Ketika Makan Tak Hanya Sekadar Kenyang....

Makan, sebuah aktivitas yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Kata makan punya banyak penjabaran dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) hingga memakan ruang tiga halaman. Nggak percaya? Coba cek KBBI terbitan Balai Pustaka tahun 2008 halaman 860–862. Nggak punya KBBI? Ya udah, bisa pinjam perpus, pinjam teman yang kuliah di Jurusan Sastra/Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, buka KBBI daring (dalam jaringan, online), atau pinjam saya juga boleh. Setelah mengamatinya, saya mengambil kesimpulan bahwa ada empat makna leksikal untuk kata makan. 1) v (verba) memasukkan makanan pokok ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya: mereka -- tiga kali sehari;  2) v memasukkan sesuatu ke dalam mulut, kemudian mengunyah dan menelannya: ia sedang -- pisang; 3) v memasukkan sesuatu ke dalam mulut dan mengunyah-ngunyahnya: Nenek sedang -- sirih; 4) v memasukkan sesuatu ke dalam mulut dan menelannya: pasien harus -- pil (KBBI, 2008: 860–861). Jiaaah, pakai format kutipan segala biar kelihatan ilmiah. Hihihihi. Biar kelihatan nggak sia-sia belajar linguistik Indonesia sampai 4 tahun, bisa mempertanggungjawabkan gelar yang tersemat di belakang nama pemberian orangtua. Makna idiomatik untuk kata makan sangat banyak, misalnya dalam ungkapan makan angin, makan waktu, makan hati, makan biaya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya aktivitas makan bagi manusia.
Saya tidak bermaksud me-review tempat makan beserta menunya karena saya bukanlah penilai makanan yang baik. Buat saya, makanan yang enak dan sangat enak itu beda tipis. Semakin tidak bisa dibedakan lagi kalau perut saya laparnya sudah akut. Tambah enak lagi kalau makannya ditraktir atau dimasakkan, tinggal makan. Hehehehe. Dalam tulisan ini saya hanya bermaksud mengungkapkan hal-hal yang saya maknai tentang makan dalam beberapa pengalaman saya. Yang jelas, di balik makna leksikal kata makan yang lebih banyak mengacu pada aktivitas fisik, ada hal lain yang bersifat tak kasatmata. Tujuan makan sesungguhnya tidak hanya sekadar mencapai kenyang secara jasmani, tetapi juga “kenyang” secara rohani.

Makan Itu Juga Perkara Prestise....
Dalam sebuah kuliah, entah mata kuliah apa itu saya lupa dan entah apa yang kami bahas sebelumnya, tiba-tiba dosen saya berkata, “Zaman sekarang, makan itu bukan hanya sekadar kenyang. Makan itu juga menyangkut status sosial. Masa iya seorang pejabat makan di warteg seperti buruh?” Benar juga yang dikatakan si bapak ini. Kalau kita perhatikan, secara tidak langsung ada korelasi antara status sosial seseorang dan pilihan tempat makannya. Bukan bermaksud diskriminatif, ada kecenderungan masyarakat dengan status sosial menengah ke bawah, dalam hal ini kaitannya dengan penghasilan, akan memilih tempat makan yang sederhana, dengan harga yang terjangkau. Sementara itu, masyarakat menengah ke atas akan mempunyai lebih banyak pilihan, bisa di tempat yang sederhana, bisa juga di tempat mewah.
Meskipun sebenarnya sah-sah saja, akan jadi sesuatu yang “janggal” kalau seorang pejabat atau pengusaha sukses makan di warteg layaknya orang kebanyakan. Sesuatu yang “janggal” ini bisa dilihat secara positif maupun negatif. Misalnya saja ketika media massa heboh memberitakan Pak Jokowi (Joko Widodo, Presiden RI periode 2014–2019) yang makan di warteg semasa pencalonan dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI. Yang menilainya secara positif akan berkata bahwa itulah potret pemimpin yang rendah hati, sederhana, mau mengenal rakyatnya, down to earth. Yang menilainya secara negatif akan berkata bahwa itu hanyalah pencitraan. Menurut saya, mau tulus atau pencitraan, terserahlah, urusan si bapak. Yang penting itu si bapak bayar kan habis makan? Nggak ngutang atau kabur kan? Hehehehe.
Nah, masalah masuk golongan menengah agak atas sedikit atau menengah sangat bawah, kalau saya tergantung tanggal berapa. Kalau minggu pertama ya masuk golongan menengah agak atas sedikiiit. Pilihan makannya bolehlah yang agak enak dikit. Bolehlah makan bersama teman-teman di tempat yang agak mewah, semacam makan sushi, pizza, steak, atau pasta sepulang kerja. Minggu kedua sampai ketiga mulai menurun, beralih ke tempat makan yang sederhana. Minggu keempat, masa-masa kritis, tempat makan siang sederhana, pulang kerja rajin mampir warung dekat kos beli sayur, tempe, tahu, dan segala macam bumbu dan mulai menyentuh kompor di depan kamar yang sudah berhari-hari nganggur. Ya, begitulah nasib buruh yang gajinya mepet UMR, penuh dinamika. Halaaah!
Menu awal bulan vs akhir bulan :)


Makan Itu Juga tentang Pengalaman....
“Selalu ada yang pertama untuk segalanya.”
Pepatah ini memang benar-benar terjadi dalam pengalaman kuliner saya. Sebagai bocah ndeso, makan di restoran itu hal yang benar-benar baru bagi saya. Pertama kali makan di restoran berinisial PH (langsung ketahuan juga sih) yang menu utamanya pizza itu saya lakukan ketika kuliah semester 2, itu pun ditraktir Arum, sahabat saya. Ealaaah, mesakke tenan! (Kasihan benar!). Gimana mau makan di tempat mewah? Mau beli ayam goreng aja mikirnya berjam-jam, berkali-kali menghitung uang di dompet, tapi akhirnya belinya tempe dan tahu. Hahahaha. Ya, begitulah perjuangan anak dari keluarga kurang mampu yang nekat kuliah demi mobilitas sosial secara vertikal lewat jalur pendidikan. Alangkah bangganya dulu setiap orang bertanya, “Masuknya lewat UM UGM (Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada) apa SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi)?”, saya jawab, “PBU (Penelusuran Bibit Unggul) dong!”, tetapi saya lanjut dalam hati, “Tapi PBUTM (Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu), jalur beasiswa, alias gratisan. Hihihihi.”
Betapa senang hati saya ketika suatu hari Arum berkata, “Main ke Malioboro yuk! Nanti kita makan di PH.” “Ayok, ayok, ayok!” kata saya bersemangat. Berangkatlah kami naik bus jalur 4 menuju Malioboro Mall. Bayangkan betapa udiknya saya saat itu! Belajar pegang pisau dan garpu pertama kali dari Arum. Saya perhatikan cara dia makan dengan anggunnya. Semenit dua menit bertahan dengan pisau dan garpu, lama-lama saya menyerah. “Suwe ah. Nganggo tangan wae!” (Lama ah. Pakai tangan aja!) Dasar nggak sabaran! Hahahaha. Pelajaran pertama dari Arum inilah yang membuat sifat udik saya agak berkurang, tidak terlalu memalukan kalau makan di tempat yang agak mewah.
Pizza Hut, tempat makan bersejarah untuk saya :D

Pengalaman tidak hanya didapat dari tempat makan yang mewah. Di tempat sederhana pun sebenarnya ada pengalaman yang tidak kalah menarik kalau kita mau lebih peka. Suatu hari, saya bersama teman-teman kantor makan siang di sebuah warung di Blimbingsari, sebuah kampung di selatan RS Sardjito. Kebetulan saat itu di meja sebelah ada tiga orang mahasiswi yang sedang makan bersama. Saya melirik diktat kuliahnya. Oh, mahasiswi Fakultas Teknik UGM. Saya pun tak sengaja menguping pembicaraan mereka. Tidak berniat menguping juga sih sebenarnya, toh mereka berkata dengan keras. Jadi ya otomatis semua orang mendengar pembicaraan mereka.
“Temen-temen gue yang kuliah di Bandung tuh kayaknya makan di kafe mulu. Nge-Path makan di kafe inilah, hotel inilah. Perasaan gue nggak pernah kayak gitu. Makan di tempat gini-gini aja. Tapi nggak seru ah hidup kayak gitu.” Saya tersenyum sambil membatin, “Begitulah, Ndhuk (singkatan dari gendhuk, panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa), Jogja dan UGM menempamu untuk menjadi manusia sederhana yang memaknai indahnya hidup dalam kesederhanaan.” Baru selesai saya membatin, tiba-tiba “si gendhuk mahasiswi” ini berkata, “Mbak, boleh minta es batu nggak? Hehehehe,” sambil memasang tampang innocent. Wogh, kowe kok nglunjak to, Ndhuk? (Kamu kok nglunjak to, Ndhuk?). -_-
Untungnya pemilik warung cukup berbaik hati dengan mengambil tempat minum “si gendhuk mahasiswi” yang isinya tinggal setengah dan menambahkan es batu ke dalamnya. Kalau si mbak anak pemilik warung itu tidak sabar, mungkin “si gendhuk mahasiswi” ini sudah disemprot dari tadi. Makan bawa lunch box isi nasi, cuma beli sayur dan lauk, numpang duduk, ngomongnya kenceng, masih minta es batu pula. Coba kalau di tempat makan yang agak mewah. Mana boleh bawa makanan dan minuman dari luar? Air putih dan es batu pun tidak gratis. Belajarlah untuk menghargai ketulusan dan kebaikan dari orang-orang yang mungkin kita anggap sepele, pikir saya.

Makan Itu Juga tentang Perjuangan dan Rasa Syukur....
Pengen mamah kudu obah.”
Pepatah dalam bahasa Jawa ini terjemahan literalnya ‘Ingin mengunyah harus bergerak’. Maknanya kalau ingin makan, mendapat rezeki, ya harus berusaha. Tidak ada makan siang yang gratis. Ketika masih kecil, saya tidak tahu makna pepatah ini dan belum paham betapa sulitnya perjuangan orangtua saya mencari rezeki. Sering kali saya marah-marah dan tidak mau makan karena tidak suka lauknya, padahal tinggal makan. Semua sudah tersedia di meja. Ketika kuliah dan harus memutar otak demi memenuhi semua kebutuhan dengan uang kiriman dari orangtua yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan teman-teman saya kala itu, barulah saya sadar betapa berat beban orangtua saya dan alangkah sakit hatinya ketika saya menyia-nyiakan makanan. Hiksss, jadi merasa bersalah.
Mulailah saya mencari cara untuk makan enak, bergizi, dan gratis. Pertama, lewat seminar. Dulu saya rajin mencari info seminar gratis yang ada fasilitas makannya, minimal snack, syukur-syukur kalau ada makan siangnya. Hahahaha. Pekok tenan! (Bodoh benar!) Biasanya seminar semacam ini diadakan pada hari Sabtu. Entah itu nyambung atau tidak dengan kuliah saya, yang penting masih di klaster sosio humaniora, masih bisa dipahami orang awam. Toh belajar lintas disiplin ilmu juga tidak masalah. Tidak ada ilmu yang sia-sia kan? Untungnya saya punya partner yang setia menemani acara “perbaikan intelektual” berbonus “perbaikan gizi”. Siapa lagi kalau bukan Arum? Sekalipun dia anak rumahan, bukan anak kos, dia suka ikut seminar karena memang suka belajar, niatnya lebih mulia daripada saya. Jadilah kami saling melengkapi.
Partner perbaikan gizi paling setia

Rekor makan siang termewah dalam seminar kami capai pada seminar yang diadakan Jurusan Sejarah UGM yang bertema “Merajut Ke-Indonesian”, salah satunya membahas biografi A.R. Baswedan, kakek Pak Anies Baswedan (penggagas gerakan Indonesia Mengajar, Mendikbud Kabinet Kerja). Saat itu kami tengah kuliah semester 5, sekitar tahun 2010–2011, agak lupa. Wah, bisa makan siang bersama, eh, di dekat orang-orang terkenal seperti Pak Anies Baswedan, Buya Syafii Ma’arif, dan Romo Mudji Sutrisno. Seminar ini diadakan di University Club, sebuah gedung di UGM yang difungsikan untuk restoran, hotel, dan ruang untuk acara-acara tertentu seperti seminar dan pernikahan. Seminar selesai pukul 12.30, padahal pukul 13.00 ada kuliah. Kampus FIB sebenarnya tidak terlalu jauh dari UC, tetapi kami masih harus makan dan sholat. Waktu yang tersisa terasa sempit. Mata kami langsung berbinar-binar melihat hidangan yang tertata di meja. “Ayok, Mi (Mami, panggilan sayang saya untuk Arum)! Makannya cepet ya biar nggak telat masuk kelas.” Saya dan Arum pun makan dengan cepat. Selesai makan nasi dan segala macam sayur-lauk, kami melirik es krim. “Eh, tapi tinggal sepuluh menit. Ke kampus aja yuk sholat daripada telat masuk kelas,” kata Arum.
Kami pun berlari menuju Musala Al ‘Adab di kampus FIB. Usai sholat, kami segera berlari ke kelas karena sudah pukul 13.05. Agak sungkan kalau pak dosen sudah siap di kelas, tiba-tiba mahasiswinya lari tergopoh-gopoh masuk kelas dan membuat konsentrasi buyar. Untunglah pak dosen belum datang. Kami menunggu beberapa saat. Sampai pukul 13.30, akhirnya pak dosen datang. Saya dan Arum berpandangan. “Mi....” kata saya. “Hmm....” “Tahu gitu kan kita bisa makan es krim dulu,” kata saya bernada sedih. “Iya. Belum nyobain semua makanannya.” Huahahaha. Geli rasanya setiap mengingat kejadian ini.
Selain dari seminar, acara perbaikan gizi juga saya lakukan lewat kepanitian. Sebagai “bocah gelanggang” yang kampus keduanya itu Gelanggang Mahasiswa UGM, terlibat dalam kepanitiaan adalah hal biasa. Karena saya ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dalam bidang seni, acara yang sering diadakan tentunya pementasan. Hampir selalu ada pementasan dalam setiap bulan dan kami bergantian didapuk sebagai panitia. Entah mengapa, saya selalu kebagian menjadi penanggung jawab kostum. Mungkin hanya itu yang saya bisa sehingga tidak pernah dirotasi ke posisi lain. Mungkin teman-teman takut saya jadi troublemaker kalau jadi koordinator penari atau penanggung jawab konsumsi. Hehehe. Namanya juga kegiatan mahasiswa, tentunya orientasinya bukan mencari keuntungan sehingga kami tidak mendapat bayaran. Paling-paling dapat jatah konsumsi.
Hobi banget jadi panitia :D

Selain terlibat dalam kepanitian acara UKM sendiri, kadang-kadang kami juga diminta untuk mengisi acara UKM lain dengan menari. Permintaan ini sifatnya “sambatan” (sambat dalam bahasa Jawa artinya ‘mengeluh’, sambatan artinya bekerja untuk orang yang “sambat” dengan sukarela). Kami menari tanpa dibayar, hanya diberi ucapan terima kasih dan makanan. Tolong-menolong antar-UKM memang hal biasa. Lebih senang lagi kalau menari “sambatan” di pesta pernikahan. Begitu selesai menari, foto-foto sampai puas, hapus make-up, copot sanggul, “meluruskan” rambut yang disasak ala-ala ibu pejabat, ganti baju, langsung ambil makan sepuasnya. Sikaaaaat! Bangga rasanya ketika bisa berkata, “Aku bisa makan dari hasil keringatku sendiri.” Hehehehe. Anak rumahan (tidak tinggal di kos) dan anak kos yang uang kiriman dari orangtuanya lebih-lebih mungkin tidak menikmati serunya “perbaikan gizi” dengan cara ini. Meskipun begitu, saya belum pernah dan sepertinya tidak akan pernah mencari makan gratis bermodalkan baju rapi dan amplop kosong alias pura-pura jadi tamu di acara nikahan. Cukup sampai di imajinasi, tidak perlu realisasi. Hahahaha.
Nari nggak dibayar pun seneng, yang penting dikasih makan :D

Namanya juga anak kos yang uang sakunya pas-pasan, kadang-kadang uang di rekening hampir mendekati saldo minimal, padahal orangtua belum mentransfer. Mulailah mengais-ngais uang receh dan menukarnya di warung demi membeli makanan. Kalau sudah seperti ini, biasanya saya sambat kepada Arum, sahabat saya. “Mi, lagi miskin,” kata saya. “Ya udah. Nginep rumahku aja. Makan minum gratis. Nggak usah mikir.” “Waaah, cocok!” kata saya bersemangat. Suatu hari saya menginap di rumah Arum saat bulan Ramadan. Saya bertanya, “Mi, nanti kita makan apa?” Tiba-tiba Arum tersenyum mencurigakan. “Nah, kebetulan ibuku lagi pergi. Di kulkas ada bahan. Kamu lagi nggak puasa kan? Kamu yang masak ya? Nanti aku tinggal sholat Tarawih udah mateng ya. Buat makan bareng. Hehehehe.” Baiklah, saya kena zonk! -_- Ternyata saya disuruh menginap untuk diberdayakan. Untunglah emak saya sudah menurunkan ilmu membuat sayur sop dan sambal tomat. Memang benar kata pepatah, “Pengen mamah kudu obah”. Biarpun begitu, saya benar-benar bersyukur punya teman seperti dia. Terima kasih ya, Mi. Kebaikanmu akan selalu kuingat, tapi belum tentu kubalas. :P
 
Receh: kecil, sepele, tapi akan sangat terasa berharga saat kau dalam masa-masa sulit. Kayak aku di mata kamu. :P
Makan Itu Juga tentang Kebersamaan....
Suatu waktu, ketika sedang menonton TV bersama orangtua saya, saya nyeletuk, “Kenapa sih kalau di sinetron, adegan keluarga itu seringnya pas makan bareng?” “Ya karena makan itu suasana santai, hangat, ada rasa kebersamaan. Bisa sambil ngobrol, ngomongin masalah di keluarga,” kata bapak saya. Kebersamaan, itu kata kuncinya. Keluarga kami memang membiasakan diri makan bersama di meja makan sehingga rasa kebersamaan itu telah terbentuk sekian lama. Begitu keluar dari rumah, mulai kuliah dan tinggal di kos, saya merasa ada sesuatu yang aneh ketika harus makan sendiri dengan cara “lesehan” di kamar. Tiba-tiba saya merindukan suara ibu saya yang sewot, “Makan itu di meja makan sama-sama. Makan di kamar itu kayak orang sakit. Makan itu ya makan, nggak sambil main HP.” Ya, sesederhana apa pun makanannya, kalau makannya bersama orang-orang yang kita sayangi, pasti rasanya lebih enak daripada makan makanan yang sebenarnya enak, tetapi makan sendiri dengan suasana hati yang miris. Untuk menghidupkan rasa kebersamaan dalam keluarga ini, biasanya saya dan teman-teman kos makan bersama di salah satu kamar secara bergantian.
Selain dalam keluarga, rasa kebersamaan ini juga ada dalam hubungan pertemanan. Selepas lulus S-1, saya dan teman-teman dekat saya semakin jarang bertemu meskipun masih sama-sama di Jogja, masih sama-sama di almamater tercinta. Bedanya, saya jadi buruh, sementara mereka kuliah S-2, jadi mahasiswa lagi. Ya, namanya juga sibuk. Sulit untuk mencari waktu berkumpul, sampai akhirnya kami berusaha menyatukan waktu berempat dengan cara makan bersama sebelum puasa, kira-kira awal Juni 2015. “Sore ini makan bareng yuk di Koki Joni, deket kosmu, sama Rahma&Tyas juga,” kata Arum lewat SMS. “Jam berapa?” balas saya. “Jam 4 gimana?” “Nggak bisa. Aku lembur sampai jam 7.” “Ya udah kalau gitu jam 7. Langsung ke TKP ya. Aku sama yang lain datang duluan cari tempat.” Sepulang kerja, saya langsung menuju sebuah tempat makan di Jalan C. Simanjuntak bernama Koki Joni Pasta &Turkey. Sesuai namanya, menu utamanya pasta dan kalkun.
Koki Joni Pasta&Turkey, lokasinya di Jalan C. Simanjuntak, Terban, Yogyakarta

Ketika sampai di sana, tiga sahabat saya sudah menunggu. “Aduh, maaf ya baru datang,” kata saya. “Lembur terus ya?” tanya Tyas. “Iya, lagi ada proyek. Dealine-nya semena-mena. Ayok, smartphone-nya disimpan! Kita kan di sini buat ketemuan,” kata saya. Rugi rasanya kalau sudah meluangkan waktu dan uang demi makan di luar kalau ujung-ujungnya asyik sendiri-sendiri dengan orang nun jauh di sana, sementara orang di dekatnya diabaikan. Kami pun memilih-milih menu. Sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrolkan banyak hal hingga akhirnya sampai pada topik sensitif dan tak terhindarkan, yaitu JODOH. Wajar saja, saat itu usia kami rata-rata 25 tahun, kecuali saya yang usianya paling muda di antara mereka. Masih dua bulan lagi, jadi masih dianggap 24 tahun kan? Hehehehe.
Kalau sudah membicarakan topik ini, saya memilih untuk no comment karena saya sadar, di antara kami berempat, sayalah yang punya pengalaman paling minim untuk urusan percintaan. Yang satu akan menikah beberapa bulan lagi, yang satu sudah pacaran selama 6 tahun, yang satu tengah dekat dengan seseorang dan ternyata beberapa hari kemudian dilamar, dan yang satu lagi.... Ehm, entahlah, tidak jelas. Tidak menarik untuk diceritakan. Hahahaha. “Nggak perlu takut. Kan jodoh itu kita nggak pernah tahu. Siapa tahu nanti kamu tahu-tahu dilamar orang,” kata Tyas. Waaah, saya langsung tersenyum. Ini baru yang namanya sahabat. Tidak hanya asal menghakimi, tetapi memberikan rasa tenang meskipun tidak bisa memberikan solusi. Terbukti, acara makan kali ini tidak hanya membuat kami kenyang, tetapi juga membuat rasa rindu akan kebersamaan di masa kuliah kami terobati.

Makan Itu Juga untuk Silaturahmi....
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Indonesia, dikenal konsep extended family atau keluarga besar. Keluarga besar ini akan sangat terlihat perannya dalam acara kekeluargaan semacam hajatan pernikahan, kelahiran anak, sunatan, Lebaran, dan arisan. Bayangkan betapa ramainya rumah kalau semua anggota keluarga mulai dari kakek, nenek, bapak, ibu, anak, cucu, sepupu, keponakan, cicit, dan semuanya berkumpul di suatu tempat. Dalam acara kumpul-kumpul seperti ini, tentunya kurang afdol kalau tidak ada sajian mulai dari minuman, cemilan, dan makan besar. Berhubung nenek saya tinggal di rumah saya, jadilah rumah saya sebagai basecamp untuk acara kumpul keluarga setiap Lebaran. Secara otomatis, jadilah saya asisten memasak dan tukang cuci piring. Hedeeew.
Sambil makan-makan santai, mulailah antaranggota keluarga mengobrol, gosip-gosip, rumpi-rumpi mempererat jalinan silaturahmi, menghubungkan kembali orang-orang yang jarang bertemu, bahkan ada yang memang hanya pulang kampung setahun sekali. Awalnya suasana terasa hangat sampai akhirnya semua hancur karena muncul pertanyaan dari “golongan tua”, “Kuliah di mana?”, “Kapan lulus?”, “Kerja di mana?”, “Sudah punya pacar belum?”, “Kapan kawin?”. Errrrr! Kalau sudah begini, saya cukup memberikan satu jawaban pamungkas, “Dongakke mawon nggih.” (Doakan saja ya.) Setelah itu, saya akan buru-buru kabur, membentuk kumpulan “golongan muda” bersama sepupu-sepupu yang seumuran dan senasib, sama-sama menghindari pertanyaan-pertanyaan klise itu.
"Golongan muda" membentuk kelompok sendiri. PS: abaikan tampang saya yang kucel di foto jadul ini. :D

Betapa makanan mampu menghubungkan dua orang dalam ikatan emosional saya rasakan dalam hubungan persahabatan saya dengan Arum. Suatu pagi ketika saya baru saja masuk kuliah dan belum punya teman dekat, tiba-tiba saya mendapat SMS dari Arum, “Wi, bisa minta tolong belikan nasi sebungkus? Aku lagi nggak punya uang. Ibuku belum ke kos nganter uang saku sama makanan.” Saat itu Arum yang baru saja pindah dari Magelang masih kos, belum tinggal serumah bersama keluarganya. Saya pun mengisi lunch box dengan nasi sampai penuh dan membelikannya gudeg di dekat kos. Sampai di kampus, saya menemaninya makan di Bonbin (sebutan untuk kantin di FIB UGM, entah bagaimana ceritanya disebut seperti itu) sambil menyemangatinya untuk menghabiskan makanan itu. Setelah Arum selesai makan, saya memberanikan diri bertanya, “Kok kamu minta tolongnya ke aku, bukan orang lain?” “Karena aku menganggap kamu sahabatku,” kata Arum. Wooooow, begitu terharu saya mendengarnya! Sejak saat itulah saya sah menyandang status sebagai salah satu sahabat Arum. Sejak saat itu pula dia menjadi partner saya dalam banyak hal, mulai dari hal serius hingga “agak sableng”. Kalau cerita kami dibuat FTV, mungkin judulnya Cinta dalam Sebungkus Gudeg. Hahahahaha.
Dua orang yang dipersatukan oleh sebungkus nasi gudeg :D


Makan Itu Juga tentang Membeli Momen....
Suatu hari, kira-kira akhir bulan Mei 2015, saya tiba-tiba ingin makan pasta di Il Mondo, tempat makan yang berlokasi di Demangan Baru, Yogyakarta, yang menyajikan menu masakan Italia. Berhubung sedang...uhuk...kangen dengan Arum, saya pun menghubunginya. “Mi, ke Il Mondo yuk sebelum puasa. Aku yang bayari deh. Cari waktu ya.” “Hehehehe...asyik. Ntar Sabtu gimana?” (Saat itu hari Selasa). “Oke.” Keesokan harinya (hari Rabu), saya meralat janji itu, “Mi, kalau ke Il Mondonya Jumat sore balik kerja bisa nggak? Kayaknya Sabtu Minggu aku mau pulang ke Klaten.” “Oke.” Baru beberapa jam berlalu, tiba-tiba Arum mengirim SMS, “Wi, aku di deket kosmu nih. Kalau ke Il Mondonya sekarang aja gimana? Aku tunggu di shelter TransJogja deket Kopma UGM.” Wooow, saya langsung melotot membaca SMS itu! Ini bocah semena-mena kalau meralat janji. Nah kan, kalau gratisan pasti cepet! :P
Begitu jam menunjukkan pukul 16.00, saya pun buru-buru pulang ke kos. Tidak usah mandi, cukup cuci muka dan dandan minimalis supaya cepat. Dandan minimalis versi saya itu cukup pakai pelembap dan bedak, kalau sempat pakai lip balm atau lipstick, dan wajib pakai eyeliner supaya mata belok saya terlihat dramatis, seperti tokoh antagonis di sinetron. Hahahaha. Setelah itu, saya berlari menuju shelter TransJogja yang ada di dekat Kopma UGM. Arum sudah menunggu di sana. “Kita naik apa?” tanya Arum. “Naik 3B. Nanti di Kentungan transit ganti 2B. Turunnya di depan Sanata Dharma, terus jalan.” Kami pun berjalan ke shelter TransJogja yang ada di barat Jalan Kaliurang. “Udah, aku aja yang bayar. Aku punya Flazz card (kartu prabayar yang dikeluarkan oleh bank BCA dan BPD untuk naik busway dan berbelanja). Lebih murah,” kata saya. “Asyik, dibayarin. Hihihihi.” Kami menunggu bus 3B beberapa saat. “Kenapa sih kok sedih gitu?” tanya Arum. Saya menghela napas. “Mi, tahu nggak kenapa aku ngajaknya hari Jumat aja?” “Kenapa emangnya?” “Soalnya itu hari gajian. Gajianku kan akhir bulan,” kata saya. “Halah, belum gajian, tapi punya uang kan? Hihihihi.” Saya pun pasang tampang manyun sambil misuh dalam hati, “Gundhulmu!”
Beberapa saat kemudian, akhirnya kami sampai di depan kampus Sanata Dharma. “Lho, kok kita turunnya di sini? Nggak di depan RRI?” tanya Arum. “Nggak lah. Kan bus jalur 2B nggak lewat sana. Jalan Colombo belok kanan,” kata saya. “Jalannya jauh nggak ini?” “Ya, lumayan. Hitung-hitung olahraga biar langsing.” Ketika melewati kampus Sanata Dharma, kami melihat pemandangan yang cukup menarik, yaitu kampus yang sudah direnovasi dan di depannya dipasang lampu-lampu cantik. “Wah, bagus ya kampus Sadhar (singkatan untuk Sanata Dharma) sekarang,” kata Arum. “Iya. Baru selesai dibangun ini. Ayo kita foto-foto dulu,” kata saya.  Kami  pun bergantian berfoto. “Mirip Gedung Pusat UGM nggak sih?” tanya Arum. “Halah, apik UGM!” kata saya. “Ya iya laaaaaaah,” teriak kami berdua. Eh...tiba-tiba kami melihat sekeliling. Ternyata ada banyak tukang yang masih menyelesaikan pekerjaan dan ada satpam yang tiba-tiba melihat kami dengan tatapan aneh. Ternyata kami sudah jadi pusat perhatian. “Eh, kita dilihatin satpamnya. Ayok kabur sebelum diusir!” kata Arum. Kami pun segera lari sambil tertawa cekikikan.
Kami pun berjalan melewati Jalan Garuda, Kompleks Colombo. Sebentar-sebentar Arum bertanya, “Jauh nggak?” “Jauh. Jauuuuuuh banget. Hahahaha.” Akhirnya kami sampai di Il Mondo. Terlebih dahulu kami sholat Magrib di Masjid Jenderal Soedirman yang terletak di sampingnya. Setelah itu, kami masuk ke Il Mondo dan memilih tempat di lantai 2, dekat dengan jendela. Setelah beberapa saat berdebat, akhirnya kami memesan satu porsi pizza arcobaleno ukuran medium, satu porsi fettucini alfredo, jus mangga, dan jus jambu. Sambil menunggu pesanan diantar, kami pun mengobrol ke sana-kemari dan tidak lupa BERFOTO. Hihihihi. Wajib hukumnya.
Kamera jelek, cahaya redup tidak menyurutkan tekad untuk berfoto :P

Akhirnya pesanan kami datang. Pizza-nya lumayan besar untuk ukuran medium. Berhubung tidak disediakan piring, sendok, dan garpu seperti di restoran berinisial PH, kami pun harus meminta alat-alat itu kepada “mas waiter” untuk membagi dua pastanya. Duh, agak menyesal pesan pizza arcobaleno karena jamurnya agak tengik dan sesungguhnya saya tidak terlalu suka paprika. Berhubung saya suka sayuran dan saus pasta yang creamy, fettucini alfredo ini cocok di lidah. “Wooow, enaaak!” seru kami berdua. Ealaaah! Ketok men ndesone! (Kelihatan sekali desanya) Hahahaha.
Niatnya memfoto makanan, malah ada tangan nyelonong :(

Sekeras apa pun usaha kami menghabiskan makanan itu, tetap saja kapasitas perut kami terbatas. Di piring tersisa dua potong pizza. “Mi, lihat sekeliling! Pastikan semua aman,” kata saya. Arum menatap saya keheranan. Dengan cepat saya mengeluarkan lunch box, lalu memasukkan dua potong pizza ke dalamnya. Mata Arum langsung melotot. “Kamu bawa kotak nasi???” Hehehehe. Saya hanya tersenyum tanpa rasa bersalah. “Kan udah dibayar, Mi. Sayang kalau nggak dihabisin. Mau minta dibungkus juga malu, tinggal dua. Mencegah global warming juga, Mi, kalau bawa wadah sendiri. Lumayan kan nanti bisa dikasih ke tetangga?” Kami pun tertawa geli.
Selesai makan, kami pun meninggalkan Il Mondo, tentunya tidak lupa membayar. Berjalanlah kami menuju shelter TransJogja. “Kita naiknya dari mana?” tanya Arum. “Kalau naik 2B dari depan Sadhar, turunnya RS Panti Rapih. Kalau naik 2A dari depan UNY nanti transit di Condong Catur, ganti 3B turun Kopma. Naik 2A aja ya biar jauh?” kata saya. “Hah? Kok malah milih yang jauh?” “Kan kita niatnya jalan-jalan. Hehehehe.” “Hedewww!” kata Arum sambil menyusul langkah saya.
Sepanjang perjalanan, saya merekonstruksi kembali acara makan-makan tadi. Rp87.000,00. Wow! Cukup fantastis untuk seorang mahasiswa “susah” macam saya dulu. Uang segitu pada masa itu cukup untuk makan seminggu! Saya pun flashback ke masa lalu, sekitar 5–7 tahun yang lalu. Dulu, kalau mau jalan-jalan berdua, cukup punya uang lima ribu rupiah, yang penting bisa untuk naik bus pergi-pulang. Kalau lapar, tinggal minum air putih bekal. Syukur-syukur kalau punya uang sepuluh ribu, yang lima ribu bisa untuk membeli es campur favorit kami yang ada di Malioboro. Sekarang, punya uang cukup untuk makan berdua pun rasanya susah untuk mencari waktu pergi bersama. Sesungguhnya, kalau sekarang kami membayar sedikit lebih mahal untuk apa yang kami minum dan makan, di dalamnya ada komponen biaya untuk membeli momen kebersamaan semasa belia yang kami rindukan. Demikian halnya dengan biaya pesta pernikahan yang sebagian besar dihabiskan untuk katering. Itulah harga yang harus dibayar untuk menyatukan ratusan, bahkan ribuan orang dengan beragam kepentingan dalam satu momen yang kegiatan utamanya salaman, foto-foto, lalu makan.

Makan Itu Juga tentang Kenangan....
Berhubung saya lahir dan tumbuh sebagai anak desa nun jauh di kaki Gunung Merapi, Jawa Tengah, masa kecil saya lekat dengan acara bancakan. Bancakan ini adalah acara selamatan atau syukuran, misalnya untuk mensyukuri kelahiran bayi, sunatan, sembuh dari sakit, ulang tahun, atau weton (perulangan hari kelahiran yang jatuh setiap 35 hari, menggunakan sistem 7 hari dan 5 pasaran). Dalam acara bancakan, si empunya rumah akan menyediakan nasi yang dilengkapi sayuran rebus (biasa disebut gudhangan), pelas (semacam bothok, dibuat dari kelapa dan kedelai), bubuk kacang tanah, dan telur rebus dalam satu tampah. Anak-anak di sekitarnya diundang, kemudian mengantre untuk menerima nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Acara ini sangat menyenangkan menurut kacamata seorang anak kecil karena mereka bisa berkumpul dan makan bersama tanpa membedakan status sosial, entah anak orang miskin atau kaya, entah anak nakal atau anak baik. Lebih senang lagi kalau acara bancakan ini dalam rangka syukuran karena ada sapi yang beranak karena selain mendapat nasi, kami juga akan mendapat dhawet (minuman yang terbuat dari santan, gula merah, dan cendol). Lambat laun acara bancakan ini semakin jarang. Peringatan hari lahir seorang anak telah bergeser dengan kemasan yang lebih modern menjadi acara ulang tahun.
Kadang-kadang ada rasa kerinduan akan kenangan makan bersama teman-teman sepermainan. Ingin rasanya mengulang masa kecil itu. Tiba-tiba terpikir untuk membuat acara bancakan sendiri, tepatnya ketika saya akan memasuki usia 25 tahun yang kata orang adalah periode “kritis” dalam kehidupan seseorang. Ingin rasanya mensyukuri pertambahan usia dan semoga saja pertambahan kedewasaan itu dengan berbagi bersama teman-teman terdekat saya. Berhubung saya orang Jawa, acara syukuran itu ya pakai tumpeng nasi kuning, nasi bancakan, bukan kue tart seperti orang Barat. Mendingan buat acara tumpengan di kos biar suasananya lebih khidmat. Traktir teman makan di luar juga sudah terlalu mainstream, sudah banyak yang seperti itu. Ehm, sebenarnya itu apologi untuk keterbatasan anggaran sih. Hahahaha. Pengen buat acara, tapi dengan biaya seminim mungkin. Ya, namanya juga calon emak-emak, otaknya selalu bisa menyusun strategi untuk memangkas anggaran.
Terpikirlah satu nama yang menurut saya bisa membantu saya: Ibu Esti, ibunya Dani, teman saya semasa jadi “bocah gelanggang”. Ibunya Dani memang jago masak. “Bu, budget 200 ribu bisa buat bikin nasi tumpeng buat 10–12 orang nggak? Buat tanggal 4 Agustus,” kata saya lewat WhatsApp. “Bisa, Mbak.” “Oke. Hari Minggu saya ke sana ya, Bu, mau milih menu.” Saya pun menyerahkan uang 200 ribu dan berkata, “Lauknya apa aja terserah Ibu, yang penting nggak pedes-pedes banget. Temen-temen kos nggak terlalu suka pedes.” “O, iya.” “Nanti dikasih tulisan 25 pakai wortel ya, Bu.” “Udah, tenang aja, Mbak. Terserah Ibu dong bikinnya pakai apa. Pakai telur puyuh juga bisa.” Baiklah! Saya pun menurut saja, pun tak berandai-andai tentang tampilan tumpeng nasi kuning saya. Yang penting di hari H ada yang bisa dibagi ke sahabat terdekat dan tetangga. Sampai hari itu tiba dan waktunya tumpeng itu diambil, mata saya langsung berbinar-binar melihat tampilan nasi tumpeng yang jauh melewati estimasi saya. Aaaaa...bagus, lucu, tamannya ada kelincinya!
Tumpeng taman kelinci :D

Tidak lupa, sebelum “dihancurkan”, tumpengnya difoto dulu. Pastikan sudah ada dokumentasi sebelum tumpengnya dibagikan ke tetangga. Arum dan Tyas, dua sahabat saya membantu saya membagi-bagikannya ke tetangga satu kos setelah ikut-ikutan pose di depan tumpeng. Sebenarnya sayang lihat tampilannya yang lucu, tapi masa iya makanan cuma dilihat? Selesai makan, saya pun mengunggah foto nasi tumpeng itu ke akun Instagram dan Facebook saya serta memasangnya sebagai display picture di Blackberry Messenger dan WhatsApp. Ada banyak komentar, bahkan ada yang berkata, “Lucuuu. Pesennya di mana itu? Aku mau dong kalau anakku ulang tahun. Kalau pake cake udah terlalu biasa. Gitu-gitu aja. Nggak kenyang juga. Enakan pakai nasi, tapi nggak tahu pesannya di mana.” “Pesannya di ibunya temenku. Murah lho, 200 ribu bisa buat 10–12 orang. Nanti aku kasih kontaknya kalau mau.” Nah kan, terbukti, yang klasik memang unik, bukan ketinggalan zaman. Terobatilah rasa rindu saya akan suasana bancakan itu. Niat awalnya minta tolong dan “nglarisi” teman sendiri, tapi akhirnya bisa sekalian bantu promosi. Bisa juga memberi info kepada orang yang sebenarnya ingin membuat acara dengan konsep tumpengan, hanya tidak tahu di mana memesannya. Saling menguntungkan kan?
Sebelum "dihancurkan", tumpengnya difoto dulu. Tolong fokus pada tumpengnya, bukan orangnya :D


Makan Itu Juga Hiburan....
Sepengamatan saya, pesatnya arus informasi juga berpengaruh terhadap tren kuliner. Sejak maraknya acara traveling dan kuliner di televisi serta munculnya banyak situs dan media sosial yang membahas makanan, makan telah masuk dalam ranah gaya hidup. Salah satu acara di televisi yang menurut saya sukses membentuk paradigma bahwa makan itu tak hanya sekadar memenuhi rasa lapar ialah Wisata Kuliner yang dibawakan oleh Bondan Winarno dengan jargon “Maknyuuus!”. Dalam acara tersebut, kegiatan makan dikemas secara apik sebagai sebuah petualangan untuk mencari tempat-tempat makan dengan menu yang menarik. Traveling pun kurang afdol kalau tidak disertai acara berburu kuliner khas suatu daerah. Perburuan kuliner ini tak ubahnya sebuah hiburan untuk memenuhi “dahaga” akan pengalaman mencicipi makanan baru atau unik. Semakin mblusuk, semakin unik, semakin menarik, semakin sedikit orang yang tahu, semakin berkesan pengalaman kulinernya. Tren makan yang berkembang ini akhirnya juga memunculkan profesi baru bernama food blogger. Orang dengan profesi ini bekerja dengan mencicipi makanan, kemudian me-review tempat makan dan menunya, serta memberikan rekomendasi mengenai menu-menu yang perlu dicoba lewat blog atau akun media sosialnya.
Makan sebagai hiburan saya rasakan ketika sudah bekerja. Ya iya lah, dulu waktu masih jadi mahasiswa makan itu ya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Hahahaha. Ketika sudah lelah seharian bekerja, mata sudah perih, kepala terasa pening, telinga terasa pahit, eh panas, perlu rasanya me-refresh pikiran, salah satunya dengan makan di luar sepulang kerja bersama teman-teman. Siapa tahu setelah makan di tempat yang suasananya menyenangkan, besok kembali bersemangat bekerja. Akan tetapi, ada syarat mutlaknya, yaitu saat status sosial saya masih menengah agak atas sedikit, alias masih awal bulan, rekening dan dompet masih agak gemuk. Hahahaha.
Makan enak sepulang kerja kalau masih tanggal muda :D


Makan Itu Juga Perkara Eksis....
Siapa yang suka memfoto makanan sebelum dimakan? Hayooo, ngaku! Hihihihi. Saya juga sih. Sejak berkembangnya teknologi komunikasi yang memunculkan benda bernama handphone yang dilengkapi kamera, smartphone, internet, dan media sosial, perkara eksistensi memang menjadi penting. Banyak hal yang menurut beberapa orang perlu untuk dibagikan lewat media sosial, termasuk tempat makan yang mereka kunjungi beserta makanannya. Menurut saya, sah-sah saja sih kalau seseorang memfoto makanan lalu mengunggahnya ke media sosial, asal caranya benar sehingga tidak berujung dengan cibiran orang, “Halah, sukanya pamer!” Kemaslah foto itu dengan cara yang baik sehingga terlihat menarik dan informatif, kalau perlu seperti food reviewer yang profesional. Ben ketok gaul! (Biar kelihatan gaul!) Hihihihi. Siapa tahu memang ada teman yang sedang mencari informasi tentang makanan yang kita beli atau tempat makan yang kita kunjungi. Ujung-ujungnya bisa saling tukar informasi. Lebih elegan kan daripada sekadar dituduh “pamer” dan “suka ngeksis”?
Posting-an di akun Instagram

Ini contoh posting-an foto makanan yang kurang baik ya karena kurang informatif. Saya terburu-buru mem-posting-nya tanpa menyebutkan nama warung dan harga makanannya. Waktu itu lupa. Hehehehe. Ditraktir juga sih, jadi nggak mikir harganya berapa. Belakangan saya baru tahu kalau nama tempatnya Mie Bandung dan semangkuk lomie kangkung dihargai lima belas ribu rupiah. Penjualnya keluarga keturunan Sunda-Tionghoa. Yang makan di situ kebanyakan juga orang-orang keturunan Tionghoa. Saya sih cuek-cuek saja makan di situ meskipun jadi yang kulitnya paling gelap dan matanya paling besar. Hahahaha.
Tentang mengunggah foto makanan ke media sosial ini, saya lebih sering mengunggah foto makanan yang saya masak sendiri. Ya, meskipun resep masakannya suka-suka, bahan seadanya, takaran kira-kira, teknik sebisanya, presentasi sekenanya, soal rasa tetap luar biasa. Hahahaha. Masakan sendiri, siapa lagi yang mau memuji? Skill memasak saya memang baru sampai level sayur asem dan ayam kecap, tidak mungkin ikut kontes memasak di televisi, paling-paling bisa ikut tes calon mantu idaman mertua. Upsss! Hahaha. Yang penting kan usaha. Kalau membeli, asal punya uang kan semua orang bisa.
Sayur asem andalan Jeng Dew :D

Setelah saya mengunggah foto hasil masakan itu, biasanya ada teman yang berkomentar dan memberi saran, bagusnya tampilannya gini, bumbunya ditambah ini, cara masaknya gini. Pernah suatu hari saya ingin makan sayur asem yang rasanya mantap karena beberapa kali kecewa dengan sayur asem di tempat makan yang biasa saya kunjungi bersama teman-teman saat makan siang. Rasanya hambar, hanya terasa asam, tanpa rasa asin maupun pedas. Rasa “ngebet” masak sayur asem itu semakin tidak bisa ditahan saat melihat pohon belimbing wuluh di depan kos berbuah. Wooow, akhirnya bisa makan sayur asem Betawi yang sesuai selera saya! Beberapa saat setelah memasang foto itu sebagai display picture di Blackberry Messenger, ada pesan dari teman saya, “Wi, minta resep sayur asemnya. Aku belum nemu resep yang pas.” Huahahaha. Berasa udah expert aja sampai dimintai resep. Nah, malah jadi ajang saling berbagi tips memasak, bukan sekadar sarana ngeksis kan?
Karena begitu pentingnya makanan dalam kehidupan, hendaknya kita mensyukuri makanan yang kita dapatkan. Bayangkan, di luar sana masih banyak orang yang kelaparan. Harus kita akui pula bahwa tren kuliner akan selalu berkembang. Akan bermunculan banyak tempat makan dan menu dengan konsep baru. Ironisnya, ketika sudah tersedia banyak pilihan tempat dan menu, ketika muncul pertanyaan “Mau makan di mana?”, tetap saja jawabannya “Terserah!”. Profesi yang berhubungan dengan makanan, seperti koki, food blogger, food stylish, dan food photographer pun tidak akan lagi dianggap sebelah mata karena makan sudah dianggap sebagai gaya hidup, tidak hanya sekadar mencapai rasa kenyang. Pesan saya, ketika makan tak hanya sekadar kenyang, sebelum makan jangan lupa BERDOA dan BERFOTO! Jadi, kapan kita ke mana, ngapain, makan apa? Saya tidak akan menjawab “Terserah!” kok, tapi balik bertanya, “Maunya di mana?”. Hehehehe. Salam! J


Yogyakarta, 10 September 2015 23.18

Komentar

  1. Yg penting bukan makan apa,tapi makan bersama siapa #plak
    :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naaaaah, itu poin terpentingnya. Kamu pintar adek dokter :)

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Trs kpn mkn bersama sy...??? Hihiiii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan yaaaaa? Nanti di acara nikahanmu Om. :-P Cieee, yg udah punya pacar baru. Lanjut BBM aja, jangan di forum umum. Hehehehe.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSA (Perawatan Saluran Akar) (Bagian 3): Cetak Gigi dan Pasang Onlay

Cerita Gigi Bungsu Si Anak Bungsu (Bagian 2): Sakitnya Dikit, Malunya yang Nggak Ketulungan

[Review Kumpulan Cerpen] Parmin: Kebahagiaan dalam Segelas Es Krim yang Mencair