[Cerpen] Reuni di Blora

“Mas, sempatkan mampir rumah ya, besok,” kata Asih, istriku sambil membantuku mengepak barang-barang yang akan kubawa untuk reuni dengan teman-teman SMA. “Sepertinya tidak sempat, Sih. Reuninya kan di Cepu. Lumayan jauh kalau aku harus ke Jiken,” kataku. “Bukan ke Jiken, Mas, tapi ke Balun….” Suara Asih melirih ketika menyebutkan tempat itu. “Balun kan dekat stasiun, Mas.”
Aku terdiam. Sudah begitu lama aku tidak mendengar, lebih tepatnya tidak ingin mendengar nama daerah itu. Terlebih lagi berhubungan dengan orang-orang yang tinggal di salah satu rumah di Balun, keluarga Kuncoro. Layaknya orang yang merantau ke Jakarta, setiap Lebaran kami punya ritual mudik. Bagiku, mudik ke Blora itu berarti ke Jiken, ke rumah keluarga istriku, bukan ke rumah keluarga Kuncoro di Balun.
“Besok kan peringatan seribu hari Bapak. Ada baiknya ke sana, Mas,” lanjut Asih. Aku bukan tak tahu atau lupa. Itu sudah jadi pembicaraan di grup WhatsApp “Keluarga Kuncoro” beberapa hari ini. Kakakku, Mas Pramono yang memasukkanku dan istriku ke grup itu, tapi kami berdua selalu jadi pendengar dalam sunyi. Tak pernah bersuara. Aku hanya tak bisa membayangkan akan jadi secanggung apa suasananya kalau tiba-tiba hadir seorang Pambudi Kuncoro, si anak bungsu yang pergi dari rumah sejak menikah hingga punya dua anak beranjak remaja.
Kulepas kacamataku, lalu aku berbaring di kasur. Kupejamkan mataku untuk mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan bersama Bapak. Di antara kami bertiga, Mas Pramono, Mbak Pramesti, dan aku, akulah yang semasa kecil paling dimanjakan oleh Bapak. Usiaku memang terpaut jauh dari Mas Pram dan Mbak Esti, selisih sepuluh dan delapan tahun. Bapak dan Ibu pikir anaknya hanya dua, sampai akhirnya aku lahir dan seolah mereka punya “mainan” lagi.
Keluarga kami cukup berada. Bapak adalah seorang pegawai perusahaan negara di bidang minyak dan gas bumi. Seperti sudah menjadi kredo, orang Blora itu kalau tidak bekerja di bidang perminyakan, paling ya di bidang kehutanan, pertanian, atau menjadi pegawai negeri sipil. Kami tinggal di perumahan yang cukup bagus di masanya. Untuk urusan uang, aku tak pernah kekurangan.
Hidupku berubah pada satu hari di bulan Agustus 1992, ketika aku bertemu Mas Jatmiko, kakak sepupuku ketika aku masih berusia 14 tahun, kelas 3 SMP. Mas Jatmiko adalah seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Dia menunjukkan novel Bumi Manusia kepadaku. “Baca ini, Bud. Kamu tahu, penulis ini hebat dan dia lahir di tanah yang sama dengan kita, Blora. Tulisan-tulisannya menggemparkan dunia, menyadarkan orang tentang kemanusiaan. Pemuda-pemuda seperti kita ini yang akan menggerakkan perubahan, melawan ketidakadilan. Seperti Minke.” Aku tak terlalu paham kata-kata Mas Jatmiko, tapi aku membawa buku itu.
Berhari-hari aku larut dalam keasyikan membaca buku itu. Sepulang sekolah aku akan cepat-cepat makan, lalu ke kamar dan membacanya. Hanya keluar untuk keperluan makan atau ke toilet. Sepertinya Bapak curiga dengan perubahan sikapku.
Hari penuh bencana itu tiba. Bapak sangat murka ketika mendapatiku sedang membaca buku itu. Bapak merebutnya dan bergegas keluar ke halaman belakang rumah. Aku mengejarnya. “Pak…mau diapakan buku itu?” teriakku.
“Dari mana kamu dapat buku ini?” tanya Bapak. “Dari…dari…Mas Jatmiko.” “Jauhi dia! Mau ikut-ikutan seperti dia? Dibiayai kuliahnya malah nggak jelas. Luntang-lantung, kumpul-kumpul ngomongin hal nggak bermanfaat.” Bapak menyobek-nyobek buku itu. Air mataku mulai mengalir. “Kamu mau ikut-ikutan melawan pemerintah? Mau ikut-ikutan jadi kiri? Mau kalau bapakmu dicap komunis? Mau kalau bapakmu kehilangan pekerjaan dan harga dirinya? Mau kalau bapakmu dicap tidak bersih? Mau kalau keluargamu hancur, hah?!?” Dengan kejam Bapak membakar sobekan buku itu.
Aku masih tak paham dengan yang Bapak katakan. Sebesar apa salahku yang hanya membaca buku hingga Bapak semurka itu? Yang aku tahu, sejak hari itu Bapak sudah berbeda. Bapak sudah merampas kebebasanku, bahkan hanya untuk membaca sebuah buku. Aku tak sempat meminta maaf kepada Mas Jatmiko tentang buku itu karena aku mendengar kabar bahwa Mas Jatmiko pindah kuliah entah ke mana karena orangtuanya tidak suka dengan kegiatannya sebagai aktivis.
Bapak semakin ketat mengawasi kegiatanku. Aku tidak boleh pergi-pergi hingga larut malam. Aktif dalam kegiatan sekolah pun dibatasi. Aku tidak boleh ikut dalam kegiatan sedikit berbau politik seperti OSIS. Aku selalu menghitung waktu, kapan aku bisa pergi sejauh mungkin dari kekuasaan Bapak. Sebaris pengumuman di koran pada pertengahan tahun 1995 bahwa aku diterima di Fakultas Sastra UGM menjadi tiket kebebasanku. Akhirnya aku menghirup udara segar meskipun konsekuensinya aku harus bekerja keras dan hidup sederhana. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang Bapak.
“Bagaimana kuliahmu?” tanya Bapak setiap kali aku pulang. “Baik,” jawabku singkat. Tak ada pembicaraan hangat seperti dulu. Hingga akhirnya aku pulang untuk pamit kepada keluarga besar bahwa aku akan merantau ke Jakarta untuk menjadi seorang wartawan di sebuah surat kabar. “Dulu Bapak pikir kamu akan bekerja di perusahaan minyak dan gas, menjadi salah satu komisarisnya. Atau mungkin meneruskan usaha mebel keluarga kita. Bapak sangat berharap padamu karena kamulah yang paling pintar di antara saudara-saudaramu.” “Tidak semua hal bisa berjalan atas kehendak Bapak. Saya memilih jalan lain. Harus ada tradisi baru dan sayalah yang memulainya.”
Sampai saat aku menikahi Asih, kawanku semasa SMP pun Bapak terkesan acuh tak acuh. Kawan-kawan Bapak biasanya akan menggelar wayangan dan tayuban sehari semalam untuk merayakan pernikahan anaknya. Untuk anak terakhir, bahkan acara bisa dibuat besar-besaran. Tak ada pembicaraan soal acara boyongan atau ngundhuh mantu. Tradisi mengirim makanan untuk pengantin laki-laki yang sedang “menginap” di rumah mertua sebelum acara boyongan pun tak ada. Aku tak butuh waktu lama-lama untuk memastikan tidak akan ada acara sambutan bagi Asih sebagai anggota baru di keluarga Kuncoro. Aku tak bisa melihat Asih bersedih karena merasa tak diterima. Segera kuboyong Asih ke Jakarta.
Tak ada komunikasi lagi antara kami sejak saat itu. Hanya sesekali kakak-kakakku atau ibuku yang menghubungi Asih sekadar menanyakan kabarku, istriku, dan anak-anakku. Sampai akhirnya tiga tahun yang lalu aku mendengar kabar bahwa Bapak mengembuskan napas terakhirnya di RSUD R. Soeprapto, Cepu. Aku sedang berada di luar negeri untuk sebuah liputan, berada ribuan kilometer dari Blora. Jet pribadi pun tak bisa mengejar waktu pemakamannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya.
Kereta berhenti di Stasiun Cepu dini hari. Kuhirup kuat-kuat udara di tanah kelahiranku itu. Aku berjalan menyusuri jalan-jalan yang dulu sangat kuhafal tiap lekuknya. Tempatku semasa kecil adu balap sepeda dan keliling kampung membangunkan orang sahur bersama teman-temanku. Sungguh sepi. Waktu orang-orang sedang tertidur dengan pulasnya.
Aku sampai di satu rumah berpagar tinggi dan bercat putih. Ragu-ragu aku memencet bel. Apakah ada orang yang masih terjaga di waktu ini? Pukul 1 malam. Aku hampir beranjak pergi kalau tidak mendengar suara langkah kaki menuju pagar. Seorang penjaga rumah lari tergopoh-gopoh.
“Maaf, Pak. Malam-malam begini kok bertamu? Bapak ini siapa ya?”
Ah…dia pasti belum lama bekerja di sini hingga tidak mengenalku. Belum lama? Hhm…tak kusadari hampir lima belas tahun yang lalu terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah ini. “Ada Mas Pram atau Mbak Esti? Bilang kalau Pambudi datang,” kataku. Si penjaga kembali masuk rumah. Mungkin membangunkan salah satu orang rumah.
Aku menunggu beberapa saat. Si penjaga kembali bersama seseorang. Ah, Mas Pram, kakakku yang pertama. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.
“Bud….” kata Mas Pram ragu. Dia terdiam sesaat. “Ayo masuk.”
Kami berdua duduk di teras samping. Sungguh sulit memecah suasana canggung dan sepi ini. Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
“Lima belas tahun, Bud,” kata Mas Pram. “Lima belas tahun kamu meninggalkan rumah ini. Meninggalkan keluarga ini. Bahkan menghadiri pemakaman Bapak pun kamu tidak mau.”
“Bukan tidak mau, Mas. Waktu itu aku sedang di luar negeri. Tidak bisa mengejar waktu pemakaman.”
“Tapi kamu tahu kan kalau Bapak sakit? Setidaknya menjenguk Bapak sekali. Sekadar mencairkan ketegangan kalian selama bertahun-tahun.”
“Buat Bapak, aku ini cuma anak pembangkang. Anak liar yang harus dijinakkan.”
Mas Pram menggeleng-geleng. “Kalian sudah sama-sama menua. Kamu bukan anak kecil lagi, Bud. Kamu bukan lagi aktivis gerakan mahasiswa yang menuntut rezim penguasa lengser. Toh Reformasi yang kalian cita-citakan sudah terwujud. Kamu tinggal seorang manusia biasa, seorang anak, juga sudah jadi seorang bapak. Kamu tentunya tahu bagaimana pedihnya ketika seorang bapak tak akur dengan anak-anaknya dan itu terjadi bertahun-tahun, Bud.”
“Mas, aku sudah berusaha menurunkan egoku. Sudah berusaha mengembalikan wibawa Bapak dengan melibatkannya dalam pernikahanku dengan Asih. Tapi Bapak tidak menunjukkan sambutannya kepada Asih. Bapak boleh tidak menganggapku, tapi apa salah Asih hingga tidak memedulikannya sebagai menantu?”
“Bapak selalu mengharapkan kedatanganmu. Ketika kami datang saat Lebaran, pasti Bapak menunggu kami semua masuk. Lalu berdiri lama di pintu, berharap kamu beserta istri dan anak-anakmu datang. Tapi kamu tidak pernah muncul. Hingga akhir hayatnya, ketika sudah tidak bisa berbicara, Bapak masih tetap mengangguk ketika ditanya apakah masih menunggu Pambudi. Bud, kamu tidak pernah tahu bahwa seumur hidupnya, Bapak menyimpan rasa bangga padamu, sekaligus ketakutan.”
Aku menatap Mas Pram. Bagaimana mungkin Bapak merasa bangga padaku? Dia selalu berkata bahwa aku anak bandel, tidak bisa diatur, berbuat semaunya.
“Hari kamu berangkat ke Jogja adalah waktu yang berat bagi Bapak. Melepasmu ke Jogja bukan perkara gampang. Entah apa yang akan terjadi padamu di sana karena kami sudah tidak bisa mengawasimu.”
“Mei 1998 adalah masa-masa paling berat dalam hidup Bapak. Tiap malam Bapak tidak bisa tidur. Koran dan televisi memberitakan gerakan mahasiswa yang makin agresif. Mulai terjadi bentrokan dengan aparat. Puncaknya 8 Mei. Bapak menelepon teman-temannya yang ada di Jogja yang menjadi polisi dan tentara. Menanyai mereka satu-satu apakah mereka melihatmu, apakah kamu sempat terlibat atau bahkan terluka dalam bentrokan itu. Setiap hari Bapak melihat berita di koran dan televisi, memastikan bahwa namamu tidak disebutkan dalam berita sebagai korban atau mahasiswa yang perlu diamankan. Bahkan Bapak berniat menyusulmu ke Jogja, tapi dibatalkan karena kondisi Bapak saat itu sedang tidak fit. Bapak baru bisa bernapas lega ketika kamu menelepon Ibu dan berkata bahwa kondisimu baik-baik saja dan kamu berhasil kabur dalam bentrokan itu.”
“Bud…kau tahu, Bapak selalu membaca tulisan-tulisanmu. Sering sekali Bapak berkomentar, ‘Si Budi ini kerjaannya kritik orang terus. Nyalahin pemerintah terus. Mbok kalau nulis itu jangan terlalu keras.’ Kepada teman-temannya, Bapak sering cerita kalau anaknya ikut Reformasi, ikut dalam peristiwa bersejarah di negeri ini. Lalu jadi wartawan, sering bertemu orang penting.”
“Bapak tidak pernah mengatakannya, Mas. Bagaimana mungkin aku tahu? Bapak tidak pernah mau memahami ide-ideku.”
Mas Pram menepuk pundakku. “Bud…sepanjang hidupnya, Bapak merasakan dilema menghadapimu. Di satu sisi, Bapak sangat bangga karena kamu dulu di usia muda sudah berani mengungkapkan keresahan-keresahan atas bangsa ini. Bapak tidak punya keberanian sebesar kamu meski sebenarnya juga menyimpan keprihatinan. Tapi bagaimanapun, Bapak tetaplah seorang bapak yang mengkhawatirkan anaknya, takut kalau pemikiran-pemikiranmu akan membahayakan dirimu sendiri. Betapa sering di zaman itu orang yang kritis tiba-tiba hilang atau ditemukan tidak bernyawa. Perpisahan secara batin sudah cukup membuatnya tersiksa. Andai perpisahan secara lahir benar-benar terjadi, itu akan jadi kehilangan terbesar dalam hidupnya. Bud…Bapak tidak pernah membencimu. Bapak hanya terlalu mengkhawatirkanmu.”
Sesaat Mas Pram masuk, kemudian kembali dengan membawa sebuah album foto. Mas Pram memberikannya kepadaku, lalu meninggalkanku sendiri. Kubuka perlahan-lahan album foto itu. Ada fotoku bersama Bapak ketika masih kecil. Kubuka lagi, ada foto-fotoku ketika beranjak remaja, seterusnya hingga foto terakhir adalah foto sekeluarga ketika aku menikah dengan Asih. Di halaman selanjutnya ada potongan artikel pertamaku di surat kabar tempatku bekerja. Disusul artikel-artikel lain yang kudapatkan lewat wawancara dengan beberapa tokoh penting di negeri ini. Sungguh rapi Bapak menyusunnya. Kurasakan kacamataku basah dan mulai buram. Kulepas lalu kuhapus air mataku. Rasa sesak dari dadaku menjalar ke tenggorokan.
Kuraih ponsel di meja. Pukul 03.15. Kubuka grup WhatsApp “Alumni Cepu 95”. Kuketik pesan.
“Teman-teman, mohon maaf sekali. Saya tidak jadi ikut acara reuni karena di rumah Balun ada acara kirim doa untuk seribu hari berpulangnya Bapak. Semoga lain kali saya bisa ikut. Terima kasih.”

Kuletakkan ponselku, lalu kudekap erat album foto itu, berharap dapat membayangkan dekapan hangat dari Bapak. Reuni di Blora itu tidak batal. Reuni bersama kenangan Bapak inilah yang sebenar-benarnya reuni, mengumpulkan kembali apa yang telah berserak antara kami berdua.

Yogyakarta, 12 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair