Definisi Gagal


“Apa itu gagal?” tanya seorang teman. Dengan spontan saya menjawab, “Ketika kita terpuruk dan tidak mau bangkit.” Ah, sesungguhnya saya tidak terlalu ingin menjawab pertanyaannya, lantas berbicara tentang hal yang nantinya akan menjurus pada pembahasan tentang capaian-capaian dalam hidup. Sangat tidak layak sesungguhnya ketika ada seseorang yang meminta saya untuk memberi nasihat tentang mencapai cita-cita, mengingat saya tidak punya kapasitas untuk menyampaikan cerita-cerita penggugah semangat.
Sesungguhnya, sangat sulit untuk mendeskripsikan kondisi gagal. Semua sangat tergantung pada parameter dan pembandingnya. Tergantung pula dilihat dari sudut pandang siapa.
Dalam hal pendidikan, misalnya. Kalau yang dijadikan pembanding adalah teman-teman dekat saya yang sebagian besar studi lanjut sampai S-2, bahkan S-3 dan kuliah di luar negeri, ya saya ini gagal, wong ijazah saya mentok di S-1 yang itu jumlah lulusannya “umbukan”, tidak spesial. Kalau yang dijadikan pembanding adalah orang-orang yang bahkan pendidikan dasarnya pun tidak selesai karena persoalan finansial maupun lainnya, ya saya ini tidak gagal. Tidak menerima pertanyaan mengapa saya tidak lanjut kuliah dan mencari beasiswa lho ya. Hehehehehe.
Dalam hal percintaan, misalnya. Kalau yang dijadikan pembanding adalah teman-teman saya yang rata-rata sudah menikah dan punya anak 1–2, menjalani kehidupan rumah tangga yang live happily ever after ya saya ini belum berhasil. Jangan bilang gagal ah, hehehehehe. Kalau yang dijadikan pembanding adalah mereka yang menikah terlalu muda, lantas mengalami perpisah karena persoalan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga, ya saya ini sangat beruntung.
Dalam hal karier dan finansial, misalnya. Kalau yang dijadikan pembanding adalah teman-teman saya yang berkarier sebagai ASN, dosen, pegawai bank, pegawai BUMN dan perusahaan multinasional, punya gaji tinggi dan banyak aset seperti rumah dan kendaraan, ya saya ini gagal. Kalau yang dijadikan pembanding adalah mereka yang tidak punya penghasilan tetap, harus berjuang setiap hari demi sesuap nasi, tenaga yang digunakan tidak sebanding dengan pendapatan, ya saya ini sangat beruntung.
Semua orang boleh punya mimpi, tapi ada satu titik yang dinamakan kompromi. Sebuah titik ketika seseorang mulai berpikir tentang kondisi di sekitarnya. Bukan berarti saya meminta orang untuk memupus mimpinya lho ya. Hanya saja mungkin seseorang harus realistis tentang tentang jalan menuju mimpinya. Realistis ini tidak selalu berarti bahwa jalan lebih sulit. Bisa saja jalannya sebenarnya lebih mudah, hanya saja selama ini tidak disadari.
Titik kompromi itu terjadi ketika saya mulai bekerja, jelang usia 25 tahun. Saya jadi berpikir bahwa kompromi adalah proses dialami setiap orang. Untuk mengantar sampai pada titik ini, tentunya ada orang-orang yang berkompromi dengan mimpi-mimpinya sendiri. Giliran saya untuk melakukan kompromi dan tidak melulu memfokuskan perhatian pada diri sendiri.
Apakah saya sering merasa gagal? Tentu. Rasa ingin atau “baper” (terbawa perasaan) setiap melihat teman-teman mengunggah foto-foto tentang kegiatan mereka di media sosial itu kerap menghampiri. Akan muncul pernyataan, “Saya juga ingin seperti mereka.”, lalu pertanyaan, “Mengapa saya tidak bisa?”
Apakah dengan meratapi kegagalan diri sendiri, lantas masalah selesai? Tentu tidak. Saya harus sadar bahwa angan-angan itu kadang fana, sedangkan tagihan listrik, pulsa, internet, air, make up, dan skincare itu nyata. Kegagalan saya dalam menggapai cita-cita tidak lantas membuat saya bisa lepas tanggung jawab. Ada orangtua yang menunggu saya di depan mata. Segagal-gagalnya saya, ya mereka tetap tanggung jawab saya. Mereka akan menua dan menurun produktivitasnya sehingga butuh dukungan dari saya.
Jalan keluarnya? Ya fokus saja dengan kegiatan yang saya lakukan sekarang. Bekerja, berdoa, berbahagia seperti biasanya. Mencoba “ngayem-ayemi” diri sendiri dengan pepatah Jawa “urip iku sawang sinawang”, aku nyawang kowe, kowe nyawang dekne (‘aku melihat kamu, kamu melihat dia’), eaaaaaa. Kalau tidak, ya itu akan menjauhkan saya dari rasa syukur. Membuat saya lupa bahwa semua orang sebenarnya punya masalah, bentuknya saja yang berbeda. Seperti apa pun keluargamu, syukuri saja. Mungkin mereka membuatmu tumbuh menjadi orang yang penuh cinta atau menempamu menjadi pribadi yang kuat. Salam!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair