Benjolan di Payudara (Bagian 3): Opname dan Eksisi FAM (Fibroadenoma Mammae)
Senin, 14 September 2015: Beneran Mau
Opname Ini?
Hari itu akhirnya datang juga. Hari ketika saya akan
menjalani opname yang pertama dalam hidup saya (setelah menjalani pemeriksaan dan dokter menyatakannya sebagai FAM). Hari itu saya mulai tidak masuk
kantor untuk bersiap-siap. Orangtua saya akan datang siang harinya. Saya pun
menjalani aktivitas seperti biasanya. Pagi-pagi sudah buka laundry pribadi alias cuci baju dan menyeterika serta menyiapkan
baju dan barang-barang lain untuk dibawa ke rumah sakit. Masih sempat luluran,
maskeran wajah, dan masker rambut. Hehehehe. Besok-besok belum tentu sempat
maskeran, cuci muka aja udah alhamdulillah. Masih sempat berbelanja ke toko
swalayan dekat kos untuk membeli beberapa makanan kecil.
Pukul 12.30 saya menelepon ke Rumah Sakit Panti Rapih,
bertanya apakah ruang perawatan saya sudah siap. Kata petugasnya belum. Saya
diminta menelepon lagi pukul 14.00. Ya sudah, ditinggal tidur dulu. Pukul 14.20
saya menelepon lagi. Kata petugasnya sudah ada ruang perawatannya, yaitu di
Bangsal Elisabeth Lantai 1. Saya harus datang sebelum pukul 16.00. Saya pun
membangunkan kedua orangtua saya dan mengajak bersiap-siap. Saya pun mengepak
baju, handuk, alat mandi, dan perlengkapan lain ke dalam ransel. Tips penting:
bawa baju yang berkancing depan dan ukurannya longgar supaya mudah dilepas
kalau nanti diinfus. Berkas yang perlu dibawa antara lain KTP pasien, KTP orang
yang menemani pasien, kartu periksa, rujukan opname, rujukan dari faskes
pertama, dan kartu peserta BPJS Kesehatan, disatukan ke dalam map supaya tidak
tercecer. Sebaiknya rujukan opname, rujukan dari faskes pertama, dan kartu peserta
BPJS Kesehatan difotokopi sebanyak mungkin supaya tidak perlu bolak-balik ke
fotokopian kalau diperlukan. Kalau punya buku tabungan dan kartu ATM, perlu
dibawa. Jaga-jaga bawa uang tunai juga kalau dibutuhkan sewaktu-waktu. Pukul
14.45 kami berangkat ke RS Panti Rapih. Cukup berjalan kaki karena letaknya
cukup dekat. “Kita nggak usah naik taksi ya. Hehehe,” kata saya kepada orangtua
saya. Berjalan ke RS Panti Rapih juga hanya butuh waktu 10 menit.
![]() |
Bawa berkas-berkasnya |
Sampai di RS Panti Rapih, saya menuju PPRI (pendaftaran
pasien rawat inap). Mengurus berkas-berkas di PPRI, ke bagian piutang di
kassa pusat, lalu kembali lagi ke PPRI. Petugas PPRI memberikan alat mandi dan
beberapa brosur tentang peraturan di rumah sakit dan hak dan kewajiban pasien.
“Kamarnya kelas 2, Mbak. Harusnya tidak kena selisih biaya. Sekarang ke ruang
persiapan opname. Nanti diantar perawatnya ke kamar,” kata petugas PPRI.
Sampai di ruang persiapan opname, saya menyerahkan surat
rujukan opname, lalu menunggu dipanggil. Beberapa saat kemudian, nama saya
dipanggil. Saya masuk, lalu duduk di depan tiga orang perawat. “Pasiennya
mana?” tanya salah seorang perawat. “Saya, Mbak,” kata saya. “Hah?” kata
perawatnya kaget. Hehehe. Nggak kelihatan sakit ya? Kan saya memang tidak
sakit. Cuma mau numpang tidur. “Mau eksisi FAM ya?” “Iya.” Eksisi itu pemindahan
atau pengeluaran organ tubuh dengan cara pembedahan. “Pemeriksaannya rontgen
dada aja ya? Nggak USG?” “Iya,” kata saya. “Ini dibawa ke radiologi. Nanti
nggak usah ditunggu hasilnya, langsung ke sini.”
Saya pun menuju ruang radiologi. Saya menyerahkan rujukan
rontgen, lalu menunggu dipanggil. Sesaat kemudian nama saya dipanggil, lalu
saya masuk ke ruang rontgen. “Baju, bra, dan kalung dicopot. Bajunya ganti,”
kata petugas radiologi. Saya pun berganti baju yang disediakan, lalu
menempelkan dada saya di sebuah kaca berbentuk segi empat. “Dadanya ditempel di
kaca, dagunya buat tumpuan. Tarik napas panjang, buang lewat mulut,” kata
petugasnya. Setelah itu, saya berganti baju dan kembali ke ruang persiapan
opname.
Di ruang persiapan opname, saya disuruh berbaring, lalu dua
orang perawat memeriksa tanda-tanda vital saya, yaitu tekanan darah, suhu
tubuh, respirasi, dan denyut nadi. Tekanan darahnya saya agak tinggi, 130/90
mmHg. Suhu tubuh saya juga agak panas. Ya, mungkin itu pengaruh jalan
mondar-mandir tadi. Setelah itu, mereka mengambil sampel darah saya. Duh, ini
bagian yang saya paling benci. Sakit woi, tangannya ditusuk jarum!
Karena sudah cukup berpengalaman bolak-balik rumah sakit saat
menjalani odontektomi, saya sudah menemukan trik untuk mengurangi tegang, yaitu
mengajak ngobrol dokter atau perawatnya. “Udah pernah opname?” “Belum, Mbak.
Baru pertama. Tapi aku pernah operasi minor, empat kali cabut gigi bungsu, tapi
bius lokal. Jadi, lihat alat-alatnya.” “Sakit dong.” “Hehehe. Biasa aja.”
“Diambil darahnya dulu ya,” kata salah seorang perawat. “Buat apa, Mbak?” “Buat
persiapan operasi besok.” “Diambilnya sekali kan?” “Ya sekali laaaaah!” “Dulu
pas aku tifus kok diambil dua kali ya?” “Mungkin karena dehidrasi.” “Diinfus
sakit nggak, Mbak?” “Ya sakit lah. Kan ditusuk jarum!” “Sama diambil sampel
darahnya?” “Ya, lebih sakit dikit. Tangannya menggenggam ya,” kata perawat
sambil menyiapkan alat-alatnya. “Maaf ya.” Cusss! Jarum runcing itu masuk ke
lengan kiri saya. Aaaaa! Saya menggigit bibir sambil meremas kasur. Duh, kok
lama sih? Ambil darahnya berapa cc sih? Beberapa saat kemudian proses mengambil
sampel darahnya selesai. Darah saya dimasukkan ke dalam beberapa tabung kecil
untuk dibawa ke laboratorium. Di tangan kanan dipasang gelang identitas pasien,
lalu saya diantar ke kamar perawatan.
![]() |
Pakai gelang identitas biar nggak jadi putri yang tertukar :D |
Pukul 16.20 saya sampai di ruang perawatan. Saya dirawat di
Kamar Elisabeth 105B. Dalam satu ruangan ada dua tempat tidur. Pasien yang
satunya sedang menjalani pemeriksaan di ruang persiapan opname. Saya duluan
yang masuk. Tidak lama kemudian seorang perawat datang dan menjelaskan beberapa
hal tentang kamar yang saya tempati dan memberikan dua kartu untuk penjaga
pasien. Dia juga bertanya kepada saya tentang alergi makanan dan obat, apa ada
riwayat asma, apa ada gigi palsu, apa ada tambalan gigi, apa pernah opname
sebelumnya. Yang agak mengganjal itu pertanyaan apa ada tambalan gigi atau gigi
palsu. Hubungannya apa ya? Entahlah!
![]() |
Kamarnya lumayan nyaman :) |
Pukul 16.55 seorang dokter jaga datang. “Selamat sore, saya
dr. Tama, dokter jaga.” Saya melirik name
tage-nya, dr. Tama S. Dokternya masih muda, mungkin seumuran saya. Dokter
Tama memeriksa tanda-tanda vital saya, lalu menekan-nekan perut saya. dr. Tama
juga bertanya hal-hal yang hampir sama dengan yang ditanyakan perawat tadi.
“Mau eksisi FAM ya? Hasil lab-nya belum keluar. Mungkin nanti agak malam dokter
anestesinya datang. Istirahat ya, Mbak.” “Iya, Dok. Makasih.” Tidak lama
kemudian petugas bagian gizi datang dan mengantarkan makanan. Yeaaay! Waktunya
makan. Orangtua saya pulang ke kos untuk mengambil beberapa barang.
Setelah sholat Isya, emak saya mulai rempong, menyuruh saya
cepat-cepat tidur. Berhubung dalam pikiran saya opname itu piknik, cuma numpang
tidur di kamar bagus, saya siap-siap tidur seperti biasanya. Gosok gigi, cuci
muka, lalu pakai obat jerawat. Pukul 20.00 dokter anestesi yang bernama dr.
Himawan, Sp.An datang dan terlebih dahulu menemui pasien sebelah yang hanya
terpisahkan oleh tirai. Tidak niat menguping sih, kan saya bisa dengar dengan
leluasa. Hehehehe. “Besok operasinya pagi. Jam 7. Mulai nanti jam 00.00 puasa
ya. Nanti dipasang alat bantu pernapasan. Pasangnya setelah tertidur,
dilepasnya sebelum bangun. Diinfus juga. Sakitnya cuma waktu dipasang sama
dilepas.” dr. Himawan juga berbicara lagi, tapi entah apa detailnya saya lupa.
Giliran saya yang diperiksa, perawatnya langsung menjerit.
“Aaaaa! Itu mukamu kenapa???” “Pakai obat jerawat. Hehehe.” dr. Himawan hanya
berbicara sedikit kepada orangtua saya. Mungkin berpikir, “Halah, ini bocah
paling udah denger tadi.” Hehehe. “Besok operasi ya, Bu. Dibantu doa ya. Kami
hanya mengusahakan,” kata dr. Himawan, lalu pergi. Halah, gitu doang? Pukul 21.00
seorang perawat datang memeriksa saya sambil berkata, “Besok operasinya jam
11.30. Mulai jam setengah 5 puasa ya. Anting sama cincinnya dilepas. Besok pagi
BPJS-nya diurus ya di loket.” Setelah itu, saya tidur.
Selasa, 15 September 2015: The D-Day!
Pukul 04.00 ibu saya membangunkan saya dan menyuruh saya
makan roti. Saya hanya makan sedikit, lebih banyak minum air putih. Pukul 04.30
seorang perawat mengantar roti tawar dan segelas teh manis (yang sebenarnya
agak tawar). Saya menghabiskan roti itu, lalu meminum tehnya sedikit. Setelah
itu, saya sholat Subuh lalu tiduran kembali. Pukul 05.30 seorang perawat datang
membawa baju ganti dan pisau cukur. “Ketiaknya ada rambutnya?” tanya
perawatnya. “Habis cukur kok,” kata saya. Bajunya terdiri atas sehelai kain
untuk bawahan dan baju atasan yang tidak berkancing, hanya bertali di bagian
belakang. Semacam pakai backless dress seksi.
Hahahaha.
Pukul 07.35 seorang perawat datang. “Disuntik cek antibiotik
dulu ya,” kata mbak perawat. “Diambil darahnya?” tanya saya panik. “Nggak. Cuma
disuntik dikit buat ngecek alergi atau nggak antibiotiknya. Agak sakit ya, tapi
jangan dilepas.” Aaaaa! Saya menjerit kesakitan sambil meremas guling. Sungguh,
ini suntikan paling sakit yang pernah saya rasakan. Dulu waktu mau cabut gigi
suntiknya nggak sesakit ini. “Saya tinggal dulu 15 menit ya. Nanti kalau gatal
atau bentol-bentol bilang ya.” Saya tunggu-tunggu 15 menit perawatnya tidak
juga datang. Heleeeh. Mbaknya lupa paling. Tidak lama kemudian seorang perawat
lain datang membawa surat-surat yang berkaitan dengan tindakan operasi.
Berhubung saya sudah berusia dewasa, saya sendiri yang menandatanganinya. Bapak
saya hanya menjadi saksi.
![]() |
Suntik cek alergi antibiotik: rasanya nananina! |
Pukul 09.00 dua orang perawat datang untuk memasang infus. “Dipasang
infus ya, Dek.” Ihiiiik! Dipanggil adik! Jadi merasa imut. Hihihihi. Tadinya
mereka sudah bersiap memasang infus di tangan kiri saya, tetapi kemudian
bertanya, “FAM-nya di kiri atau kanan?” “Kiri.” “Berarti infusnya di kanan.”
Apaaa? Kalau tangan kanannya yang dipasang infus, berarti saya tidak bisa bebas
bergerak. “Sakit ya, Mbak?” tanya saya. “Sedikit. Lebih sakit lagi suntik cek
antibiotik.” “Udah kok tadi.” Salah seorang perawat mulai membasahi tangan saya
dengan alkohol. Saya mulai memejamkan mata sambil mengigit bibir dan mencengkeram
guling. Cusss! Jarum menusuk tangan saya. Eh, sakit sih sedikit, tapi tidak
sesakit suntik cek antibiotik. “Kalau udah infus gampang kok, Mbak. Nggak perlu
disuntik-suntik lagi.” Pukul 10.00 dr. Okto datang ke ruangan saya. “Ini mau
operasi apa?” tanya dr. Okto. “FAM, Dok.” “Oh, yang besar itu ya?” dr. Okto
lantas memeriksa benjolan di payudara kiri saya, lalu melingkarinya dengan
pulpen. Setelah itu, dr. Okto pergi.
Saya mulai menghitung waktu. Beberapa jam ke depan saya akan
masuk ruang operasi. Daripada takut, saya memilih tidur saja. Tidak lama
kemudian, saya terbangun karena perut saya mulai berbunyi. Hedew, saya pikir
dengan diinfus saya tidak akan merasa lapar. Ternyata perut tetap protes minta
diisi, hanya badan tidak terasa lemas. Hikss, tahu gini kan tadi pagi makannya
minta nasi Padang. Seorang perawat pun datang, lalu menyuntikkan antibiotik ke selang infus saya. Sungguh, obat ini membuat saya mendadak mual, ingin muntah, tetapi tidak ada yang keluar. Jelang pukul 11.30 ternyata saya tak kunjung dijemput untuk
dibawa ke ruang operasi karena ternyata hari itu banyak yang operasi. Saya
harus mengantre dokter dan ruang operasi. “Bu, lapar,” keluh saya. “Ya sabar.”
“Bu, tetangga sebelah udah dikasih makan.” “Ya kan dia udah bangun. Udah boleh
makan.” “Kok saya nggak dikasih makan?” tanya saya kepada petugas gizi. “Kan
lagi puasa. Nggak boleh batal lho ya.” Hiksss, perasaan kalau puasa Senin-Kamis
rasanya tidak seberat ini.
Saya pun tidur lagi. Beberapa saat kemudian seorang perawat
memeriksa tekanan darah dan suhu tubuh saya. Dalam keadaan setengah tertidur,
saya mendengar perawat berkata, “Duh, tekanan darahnya kok 110 ya? Agak demam
juga.” “Mungkin karena puasa,” kata ibu saya. Sudah masuk waktu sholat, tapi
saya tak kunjung dijemput. “Bu, mau sholat. Tapi gimana nih sholatnya?”
“Sebisanya aja. Sambil duduk boleh. Dijamak juga boleh,” kata Mbak Harum, kakak
tingkat saya yang saat itu datang menjenguk. Bahkan untuk memakai mukena pun
saya tidak bisa karena takut selang infusnya nyangkut. Ibu saya yang
memakaikan. Saya sholat di atas tempat tidur dengan posisi duduk. Sholat Asar
pun saya jamak sekalian, takut kalau nanti sampai waktu sholat Asar saya belum
sadar. Hiksss, saya jadi terharu. Dalam keadaan sakit pun ada banyak keringanan
supaya bisa tetap sholat, eh kalau sehat kok kadang-kadang nunda-nunda sholat
dengan alasan duniawi.
Saya pun guling-guling lagi di kasur. Lewat jendela kamar,
saya melihat orang-orang yang dibawa ke ruang operasi. Keadaannya
bermacam-macam. Ada yang keadaannya terlihat biasa saja, ada yang di badannya
dipasang alat bantu pernapasan. “Eh, nanti aku dibawa ke sana ya? Tiduran gitu?
Eh, kenapa nggak jalan aja sih? Aku kan kuat,” kata saya. Ibu saya tidak
berkata apa-apa, hanya melirik sebal ke arah saya seolah berkata, “Ini bocah
perlu ditabok. Dari tadi ribut mulu.” Hihihi. Untuk membunuh waktu, saya pun
berkirim pesan pada teman-teman, minta doanya. “Gaes, ane dirawat di Elisabeth
105B. Operasi harusnya jam 11.30, tapi kayaknya diundur. Doakan ya.”
![]() |
Nunggu dijemput sambil lihat orang lewat |
Akhirnya yang saya tunggu-tunggu datang. Pukul 13.45 dua
orang perawat menjemput saya. Mereka membawa saya menuju Gedung Carolus Lantai 1,
menuju ruang bedah. Begitu membaca tulisan Carolus, mulailah Surah Alfatihah,
ayat kursi, selawat, dzikir, dan segala macam surah yang saya hafal bergema di
batin saya. “Duh Gusti, nyuwun sehat lan
slamet (Ya Tuhan, minta sehat dan selamat),” bisik saya. “Aku sekalian
pamit ya. Semangat ya, Ndhuk. Habis ini kuat!” kata Mbak Harum menyemangati
saya. Saya tersenyum, lalu melirik wajah ibu saya. Perlahan-lahan saya
meninggalkan kedua orangtua saya, masuk ke ruang operasi yang dingin.
![]() |
Gedung Carolus Lantai 1: tempat saya akan “dibedah” |
Terlebih dahulu saya dibawa ke ruang persiapan operasi. Saya
bersebelahan dengan kakek-kakek yang keadaannya sudah memprihatinkan dan akan
menjalani operasi jantung. Duh Gusti,
nyuwun sehaaaaat! Dua orang perawat yang mengantar saya mengganti baju saya
dengan baju operasi yang khusus dipakai di dalam OK (operating kamer) dan memakaikan topi, semacam shower cap. Setelah itu seorang perawat lainnya mendekati saya dan
berkata, “Saya Suster Ella, yang nanti membantu di dalam.” Suster Ella kemudian
membawa saya keluar dari ruang persiapan operasi. “Tidurnya pindah tempat ya.
Yuk pelan-pelan.” Saya pun berpindah tempat tidur. Suster Ella pun berbicara
dengan dokter anastesi yang ada di belakang saya. Saya tidak melihatnya, hanya
mendengar suaranya. “Berat badannya 39.” “Kasih dua aja.” Dua? Apanya yang dua?
Mungkin dosisnya. “Disuntik penenang dulu ya. Nanti efeknya ngantuk,” kata
Suster Ella sambil memasukkan obat ke selang infus saya. Rasanya dingin. Saya
melihat jam. Pukul 14.00.
Tiba-tiba saya tersentak bangun. Saya melihat sekeliling dan
masih ada di tempat yang sama. Eh ini jam berapa? Saya melihat jam di depan
saya. Pukul 16.00. Eh, ini sudah atau belum operasinya? Saya meraba dada saya.
Oh, sudah dibungkus dengan benda semacam kemben. Berarti sudah. Kata ibu saya,
pukul 15.00 operasinya sudah selesai. Bapak dan Ibu sudah dipanggil ke dalam
ruangan. Dokter menunjukkan benjolan berukuran diameter 2,5 cm yang diambil
dari payudara saya. Bentuknya semacam kantong berisi cairan. Benda itu hanya
boleh difoto, tidak boleh dibawa pulang karena akan diperiksa di laboratorium.
Tahu-tahu saya sudah berada di ruang perawatan. Dalam keadaan
setengah sadar, saya melihat bapak saya berpamitan pulang ke rumah karena ada
keperluan. Ibu saya bertanya, “Mau minum?” Saya mengangguk, lalu ibu saya
memberi saya minum dengan sedotan. Saya terbangun lagi saat hari sudah agak
gelap. Di depan saya sudah ada teman-teman kos saya dan sahabat saya, Arum.
Mereka bertanya bagaimana keadaan saya. Saya berbicara dalam keadaan antara
sadar dan tidak sadar. Duh, semoga saya tidak mengigau yang tidak-tidak,
semisal menyebut nama-nama mantan gebetan dan yang sedang jadi incaran. Ups!
Hahahaha.
Saya terbangun lagi saat hari sudah gelap. “Ayo makan biar
nggak ngantuk!” kata ibu saya. Saya pun makan beberapa suap. Rasanya tidak
enak. Setelah itu saya sholat Magrib dan Isya dijamak sekaligus. Sudah pukul
20.30. Rasanya mata saya masih berat. Bleg!
Saya tertidur lagi. Tidak lama kemudian seorang perawat datang. Saya terbangun.
“Ada keluhan apa?” “Nyeri,” kata saya. “Nanti dikasih obat penghilang nyeri.”
“Boleh minum obat rutinku nggak, Mbak? Udah bilang ke dokter gigiku.” “Iya,
boleh.”
Tengah malam saya terbangun. “Bu, mau pipis,” kata saya.
Dalam keadaan setengah mengantuk, saya pergi ke kamar mandi sendiri. Aaaaa!
Saya tersentak kaget saat melihat darah saya mengalir ke selang infus. “Bu,
darahnya masuk selang. Kembennya melorot,” kata saya. “Aaaaa! Makanya jangan usek terus!” kata ibu saya sewot sambil
membenarkan kemben yang saya pakai. Ya gimana saya bisa menahan untuk tidak usek? Kan saya tidak sadar. Baru
terlelap beberapa saat, saya tersentak kaget saat seorang perawat masuk.
“Dikasih obat antinyeri dulu ya,” bisiknya. Saya pun kembali memejamkan mata,
tetapi masih bisa mendengar perawat berbicara dengan ibu saya. “Aduh, kok
darahnya sampai ngalir banyak gini.” “Iya, tadi habis dari kamar mandi. Nggak
mau dibantuin.” Mbak perawat pun mengambil suntikan untuk membersihkan darah di
selang infus saya.
Rabu, 16 September 2015: Waktunya
Pulang!
Pagi-pagi saya terbangun. “Bu, mau sholat,” kata saya. “Belum
adzan.” Wogh, saya disorientasi waktu! Saya pikir sudah pagi. Tumben bisa
bangun awal. Hihihihi. “Mandi ya,” kata ibu saya ketika hari sudah terang. Ibu
pun memandikan saya. Mandinya hanya badan bawah. Bagian atas hanya dilap dengan
waslap basah. Setelah itu, Ibu mengganti baju saya dan menyisir rambut saya.
Duh, kapan ya terakhir dimandikan Ibu? Saya berusaha menahan diri supaya tidak
menangis terharu. Buuuuu, maafin aku suka ngeyel! T_T
Tidak lama kemudian seorang perawat mengecek keadaan saya.
Karena melihat selang infus saya goyang-goyang dan kemasukan darah, plesternya
pun ditambah supaya lebih kencang. Duh, jadi susah deh gerak pakai tangan
kanan! Akhirnya saya lebih banyak melakukan aktivitas dengan tangan kiri.
Melihat saya makan dengan tangan kiri, Ibu pun menertawakan saya. “Belajar
makan pakai tangan kiri.” Saya pun nyengir. Hobi banget sih ngeledekin anaknya.
Setelah itu, dua orang petugas kebersihan datang membersihkan tempat tidur.
“Turun dulu, ya. Tempat tidurnya dirapiin. Wah, pasien 5A sama 5B ini mini-mini
semua. Berat badannya juga sama. Sekolah kelas berapa?” “Nggak sekolah.” “Oh,
udah kuliah? Semester berapa?” “Nggak kuliah.” “Lho, kok nggak?” “Kan udah
kerja. Hehehehehe.” Duh, jadi merasa semakin imut. :3
Pukul 10.00 dr. Okto datang mengecek keadaan saya. “Diperiksa
dulu ya. Nggak biru-biru kan dadanya? Pakai kemben kan? Oke. Semuanya bagus.
Kamu mau pulang kapan?” “Ehm...secepatnya, Dok,” kata saya. “Masuknya kemarin
ya? Pakai BPJS ya?” “Udah kemarin lusa, Dok.” “Oh, berarti sudah bisa pulang.
Nanti tunggu surat-suratnya diurus.” Yeyeyeye! Boleh pulang! Senyaman-nyamannya
kamar rumah sakit, masih lebih nyaman kamar di kos atau rumah sendiri.
![]() |
Plesternya ditambah :( |
Bapak saya pun mengurus administrasi ke kassa. Saya
memberikan uang dan kartu ATM, siapa tahu ada biaya tambahan yang cukup besar
dan perlu pakai kartu debet untuk membayar. Begitu Bapak kembali, saya
bertanya, “Habisnya berapa?” “Habisnya 1.750.000.” “Wogh, perlu gesek kartu
dong?” kata saya agak panik. “Tapi nolnya dikurangi satu. Hehehehe.” Heleh,
punya bapak kok lucunya keterlaluan. “Aku pulang ke kos aja ya,” kata saya.
“Kalau di kos yang mau ngurusin kamu siapa? Udah, pulang ke rumah aja!” kata
ibu saya. Hedew, kemarin katanya terserah mau pulang ke mana, sekarang nyuruh
pulang ke rumah. Duh, emak-emak memang susah dipahami! Eh, tapi kan aku calon
emak-emak juga. Hehehe.
Tidak lama setelah sampai di rumah, tetangga satu RT pun
datang. Ya gitu lah, kalau tinggal di desa. Ada apa-apa tetangga langsung tahu.
Saya pun menemui mereka, bahkan ikut membantu membawakan makanan. Mereka pun
heran karena saya sudah terlihat sehat, padahal baru kemarin menjalani operasi.
Iya dong! Aku kan kuat, kokoh tak tertandingi kayak Semen Gresik.
Jeng...jeng.... Malamnya baru saya mulai senewen. Mulai dari rasa gatal, panas,
nyeri! Aaaaa! “Panaaas! Nggak mau pakai selimut! Dikipasin! Sepreinya diganti!
Kepalanya gatel!” keluh saya sambil menendang-nendang selimut yang ibu saya
pakaikan. “Iya, iya. Besok ke salon keramas.”
![]() |
Minta surat keterangan dirawat, buat keperluan administrasi, misal buat izin tidak masuk kerja atau kuliah/sekolah |
Selasa, 22 September 2015: Lepas
Jahitan dan Hasil PA
Seminggu setelah operasi, saya kontrol ke RS Panti Rapih
untuk melepas jahitan dan mengambil hasil lab PA (patologi anatomi). Dengan
cepat dr. Okto melepas jahitan saya, lalu menyerahkan hasil PA kepada saya dan
Ibu. “Nggak ganas kok, Bu. Sudah tidak perlu kontrol lagi.” Alhamdulillah. J “Tunggu 2 hari baru boleh dibasahi
lukanya.” Duh, berhari-hari nggak mandi nih! Mau keramas aja gaya, mesti ke
salon. Setelah 2 minggu lamanya, akhirnya saya bisa mandi dengan puas. Duh,
Bang, Adek bahagia akhirnya bisa mandi! Hihihihi.
Sebelum “melepas” saya untuk kembali beraktivitas seperti
biasa, Bapak pun memberikan nasihat panjang lebar. “Makannya dijaga, harus
hati-hati.” Iya. “Kalau naik bus, tangannya buat nutupin dada biar nggak
kesenggol-senggol.” Iyaaa. “Beli salep buat penghilang bekas luka.” Iyaaaaa.
“Jangan naik sepeda dulu. Kalau berangkat kerja naik ojek aja.” Iyaaaaaaa. Duh,
apa lagi, Pak? Asal jangan minta mantu dibeliin motor baru deh. Pada pelaksanaannya,
nebeng teman kantor hanya tiga kali, selebihnya ya naik sepeda seperti biasa.
Hihihihi. Dasar ngeyel!
![]() |
Dompet Adek mendadak kurus gara-gara beli salep ini, Bang! :( |
Setelah serangkaian proses operasi dan pemulihan, perlu
rasanya saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua saya yang dengan
sabar dan sedikit rempong merawat saya; dr. Okto, Sp.B, dr. Himawan, Sp.An, dr. Tama, dan
perawat-perawat di RS Panti Rapih yang sudah melakukan tugasnya dengan baik;
serta teman-teman yang sudah memberikan doa dan semangat. Karena setiap bagian
tubuh kita tidak ternilai harganya, yuk kita jalani pola hidup sehat. Yuk lebih
peka terhadap semua perubahan kecil yang ada di tubuh kita. Kan yang paling
tahu keadaan tubuh kita ya kita sendiri. Kesehatan itu harta yang paling
berharga selain keluarga lho. Duh, tiba-tiba pengen nyanyi soundtrack sinetron Keluarga
Cemara. “Harta yang paling berharga adalah keluarga....” Nah, kalau sama si
“ehem” aja sayang, masa sama diri sendiri nggak? Salam! :D
Saya hampir seminggu lalu juga abis eksisi FAM. Sama persis prosedurnya tapi harus operasi lagi soalnya 22nya... Sungguh setelah baca ini berasa tenang hehe
BalasHapusSemoga cepat pulih ya Mbak. Sehat selalu 😊
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya juga ada benjolan di payudara kanan. Dulu waktu baru pertama kerasa juga sempet breakdown, takutnya kanker karena tiba-tiba sebesar kelereng dan agak ngilu--mungkin cuma sugesti atau karena waktu itu saya menjelang haid lol dulu belum aware masalah hormon-hormonan sih. Sebenernya dari awal puber juga yg kanan ini udah jadi pikiran karena ukurannya yg terlalu jomplang dibanding yg kiri, jadi saya mikirnya udah kemana-mana deh.
BalasHapusUdah di cek ke RS kata bu dokternya juga FAM, tapi karena saat itu bu dokter bilang kebanyakan FAM bisa hilang sendiri kalo udah menikah dan punya anak (efek hormon kali ya? nggak tau deh) terus lagi sibuk mau tugas akhir kuliah juga, jadi saya dan keluarga memutuskan buat nggak langsung operasi karena nggak mengganggu dan keliatan jelas ada benjolan cuma kalo saya narik nafas dalem-dalem atau narik lengan kanan ke belakang hehe
Tapi belakangan ini tiba-tiba saya kepikiran lagi 'operasi nggak ya, operasi nggak yaa, kok kayaknya takut deeeh, ah ini udah 3 tahun lebih juga nggak nambah ukuran kok tapi setiap menjelang haid kok kayaknya dia minta di notice ihhh', terus malah nemu tulisan mbak ini.
Ngomong-ngomong bekas operasinya panjang nggak ya mbak? Terimakasih udah berbagi pengalamannya :D
Terima kasih mbak sudah membaca tulisan saya. Bekas luka operasinya cuma garis, panjangnya cuma seperempat lingkaran, pas di garis areola.
HapusAda perubahan ukuran atau bentuk gak Mba pasca operasi.
BalasHapusAku juga di diagnosa FAM nih, dan di anjurkan operasi, tapi masih ragu karena takut perubahan pada payudaranya terlihat bgt. Maklum belum nikah hehe.
Mohon dijawab ya mba hihi
BalasHapusHalo, maaf banget lama nggak ngeblog. Di aku nggak ada perubahan banyak selain bekas sayatan areola.
HapusAku juga di diagnosa FAM skitase 2 tahun lalu dan waktu itu dokter menganjurkan untuk operasi, tapi karena saya waktu itu masih berusia 17 tahun saya masih ragu2 dan takut untuk operasi.
BalasHapusSekarang setelah saya membaca ini saya jadi kepikiran untuk periksa kembali payudara saya soalnya benjolan 2 tahun lalu masih ada.
Halo, maaf banget lama nggak ngeblog. Sekarang gimana?
HapusWah semangat kak,aku 2 Minggu yg lalu juga habis op fam
BalasHapusBtw salep yg bagus buat memudarkan bekas jahitan apa ya? Dermatix itu bisa beli di apotik kah harga brp kak?
Trs mengoleskannya brp Minggu setelah op
Halo.... Aku dulu pakai Dermatix, beli di apotek, lupa harganya berapa. Kayaknya sekitar 150 ribu. Dioleskannya setelah luka operasinya kering.
Hapus