Panggil Aku Budhe Saja!

Pernah belajar di Fakultas Ilmu Budaya dan mempelajari linguistik meskipun tak jadi mahasiswa yang cemerlang-cemerlang amat nyatanya berpengaruh besar terhadap hidup saya. Kegiatan berbahasa menjadi tak lagi sederhana. Setiap kali ingin memproduksi tuturan lewat lisan maupun media apa pun, akan ada proses panjang dalam pikiran saya. Selalu ada pertimbangan pantas tidaknya dituturkan, siapa partner atau audiensnya, dan bagaimana korelasinya dengan latar belakang sosial saya sebagai penuturnya. Tentunya ini tidak berlaku ketika emosi saya meletup-letup hehehehe.

Dalam kajian linguistik, ada satu bidang yang spesifik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat penuturnya, yaitu sosiolinguistik. Segala hal yang ada di masyarakat akan membentuk variasi dalam bahasa. Misalnya, dalam hal pemilihan kata sapaan. Kata sapaan untuk tujuan penghormatan atau honorifik, misalnya pak, bu, tuan, nyonya, dll. akan kita pilih ketika berhadapan dengan orang yang kita hormati, entah karena usia, status sosial, keilmuan, atau hal lainnya.

Yang juga menarik bagi saya ialah pilihan orangtua untuk “mbasakke” anaknya kepada mereka. Pilihan seorang perempuan yang melahirkan atau punya anak lewat jalur lain—adopsi atau pakai ibu pengganti yang masih kontroversial di Indonesia—untuk dipanggil apa oleh anaknya juga sama rumitnya dengan pemilihan nama anak. Setiap panggilan, entah itu ibu, mama, mami, mommy, ummi, emak, ina, biyung, simbok, tentunya dipilih tak hanya sebatas “enak didengar”, tapi juga ada keinginan untuk membentuk citra atau menyesuaikan dengan kondisi sosial ekonominya.

Saya jadi berpikir. Kalau minta dipanggil bunda, kok karakter saya meledak-ledak gini. Jauh dari citra seorang perempuan yang anggun, bersahaja, dan penyayang. Minta dipanggil mama, kok saya tinggalnya tidak di kompleks perumahan elite di perkotaan, melainkan di sebuah desa di kaki Merapi perbatasan Klaten-Boyolali. Minta dipanggil ummi, kok saya ditanya tajwid saja masih grothal-grathul. Minta dipanggil mommy, kok ya bahasa Inggris saya medok sekali. Jadi, dengan panggilan apa saya mbasakke anak-anak saya nanti? Ya nanti kalau saya sudah bertemu dengan sang jodoh akan saya diskusikan, enaknya yang mana.

Nyatanya, meskipun hilal jodoh saya belum juga kelihatan, masalah mbasakke anak ini sudah saya alami sekarang. Selain dari sepupu-sepupu saya, saya juga mendapatkan “keponakan” dari kawan-kawan saya yang sudah nikah duluan. Belum lagi kalau ditambah “keponakan-keponakan online” seperti Kiano Tiger Wong, Rafathar, Gempita, dan lain-lain.

Momen memilih itu biasanya terjadi tatkala saya mendengar berita bahwa kawan saya itu baru saja dikaruniai bayi. Atau sekarang biasanya ada pengumuman resmi di media sosial orangtuanya dengan memajang foto si bayi beserta nama lengkap dan panggilannya juga keterangan-keterangan lain yang biasanya tercantum dalam sertifikat kelahiran dari rumah sakit atau bidan. Kalau saya dulu, kelahirannya diumumkan lewat bancakan brokohon dengan mengundang tetangga sekitar. Pun tidak ada pengumuman nama, wong nama itu baru diberikan di hari ke-5 atau sepasar. Tidak ada foto estetis seperti sekarang, apalagi keterangan berat badan dan panjang badan, wong saya lahirnya ditolong dukun bayi yang tidak punya meteran dan timbangan.

Nggak usah nanya, "Kenapa beli untuk anak orang mulu, beli buat anak sendiri kapan?" :P

“Selamat ya, Jeng, atas kelahiran buah hati pertamanya. Semoga (misalnya) Khayra Shaqueena Almeera Sumarno menjadi anak yang solihah, cerdas, dan berakhlak mulia.” Begitu yang biasa saya ucapkan. Kalau doanya kurang, bisa ditambah sendiri. Ucapan selamat ini biasanya akan dibalas dengan ucapan terima kasih berikut pilihan mereka untuk mbasakke anaknya kepada saya. “Aamiin. Terima kasih doanya, Tante Dewi. Cepetan nyusul  ya biar Shaqueen ada temen mainnya.” Hhm…ternodalah kegembiraan saya atas kelahiran “keponakan” saya ini.

Alih-alih memilihkan panggilan honorifik  seperti ibu, nyonya, atau nona, mereka pasti akan mbasakke anaknya dengan sapaan kekerabatan untuk membangun kedekatan dan kehangatan. Sapaan ini mungkin untuk “menahbiskan” saya sebagai bibi si bayi sekalipun kami tidak ada hubungan darah. Yang paling sering mereka pilih untuk mbasakke anaknya ialah tante, aunty, auntie, onty, bahkan ada yang menuliskan sesuai  bunyinya: onti! Secara jujur, saya pernah mengungkapkan kepada kawan saya bahwa saya keberatan dengan panggilan auntie. Semata-mata itu saya putuskan setelah proses ngilo githoke dhewe kalau kata orang Jawa alias instrospeksi diri. Sesungguhnya saya merasa tidak nyaman dengan panggilan itu, mengingat bahwa akar saya adalah wong ndeso.

Manusia itu kan tidak memiliki identitas tunggal. Ia menyandang banyak atribut dalam dirinya. Saya misalnya, punya atribut perempuan, beretnis Jawa, Islam, berpendidikan sarjana, berasal dari desa, pekerja “kantoran”, dari strata ekonomi menengah jelang ke bawah kalau tidak ingin disebut sobat missqueen.  Tentu saja tidak ada kata sapaan yang mengakomodasi semua atribut saya ini. Saya pun memilih untuk menonjolkan identitas saya sebagai perempuan Jawa dari kalangan menengah dan ndeso dengan panggilan yang mungkin sekarang sudah langka: bulik, akronim dari ibu cilik atau ‘ibu kecil’. Meskipun demikian, kadang-kadang saya juga dipanggil tante dan suka-suka saja.

Maka, ketika adik sepupu saya yang usianya jauh di bawah saya nikah duluan dan ndilalah kok cepat-cepat memberi saya keponakan dan awalnya mbasakke anaknya untuk memanggil auntie, dengan mantap saya berkata, “Panggil aku budhe saja!” Panggilan ini mungkin terdengar tidak nyaman di telinga, kuno, tidak up to date, dan ndeso bagi banyak orang sekarang.

Kalau kita melihat di sinetron atau FTV, mungkin sosok budhe ini dicitrakan sebagai perempuan yang usianya di atas 50 tahun, bersasak tinggi, ber-make up tebal, judes, nyinyir, dan lainnya. Amat berkebalikan tentunya dengan sosok saya yang masih ehem…imut ini. Ya…meskipun kadang-kadang saya juga judes dan nyinyir sih.

Terlepas dari segala citra kuno kata sapaan budhe, saya amat menyukainya. Bagi saya, panggilan ini justru memberikan efek positif. Selain terdengar sangat Jawa dan Indonesia banget, panggilan budhe membuat saya merasa dihormati meskipun tidak gila hormat. Saya jadi merasa dituakan meskipun belum tua-tua amat. Ya…biarpun satu per satu uban mulai bermunculan. Ishhhhh.  Barangkali kata sapaan bulik dan budhe ini merupakan sarana bagi saya untuk mematahkan pandangan bahwa sesuatu yang lokal itu ketinggalan.

Bukan berarti saya memandang negatif orang-orang yang mbasakke anak-anak kecil untuk memanggilnya om dan tante atau uncle dan aunty. Seperti halnya saya, mereka juga menyandang banyak atribut dalam dirinya. Barangkali di antara banyak atribut itu ada yang ingin ditonjolkan, misalnya world citizen, open minded, high educated, fasih berbahasa Inggris, dan status sosial ekonominya tinggi. Pesan saya hanya satu. Pilihlah kata sapaan itu dengan bijaksana setelah ngilo githoke dhewe supaya ora diguyu pitik.

Catatan:

Ngilo githoke dhewe: ‘melihat tengkuknya sendiri’, diartikan sebagai instrospeksi atau melihat kondisi diri sendiri.

Ora diguyu pitik: ‘tidak ditertawakan ayam’

 

Sabtu, 29 Mei 2021

Dewi Surani

Pekerja buku. Suka membaca buku karena dibayar.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair