menuntut saya untuk cepat-cepat memperkenalkan calon mantunya. Bagaimanapun, saya belajar banyak nilai kehidupan dari mereka. Merekalah yang menguatkan saya setiap ada masalah dengan berkata: 
“Kita memang tidak punya apa-apa, tapi kita sehat dan masih bersama. Hal terindah yang harus kita syukuri.”
Yuk, yang orangtuanya masih ada, luangkan waktu untuk menghubungi mereka. Sekadar SMS atau telepon semenit untuk menanyakan kabar mereka tidak akan mengurangi waktu kita untuk nongkrong-nongkrong bersama teman-teman kan? Percaya deh, mereka jauh lebih bahagia ketika barang sebentar kita “setor muka” daripada kita mengirimkan banyak barang dan uang, tapi tidak pernah datang. Ehm, ini apologi karena saya terkendala biaya sih. Hahahaha. Yang orangtuanya sudah ada di dimensi lain, yuk luangkan waktu untuk berdoa untuk mereka. Tanpa kita, mungkin mereka hanya akan merasa hidupnya hampa, tapi tanpa mereka, kita tidak akan pernah ada di dunia. Salam! J
I love my family ;)

Klaten, 17 September 2015 15.32


(ditulis untuk Bapak, Ibu, dan Mas Ari; diselesaikan sepulang dari RS Panti Rapih, dalam masa pemulihan selepas menjalani operasi FAM/fibroadenoma mammae)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

Benjolan di Payudara (Bagian 3): Opname dan Eksisi FAM (Fibroadenoma Mammae)