Hari Kartini: Merenungkan “Kodrat” Macak, Masak, Manak
21 April di Indonesia diperingati
sebagai Hari Kartini. Biasanya anak-anak kecil di sekolah atau karyawan di
beberapa institusi merayakannya dengan memakai pakaian adat. Akan tetapi,
sebenarnya makna Hari Kartini lebih dari itu. Hari Kartini hendaknya dimaknai
dengan mengenang kembali perjuangan Kartini dalam bidang pendidikan dan pemenuhan
hak-hak perempuan.
Raden Ajeng Kartini atau lebih
tepatnya Raden Ayu Kartini (karena saat meninggal sudah berstatus menikah, jadi
gelarnya Raden Ayu) adalah seorang putri Bupati Jepara, lahir di Jepara 21
April 1879, menikah dengan Bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, dan meninggal di Rembang 17 September 1904 setelah
melahirkan anak pertamanya (hasil baca di Wikipedia hehehehe). Pada usia
kanak-kanak Kartini sempat mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere
School), tetapi sejak usia 12 tahun dipingit. Akan tetapi, dengan kemampuannya
berbahasa Belanda, Kartini belajar
sendiri dengan membaca berbagai buku, koran, majalah, dan jurnal Eropa sehingga
pikirannya maju dan berkeinginan untuk mengangkat derajat perempuan pribumi
lewat pendidikan. Pada masa itu perempuan memang tidak berkesempatan mengenyam
pendidikan hingga jenjang tinggi layaknya laki-laki. Kartini memang tidak
berjuang mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan kolonial, tetapi berjuang
melawan kebodohan yang efeknya juga tidak kalah signifikan.
“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus
terbang sebebas-bebasnya.”
(Kartini dalam film Kartini)
Bicara tentang Hari Kartini tidak
lepas dari isu gender. Gender dan sex (jenis kelamin) itu berbeda. Secara
sederhana, gender
dipahami sebagai konstruksi sosial yang membedakan peran berdasarkan jenis
kelamin. Sementara itu, sex (jenis
kelamin) adalah
pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan sistem organ reproduksinya. Jadi, ketika
berbicara tentang gender, tentunya yang dibahas adalah masalah sosial, misal
hak atas pendidikan, hak berpendapat, dan hak atas ekonomi. Ketika berbicara
tentang sex, tentunya hal-hal yang
dibahas adalah perkara biologis, bawaan, misal masalah kesehatan reproduksi.
Karena merupakan konstruksi sosial, peran dalam gender dapat dipertukarkan.
Misal, dalam kehidupan berumah tangga idealnya (ideal menurut siapa ya?) suami
yang bekerja mencari nafkah, tetapi dalam keadaan tertentu, misal suami sakit
atau belum mampu mencukupi kebutuhan, istri bisa berperan dalam menafkahi
keluarga. Dalam sex, peran tidak
dapat dipertukarkan karena bersifat kodrati. Yang bisa melahirkan dan menyusui
ya perempuan karena memiliki rahim dan payudara yang kelenjar air susunya aktif
seusai melahirkan. Yang bisa membuahi ya laki-laki karena dia punya testis yang
memproduksi sperma. Saya tidak berbicara tentang transgender atau transseksual
lho. Hehehehe. Itu bisa beda lagi dan lebih panjang urusannya.
Sebagai seseorang yang terlahir dan tumbuh dalam lingkungan
budaya Jawa, saya mengamati sistem gender dalam masyarakat Jawa yang tentunya
mengalami perubahan dari masa ke masa. Masyarakat Jawa pada masa lampau
mencitrakan perempuan ideal itu yang bisa 3 M, “macak, masak, manak” (berhias, memasak, dan melahirkan), ruang
geraknya hanya di ranah domestik, seputar kasur, sumur, dapur (memenuhi
kebutuhan rohani suami, mencuci, dan memasak). Apakah nilai ini salah dan sudah
tidak relevan dengan zaman sekarang? Saya rasa tidak salah, hanya pemikiran
kita yang tidak boleh sempit dalam memaknainya. Toh nilai-nilai dalam kehidupan
masyarakat itu bersifat dinamis.
Citra perempuan ideal sangat dimungkinkan mengalami perubahan
dan sifatnya sangat relatif. Jadi, ketika seorang teman berkata, “Kamu cewek banget
sih.” ketika melihat saya yang suka memasak, make up, dan mengoleksi banyak
perlengkapan menjahit dan merajut, saya sesungguhnya agak sedih. Girls, tidak perlu berkecil hati. Hanya
karena kamu tidak bisa menjahit kancing baju, menggambar alis, dan membedakan
mana jahe mana kencur tidak akan membuat identitasmu sebagai perempuan
diragukan kok. Mungkin kamu punya kelebihan lain yang tidak semua orang miliki.
Tidak masalah jika kamu tidak bisa membedakannya, girls! :) |
Macak
Perangkat macak |
Apakah perempuan wajib bisa macak (berdandan/berhias)? Saya rasa baik laki-laki maupun
perempuan wajib punya keterampilan macak.
Mari kita ubah pandangan tentang macak.
Macak perlu kita maknai secara luas, bukan hanya sekadar tentang menggambar
alis yang simetris, memasang bulu mata palsu, atau menggambar garis mata
bersudut lancip dan bersayap. Keterampilan merawat diri supaya tetap bersih dan
sehat, cara berpenampilan yang rapi, dan berperilaku yang santun agaknya perlu
kita masukkan dalam aspek macak.
Apakah laki-laki perlu punya skill macak? Perlu sih,
asal tidak berlebihan. Skill tentang mix and match warna baju, memilih baju yang sesuai dengan suasana, menjaga
kebersihan dan kerapian diri juga penting lho. Bohong besar kalau hati saya “baik-baik
saja” kalau melihat laki-laki bersih, rapi, wangi, perilakunya sopan, tutur
katanya santun, tidak “waton njeplak”
(asal bicara) atau “kakehan misuh”
(kebanyakan mengumpat) hahahaha. Tolong bawakan saya yang semacam ini, satu
saja cukup. Hehehehe.
Jadi, kesimpulannya macak
itu wajib buat siapa saja, tetapi standarnya yang mesti kita ubah. Menurut saya,
tidak masalah kalau perempuan tidak bisa memakai berbagai peralatan make up asal dia tetap berpenampilan
rapi, bersih, tidak awut-awutan, dan bisa membawa diri dengan baik. Itu pendapat
saya lho yaaaaa. Kamu berhak punya standar berbeda.
Masak
Apakah perempuan wajib bisa masak? Menurut saya, baik
laki-laki maupun perempuan itu perlu punya skill
memasak karena makan merupakan kebutuhan jasmani yang mendasar bagi manusia.
Teruntuk para laki-laki, ingatlah bahwa istri, ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, atau asisten rumah tangga kalian tak selalu sehat. Satu waktu mungkin
mereka jatuh sakit atau ada keperluan lain sehingga kalian harus
menggantikannya menyiapkan makanan. Mungkin satu waktu kalian harus bertualang mendaki gunung, lewati
lembah, menyusuri sungai yang mengalir indah dan tidak memungkinkan bisa delivery makanan. Mungkin saja satu
waktu kalian mesti belajar atau bekerja di salah satu sudut dunia dan tiba-tiba
homesick dan merindukan masakan emak atau
harga makanannya sangat mahal sehingga kalian mesti berhemat demi menabung
untuk ongkos pulang. Tak harus masakan yang rumit-rumit, asal bisa menyelamatkan
kalian dari bahaya kelaparan dan malnutrisi pun cukup.
Satu waktu saya pernah
mendengar seorang bapak, tetangga saya, mengeluh begini, “Aku ini laki-laki.
Masa disuruh marut kelapa buat bikin pesanan kue istriku?” Zzzzz. Ingin rasanya
saya mendebat bapak ini. Dari mana asalnya maskulinitas laki-laki luntur hanya
karena memarut kelapa? Nah itu banyak koki-koki yang gondrong, tatonya di
mana-mana, tampang serem ala bad boy
tapi mainannya panci sama penggorengan. Lagi pula, pekerjaan memasak profesional
itu cukup berat dan menguras banyak tenaga, harus angkat-angkat, panas, berdiri
lama sehingga banyak laki-laki yang mendalami bidang kuliner.
Manak
Kalau untuk yang satu ini, saya tidak berani berkomentar
banyak karena saya sendiri belum memfungsikan seluruh organ reproduksi saya
secara maksimal (belom kawiiiiin! hahahaha).
Berdasarkan pengamatan saya terhadap lingkungan sekitar, pada akhirnya saya
berkesimpulan bahwa perkara “manak”
itu harus diperhatikan secara total, mulai dari proses pembuahannya, merawat
anak dalam kandungan, melahirkan, merawat anak, hingga mengurus pendidikannya. Tanggung
jawab siapa? Ya berdua lah, kan anak emak itu juga anak bapak.
Anak ibu dan bapak, anak berdua yaaa :) |
Entah sudah berapa kali saya mendengar cerita tentang
pasangan yang tidak kunjung mendapatkan keturunan, padahal sudah menikah
beberapa tahun. Sedihnya, yang sering mendapatkan pandangan miring dari
orang-orang sekitar adalah pihak perempuan. Lebih mirisnya lagi, ada yang
suaminya tidak kooperatif dalam mengusahakan keturunan. Duh Gusti, manusia itu
mendapatkan keturunan lewat proses fertilisasi, bukan membelah diri. Jadi, baik
suami maupun istri ikut berperan dalam masalah kesehatan reproduksi.
Lebih sedihnya lagi, ada orangtua yang masih berpendapat
bahwa untuk sekadar bisa “macak, masak,
manak”, seorang anak perempuan tak harus mengenyam pendidikan tinggi. Saya pernah
mendengar sendiri saat ibu saya bertanya kepada seorang anak yang sudah lulus
SMP tentang kelanjutan studinya. Sakit sekali rasanya saat dia berkata, “Nggak
sekolah. Kata Bapak, perempuan mau sekolah tinggi-tinggi nanti juga akhirnya di
dapur.” Duh Jeng, ini abad 21. Persaingan sudah semakin ketat, tuntutan
hidup semakin hebat. Dengan berpendidikan, seorang ibu bisa melahirkan dan
mendidik generasi yang cerdas intelektual, emosional, sosial, spiritual.
Perempuan juga harus berpendidikan ya :) |
Saya tidak ingin berdebat
tentang ibu bekerja vs ibu rumah tangga, popok kain vs pospak, atau ASI vs susu
formula karena saya masih fakir ilmu soal berumah tangga (halaaaaah). Saya sih
berada di tengah-tengah saja. Mau bekerja silakan, jadi ibu rumah tangga
silakan. Yang penting keluarga tetap terurus. Tak mengapa jika seorang
perempuan berpendidikan akhirnya bekerja di ranah domestik, yang penting sebelumnya
dia sudah pernah ke hutan belok ke pantai seperti Rangga dan Cinta, eh
maksudnya sempat mengenyam pendidikan dan mendapatkan pengalaman di luar sehingga
menjadi perempuan berpikiran maju. Tak mengapa jika dia harus lebih banyak
menghabiskan waktu di dapur. Mungkin dia tak hanya bisa memasak sayur lodeh dan
sambel terasi. Mungkin dia bisa masak sushi, teppanyaki, caviar, dan fusili.
Percayalah bahwa perempuan juga bisa berkarya, berkontribusi untuk bangsa ini,
tak hanya bisa “macak”, “masak”, “malak” eh...“manak”. Salam
dan semangat Kartini! J
Ayo buruan manak...hahaha
BalasHapusPesan hari kartini tahun ini masih di persamaan gender ya. Kayanya bisa maju ke hal lain misalnya gmn menjadi perempuan modern yg tdk sepenuhnya modern..
Belom ada yang ngajakin manak 😂 Membelah diri aja gimana? Hahahaha. Kesetaraan gender kayaknya masih relevan, masih banyak perempuan yang belum terpenuhi haknya. Maksudnya modern yg tidak sepenuhnya modern itu gimana dok?
Hapus