[Novel] Hujan Bulan Juni: Karena Hujan Selalu Membawa Cerita
Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: Desember 2015 (cetakan ke-6)
ISBN: 978-602-03-1843-1
Jumlah halaman: 135 hlm.
Saya “berkenalan” dengan Sapardi Djoko Damono (SDD) saat duduk di
kelas X SMA lewat baris puisinya yang melegenda “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Agaknya kata sederhana yang diungkapkan penyair yang
gemar menyisipkan kata hujan dalam
puisinya ini mengandung paradoks. Nyatanya dalam acara peluncuran novel Hujan Bulan Juni, SDD justru menyatakan bahwa permasalahan dalam kehidupan manusia
yang paling dahsyat adalah masalah kasih sayang. Hal ini direkam oleh semua
sastrawan, karya sastra pasti mengandung masalah ini. Kebudayaan sesungguhnya
didasari oleh komunikasi dan komunikasi yang paling dahsyat adalah komunikasi
antara laki-laki dan perempuan. Setiap orang pasti punya kisah yang unik dalam
kehidupan cintanya. Eh, tapi jangan tanya kisah cinta saya seperti apa ya.
Ceritanya membosankan dan tidak menarik untuk diceritakan. Hehehe.
Hujan Bulan Juni sudah mengalami beberapa kali peralihan
wahana, mulai dari puisi, komik, lagu, dan kini dalam bentuk novel. Saya
lumayan terlambat mengapresiasi karya ini dalam bentuk novel karena sebenarnya
sudah diluncurkan pada Juni 2015, sementara saya membelinya pada Desember 2015,
sudah mengalami enam kali cetak ulang. Itu pun karena sedang ada diskonan di
Togamas, pun karena kehabisan novel Bumi
Manusia yang sudah lama saya impikan. Duh, maafkan ya! :’( Dari segi
tampilan, novel ini cukup menarik. Desain sampulnya seolah menyampaikan
visualisasi hujan lewat judulnya yang terlihat luntur, seperti tinta terkena
air. Ukurannya pun tipis, hanya 135 halaman, tidak seperti novel-novel lain
yang kadang ketebalannya sudah membuat pembaca awang-awangen. Bagian isinya menggunakan jenis kertas book paper, tidak silau dan agak kasar
sehingga membuat mata tidak cepat lelah.
Novel Hujan Bulan Juni bercerita
tentang kisah cinta dua tokoh utama bernama Sarwono dan Pingkan. Keduanya
adalah dosen muda di Universitas Indonesia, latar tempat utama cerita
berlangsung. Menado, Gorontalo, dan Surakarta juga menjadi latarnya. Almamater saya, Universitas Gadjah Mada, Kampus (yang katanya)
Biru dan Yogyakarta hanya menjadi bagian sangat kecil pendukung latar. Ya sudah, tidak
apa-apa. Toh sudah ada novel Cintaku di
Kampus Biru, tapi belum ada Cintaku di Kampus Kuning/UI. Yeyeyeye!
Sarwono dosen di Prodi Antropologi, sedangkan Pingkan di Prodi Sastra Jepang.
Pingkan dan Sarwono sama-sama muda dan cerdas. Pingkan memiliki
semua citra perempuan ideal yang digambarkan dalam iklan. Dia cantik, cerdas,
kariernya bagus, ceria, ramah. Namun, apakah kisah cinta mereka lurus lempeng
seperti jalan tol? TIDAK! Kisah cinta mereka tetap terbentur masalah klasik
sepanjang masa: perbedaan! Antara Sarwono yang Islam dan beretnis Jawa dan
Pingkan yang Kristen dan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
identitas kulturalnya. Selain itu, Sarwono juga punya saingan berat. Pertama,
Pak Tumbelaka, dosen UNSRAT yang baru saja lulus dari Amerika, tampak begitu
tertarik dengan Pingkan sekalipun Pingkan sudah memperkenalkan Sarwono sebagai
calon suaminya, dan digadang-gadang oleh tante-tantenya dari keluarga Pelenkahu
untuk menjadi calon mantu. Kedua, Katsuo, mahasiswa dari Kyoto yang belajar BIPA
dan melanjutkan ke Pascasarjana Linguistik UI. Celakanya, Pingkan akan dikirim
oleh Prodi Sastra Jepang untuk melanjutkan kuliah di kampusnya Katsuo.
Agaknya masalah yang dialami Pingkan dalam mengidentifikasi latar
belakang kebudayaannya ini dialami hampir semua anak yang berasal dari
pernikahan beda budaya dan keluarga perantau. Ayahnya berasal dari Menado,
bermarga Pelenkahu, sedangkan ibunya berasal dari Jawa, tetapi dibawa
orangtuanya merantau ke Makassar. Pingkan dan kakaknya dibawa orangtuanya ke
Surakarta, kota yang kental dengan budaya Jawa. Kesulitan mengidentifikasi
latar belakang budayanya ini membuat Pingkan dan keluarganya selalu dianggap
sebagai liyan. Ketika tinggal sebagai
pendatang di Makassar, Ibu Pelenkahu yang berasal dari Jawa dianggap sebagai liyan. Bahkan, ketika kembali ke Jawa,
“tanah leluhurnya” tetap saja dianggap sebagai liyan karena dianggap “sudah bukan Jawa”. Di Solo, Pingkan dianggap
Menado, di Menado dia dianggap Jawa. Duh, sungguh pelik!
.... Waktu masih di SD, Pingkan disuruh ibunya
belajar menari Jawa; yang mengajarinya seorang Bei. Namun, setiap kali ia
berbuat kesalahan atau melakukan gerak yang kaku, Pak Bei bilang, Ndak apa-apa, Non. Kamu kan Menado. Pingkan
sebenarnya lebih sreg dipanggil Ndhuk atau Wuk daripada Non. (hlm. 22)
Di Solo ia jadi Menado; di Menado ia dibilang
Jawa. Di mana gerangan Indonesia Raya yang dikatakan Sarwono? Yang menjadi
label itu nama atau darah?.... (hlm. 22)
Tentang perbedaan agama, SDD tampaknya berusaha keras menjunjung
tinggi toleransi. Perdebatan tentang perbedaan agama ditampilkan dengan cara
“moderat” melalui dialog-dialog antara Pingkan dan Sarwono.
“Sake kok disamakan ciu. Sake modern, ciu
primitif.”
“Mau modern, mau primitif pokoknya haram.”
“Lha, kan, malah lari ke mesjid.”
“Di gereja boleh minum sake, ya?”
“Apa urusannya?”
“Lha kalau orang mangap di depan pastur itu ngapain kalau nggak ditetesin ciu.”
(hlm. 52)
“Sar, ini kan dah jam setengah 12, Jumat.
Pergi sana kamu ke Mesjid Gedhe. Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongamu ora bakal ditampa. Naik becak yang tadi
dipakai aja, biar cepat.” (hlm. 74)
Bagi fans garis keras puisinya dan berekspektasi tinggi, mungkin
kehadiran novel ini mengecewakan karena romantisme yang ditampilkan tidak
seperti dalam puisinya. Memang ditampilkan bahwa Sarwono adalah seseorang yang
suka menulis puisi, tetapi dialog-dialog antara Sarwono dan Pingkan tidak
menampilkan ungkapan cinta yang mendayu-dayu, justru lebih banyak ledekan.
Meskipun begitu, diam-diam keduanya menyimpan rasa satu sama lain. Mereka tidak
saling mengungkapkan cinta, tapi masing-masing menebak-nebak, berharap, dan
antara yakin dan ragu bahwa yang dicintainya juga menyimpan perasaan yang sama.
Kalau istilah anak sekarang, mungkin saling melempar kode. Hihihihi.
“Kamu ini cengeng, Sar, jualan gombal,”
komentar Pingkan ketika pertama kali membaca sajak itu di sebuah majalah yang
dipamerkan Sarwono. (hlm. 10–11)
S: Begini Putri Fiona, kamu ini sebenarnya
mencintaiku aku apa nggak sih?
P: Wuah, jauh banget loncatannya. Shrek gak
akan nanya gitu.
S: Kamu kok gak pernah nanya aku, Kamu ini cinta aku apa ndak, sih?
P: Kok disuruh-suruh. Gak usah disuruh juga
sudah nanya tadi? (hlm. 41)
Berhubung saya adalah pekerja bahasa (duuuh, gaya bener
istilahnya) aspek kebahasaan dalam novel ini cukup mengulik naluri kebahasaan
saya. Sungguh saya agak terganggu dengan beberapa penggunaan tanda baca dan huruf
kapital yang kurang pas dan penulisan kata yang tidak sesuai EYD. Meskipun
begitu, saya tetap menikmati kalimat-kalimat panjang penuh kata puitis khas SDD
di bagian narasi, terutama satu kalimat panjang di halaman 44–45 yang
sesungguhnya secara gramatikal sulit diurai. Penggunaan nuansa lokal dilakukan dengan
memasukkan beberapa dialog berbahasa Jawa dan menyebut beberapa cerita rakyat
dari Jawa dan Menado. Sayangnya, dialog-dialog itu tidak disertai terjemahan di
catatan kaki sehingga ada kemungkinan pembaca yang tidak memahami bahasa Jawa
tidak menangkap maknanya yang terkadang memuat komedi yang cukup lucu menurut
saya. Untungnya saya penutur bahasa Jawa. Hehehehe. SDD juga menunjukkan bahwa
dia mengikuti perkembangan zaman lewat sarana komunikasi yang digunakan
tokoh-tokohnya, yaitu ponsel, internet, dan aplikasi WA (WhatsApp).
“Lha
menurutmu, dheweke blendra-blendre apa
ora?”
“Nggih
mboten to, Pak.”
“Kalau
mboten ya sudah, kan kamu yang tahu.”
“Bapak
ini gimana, to?”
“Lha
kok malah tanya. Aku ora opo-opo, sing
arep opo-opo rak kowe.” (hlm. 89)
Ketika membaca review di
beberapa website, saya menemukan
banyak penilaian bahwa novel ini sesungguhnya kurang bisa mengimbangi puisi,
mengecewakan pembaca. Terlepas dari semua itu, saya tetap angkat topi untuk SDD
yang tetap berkarya meski di usia tak lagi muda. Duh, jadi malu kalau yang
muda-muda malah nggak menghasilkan apa-apa. Saya tetap mengagumi kepiawaiannya
merangkai kata dengan cara meresepsi puisi-puisinya menjadi status-status galau
di Facebook atau caption di posting-an foto Instagram. Hehehehe. Saya
tetap merekomendasikan novel ini sebagai alternatif bagi yang ingin membaca
karya sastra yang tidak terlalu “berat”.
SDD punya Hujan Bulan Juni, saya punya Hujan Bulan Januari :D |
Satu hal yang perlu saya ingat adalah bahwa hujan memang selalu
membawa banyak cerita. Akan tetapi, ceritanya tidak selalu romantis,
kadang-kadang miris dan ironis. Ceritanya tidak selalu tentang dua orang yang
berteduh, lalu ngopi-ngeteh cantik sambil menunggu hujan reda. Kadang hujan
juga menyebalkan, misal jemuran tidak kering, jalanan becek, kesemprot air
gara-gara ada mobil ngebut, terpeleset, jadi pilek. Mungkin kali ini SDD ingin
menyajikan episode cinta yang kadang membuat kita terbahak-bahak, kadang
terharu, tetapi tetap membawa kita untuk merenungkan dan memaknai kasih sayang.
Salam! :D
Komentar
Posting Komentar